Sabtu, 13 April 2024

Cinta Jerum Dengan Kundangdeya dan Limantara.

Dalam cerita Jerum, kundengdeya digambarkan sebagai sosok pemuda yang sangat tampan. Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa ada seorang gadis yang sangat tertarik pada Kundangdeya. Tapi Kundangdeya belum tahu wajahnya Jerum. Pada suatu hari ibunya Kundangdeya ingin menjodohkan Kundangdeya dengan Jerum. Tapi Kundangdeya menolak. Dia mengira Jerum itu tidak cantik. Karena Kundangdeya menolak usulan ibunya, akhirnya Jerum dikawinkan dengan Limantara. Padahal Jerum tidak cinta dengan Limantara. Jerum hanya cinta pada Kundangdeya yang sangat tampan. 

Mendengar berita perkawinan antara Jerum dengan Limantara, Kundangdeya akhirnya menghadiri pesta perkawinan mereka. Pada saat melihat wajah Jerum, akhirnya Kundangdeya baru menyadari bahwa Jerum sangat cantik. Kundangdeya sangat menyesal karena telah menolak usulan ibunya. Sementara Jerum sangat terpesona dengan kehadiran Kundangdeya, pemuda yang sangat diidamkan. Akhirnya, Kundangdeya dan Jerum saling bertatap mata.

Setelah acara perkawinan selesai, Jerum minta dibelikan emas pada suaminya, Limantara. Dan Limantara menyanggupinya. Pada saat Limantara pergi, disitulah Kundangdeya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Jerum. Ternyata Jerum berselingkuh dengan Kundangdeya. Bahkan mereka mengucapkan janji sehidup semati. Dalam cerita tersebut, diceritakan bahwa Jerum dan Kundangdeya sempat melakukan hubungan badan. Kundangdeya menjilat bagian payudara Jerum sehingga bagian payudaranya merah merah. Karena keasyikan bercinta, sampai tak terasa waktu sudah pagi. Akhirnya Kundangdeya pergi dari tempatnya Jerum.

Keesokan harinya, Limantara datang membawa emas untuk Jerum. Pada suatu malam, ketika mau bercinta, Limantara terkejut melihat bagian payudara Jerum merah merah. Limantara bertanya, kenapa payudaranya merah merah? Jerum menjawab bahwa semalam dia diperkosa oleh seorang pemuda tidak dikenal.keesokan paginya, Limantara bertanya pada pengawalnya yang bernama Panamun. Panamun menjelaskan bahwa semalam dia melihat Kundangdeya masuk ke kamar Jerum. Dengan darah mendidih, akhirnya Limantara pergi ke rumah Kundangdeya lalu Limantara menghunuskan kerisnya ke dada Kundangdeya hingga tewas. Mendengar berita Kundangdeya tewas  Jerum juga bunuh diri karena dia pernah berjanji sehidup semati dengan Kundangdeya.

Beberapa tahun kemudian, Limantara meninggal. Diceritakan rohnya bertemu dengan rohnya Kundangdeya. Sampai di alam baka pun Limantara masih dendam dengan Kundangdeya.

(Kisah ini ditulis berdasarkan penuturan  Gede Artawan)

Jumat, 26 Januari 2024

Kisah Prabu Janantaka.

Dikisahkan raja pradipa yakni prabu janantaka mendapatkan wabah dari Dewa Siwa berupa penyakit lepra. Tidak hanya sang raja, seluruh rakyatnya juga menderita penyakit tersebut. Penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan oleh dokter maupun Tabib, sehinga Patih Matuha mendatangi alam sorga untuk minta bantuan kepada dewa Brahma. Dewa Brahma pun memberi sebuah Lekesan untuk prabu Janantaka agar dimakan habis. Dewa Brahma pun berpesan kepada Patih Matuha agar Prabu Janantaka beserta seluruh rakyatnya tinggal di hutan yang ada sungainya. 

Setelah tinggal di hutan selama satu bulan tujuh hari, Prabu Janantaka beserta Patih Matuha dan seluruh pengikutnya berubah menjadi pohon kayu. Semenjak saat itu, kayu di fungsikan sebagai patung atau arca, bangunan suci, dan bangunan untuk perumahan. Ada beberapa jenis dan klasifikasi kayu yang bisa di jadikan bangunan, diantaranya kayu Prabu dan kayu Patih. Kayu prabu yang merupakan penjelmaan dari Prabu Janantaka berfungsi sebagai kayu bangunan tempat suci yang bernama kayu Tigang Sanak diantaranya kayu Gempinis, kayu Bayur dan kayu Bentawas.

Jika tidak ada tiga jenis kayu tersebut, bisa digantikan dengan kayu Cempaka, kayu Majegau, Cendana, kamper, dan kayu Boni sari. Sementara kayu Patih yang merupakan penjelmaan dari Patih Matuha khusus untuk bangunan rumah diantaranya kayu nangka, kayu Jati, dan kayu Sentul. Jika tidak ada kayu Prabu bisa mengunakan kayu Patih dengan syarat bangunan suci maupun bangunan rumah menggunakan jejaton dengan memakai sedikit kayu prabu, hal tersebut tertuang dalam lontar Janantaka. Janantaka berasal dari dua kalimat yakni Jana yang artinya manusia dan Antaka diartikan kematian. Jadi kayu yang tumbuh di bumi ini merupakan penjelmaan dari manusia. Dengan demikian kayu sangat penting dilindungi dan dipelihara.

Penulis: Toet Satya.

Minggu, 14 Januari 2024

Lubdaka.

Siwa Ratri atau malam siwa tidak terlepas dari cerita Lubdaka, sebuah kisah yang dimuat dalam Kitab Siwaratrikalpa yang diperkirakan ditulis pada abad ke-15 oleh Mpu Tanakung. Kemungkinan sumber kisah ini diambil dari itihasa Mahabharata, yaitu dalam Bhisma Parva. Dikisahkan, Bhisma yang gugur di hari ke 10 perang Bharatayudha, sebenarnya tidak benar-benar gugur. Ia yang sudah memperoleh anugerah untuk dapat memilih hari kematiannya, memutuskan untuk menunggu perang besar tersebut usai. Hingga hari ke 18, Bharatayuddha benar-benar usai dengan kematian Duryodana. Tapi jasad-jasad pasca perang masih berserakan. Padang Kuruksetra masih basah oleh genangan darah jutaan manusia dari kedua belah pihak. Kakek Bhisma yang berbaring di atas ratusan anak panah yang menembus sekujur tubuhnya, menunggu matahari bergerak ke utara, waktu yang diyakini baik untuk menyambut kematian. Saat menunggu itulah, Kakek Bhisma menyampaikan wejangannya tentang Dharma kepada para Pandawa, Yudistira khususnya, yang menjadi pemenang perang Bharatayudha, sehingga otomatis akan menjadi Raja Agung Hastinapura. Salah satu cerita yang disampaikan Kakek Bhisma adalah tentang Raja Citrabhanu. 

Tersebutlah kisah, dimana pada kehidupan sebelumnya, Raja Citrabhanu adalah seorang pemburu. Dalam bahasa Sanskerta, pemburu disebut “Lubdhaka”. Berasal dari akar kata  “lubh”, lubdhaka juga berarti rakus atau tamak. Cerita selanjutnya adalah seperti yang sudah umum kita ketahui. Lubdhaka yang kini diceritakan sebagai nama seorang pemburu, suatu hari pergi berburu ke hutan. Tapi hari itu ia sial. Sebelum mendapatkan satu pun buruan, tiba tiba hari telah gelap. Padahal ia berada di tengah hutan belantara. Bila saat siang ia memburu, malam ia adalah buruan bagi banyak binatang buas. Malam itu ia memutuskan tidur diatas pohon, untuk memperkecil kemungkinan ia dimangsa binatang yang semestinya menjadi target buruannya. 

Lubdhaka menemukan sebuah telaga kecil. Di tepiannya ada pohon besar. Lubdhaka kemudian menaiki pohon itu, dan bermalam di sana. Semakin larut, suara binatang binatang buas di hutan menakutkan hati. Diliputi perasaan ngeri, Lubdhaka berusaha tetap terjaga semalaman. Agar tidak mengantuk, ia memetik satu demi satu daun pohon dimana ia duduk, dan dilepaskannya ke bawah sambil menyebut nama Siwa, Tuhan Penguasa Maut, terus menerus sampai matahari memerah di ufuk timur. Tanda pagi telah tiba. Lubdhaka selamat, turun dari pohon lalu pulang. Dalam perjalanan pulang ia masih sempat memanah seekor kijang. Ia menjual kijang buruannya itu di pasar, sebagian uangnya lalu dibelikan makanan. Tapi saat akan makan, ia melihat seorang pengemis yang kelaparan. Entah mengapa, ia yang biasanya tak peduli orang lain, kini hatinya terketuk. Lubdhaka memberi makanan yang ia beli itu kepada sang pengemis. Ia tetap pulang dalam keadaan lapar.

Rupanya, umur Lubdhaka tidak panjang. Utusan Bhatara Yama menjemputnya dan siap menceburkannya ke neraka. Dosa-dosa atas ketamakannya sungguh tak terampuni. Tapi sebelum sampai ke gerbang neraka, utusan Dewa Siwa menjemputnya. Ia tak boleh dimasukkan ke neraka, karena ia telah mendapat anugerah Dewa Siwa. Ternyata saat ia melewatkan malam di atas pohon di tepi telaga, kebetulan adalah malam spesial bagi Siwa. Daun yang dipetiknya adalah daun pohon bilwa kesukaan Dewa Siwa. Kebetulan pula, tepat di bawah pohon tempat ia bermalam, ada sebuah lingga Siwa. Daun-daun yang jatuh di atasnya, dan nama Siwa yang disebutnya berulang-ulang malam itu menjadi persembahan spesial untuk Siwa. Lubdhaka juga “bersedekah” keesokan harinya, melayani “Siwa” yang ada di dalam tubuh si pengemis. 

Demikianlah, setiap perbuatan akan mendapatkan pahala. Baik dilakukan secara tidak sadar, terlebih bila dalam keadaan sadar. Tetapi terkadang, perbuatan dalam keadaan sadar tersandera oleh hasrat akan hasil, dikendalikan oleh tujuan, sehingga nilai kemurniannya berkurang. Namun apapun, hasilnya tetap ada. Dan sorga sebagai ganjaran perbuatan baik, bukanlah tujuan. Dualitas senang  dan sedih pun harus dilampaui menuju keabadian. Dimana disana tak ada lagi suka dan duka. Hening dalam penyatuan denganNya.

Lubdhaka bukanlah orang lain. Ia adalah simbol manusia yang tidak pernah puas, dan terus mencari kebahagiaan di luar diri. Kita semua adalah Lubdhaka, pemburu kenikmatan, kesenangan, termasuk surga. Kita pikir kita perkasa, sampai pada suatu ketika kita diingatkan tentang kelemahan, ketakutan dan kematian. Telaga di tengah hutan adalah jiwa spiritual kita. Di tepiannya, ada simbol Tuhan. Tanpa sadar, didorong oleh kegelisahan dan keputusasaan, kita mampir di sana. Ketika gelap berlalu, kita kembali pada sifat alami kita. Bekerja, kadang berbuat baik, dan saat kita memperoleh yang kita inginkan, kita kembali lupa dan menjadi Lubdhaka lagi. Demikian kita hidup dalam siklus sukha dan dukha. Ingat dan lupa. Sedih dan gembira. Sampai Dewa Yama memanggil. Dalam bahasa Sanskerta, Siwa berarti kemuliaan, keagungan. Siwa, karena sifatnya sebagai pelebur, adalah daya transformasi. Ia adalah yang bisa membebaskan kita dari siklus suka dan duka itu. Dengan Anugerahnya. 

Apakah itu berarti Malam Siwa dapat menghapus dosa ? Bisa ya, bisa juga tidak. Malam Siwa adalah malam dimana kita, Sang Lubdhaka ini, menepi dari kerakusan sehari-hari. memanjat pohon kesadaran, merenung, mendekatkan diri dan menyebut namaNya dalam kekhusukan bhakti. Apakah itu akan menghapus dosa atau tidak, itu bukan wilayah kita. Itu adalah anugerah yang hanya milikNya. Kita hanya Lubdhaka yang menyucikan hati, dengan tekad besok berubah untuk lebih peduli dan siap berbagi. Dosa-dosa yang telah kita perbuat adalah ibarat tinta hitam yang terlanjur tertuang. Ia akan tetap ada disana. Kita hanya dapat berusaha menuang air sebanyak-banyaknya, agar tinta hitam itu semakin larut dan semakin tidak nampak pengaruhnya. Banyaknya dosa, ketamakan, hal-hal buruk yang pernah kita lakukan, adalah equivalen dengan volume tinta hitam yang terlanjur kita tumpahkan. Sementara besarnya usaha, banyaknya dan kualitas hal-hal baik yang kita lakukan, adalah equivalen dengan volume air yang kita tuangkan untuk melarutkan tinta itu. Kita, dalam kesadaran akan Dharma, kebajikan, dengan penyesalan dan harapan pengampunan, hanya bisa berusaha sebaik-baiknya, dengan bhakti sekhusuk-khusuknya. Agar air yang kita tuangkan semakin banyak dan semakin bersih. Tapi siapa tahu Dewa Siwa berkenan menurunkan hujan hingga tinta itu hanyut ke samudra luas untuk kemudian menjadi tak berbekas ? 



Minggu, 10 Desember 2023

Runtuhnya Watugunung.

Dahulu kala hidup seorang raja yang tersohor bernama Giriswara, atau Penguasa Gunung. Giriswara memiliki dua istri yang cantiknya tidak kepalang. Yang pertama bernama Sinta, sedangkan yang kedua Landep. Meskipun telah lama menikah, tiada satu pun di antara kedua istri itu dikarunai anak. Situasi ini berlangsung hingga pada satu hari yang tak berbulan, Sinta merasa perut nya sakit dan berkata girang pada suaminya, "O, Giriswara, Suamiku, aku akan melahirkan untuk tuan seorang putra yang kuat. Aku merasa kan  tendangannya yang keras di dalam rahimku. Ia akan menguasai baik siang maupun malamku." 

Giriswara, yang mungkin mempunyai firasat akan hari depannya, menjawab,"O, istriku, aku pun berharap kau melahirkan seorang putra, tetapi sudah tiba saatnya bagiku untuk pergi bertapa di gunung. Asuhlah anak itu dengan baik hingga saat ia menjadi penguasa dunia kelak." Setelah berkata demikian  Giriswara pergi menuju ke sebuah gunung. 

Beberapa saat kemudian, Sinta merasakan sakit perut yang tak tertahankan, pertanda saat kelahiran yang sudah dekat. Landep pun tidak mampu membantu. Ternyata sang bayi tengah memukul rahim dengan sedemikian kerasnya hingga menyebabkan suatu badai yang sangat besar, disertai angin topan dan halilintar yang dahsyat. Kedua wanita itu ketakutan dan memohon bantuan para Dewata. Lalu muncullah Sang Brahma yang membantu kelahiran sang bayi. Bayi itu sangat besar, mirip raksasa, dengan raut muka yang merah menakutkan. Kedua wanita itu merasa terhibur oleh kehadiran sang bayi. 

Mereka mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi dia, yang ketika itu masih disebut Jabang Bayi itu, berperangai buruk dan sering sekali marah bahkan dengan alasan yang sepele sekalipun. Apalagi dia sering meminta hal-hal yang tidak mungkin mereka berikan. Hal ini amat merisaukan dan merepotkan kedua wanita itu. Sampai pada suatu hari, ketika ibunya tengah menanak nasi, dan nasinya belum matang, sang putra mendekatinya dan berkata, "O, Ibu, berikanlah putra ibu, si Jabang Bayi ini, secuil nasi." Tetapi ibunya tidak mau dan menegurnya atas permintaannya itu. 

Penolakan itu disambut teriakan dan tangisan yang bukan kepalang kerasnya; lalu si Jabang Bayi menjatuhkan diri ke  tanah sembari meronta. Merasa gusar, sang ibu memungut centong  nasi dan dipukullah kepala putranya dengan centong  itu. Muncratlah darah segar. Melihat ini, si Jabang Bayi berkata pada ibunya,  "O, Ibu, kau tidak bersikap sebagaimana seorang ibu bersikap semestinya kepada anaknya. Maka aku akan pergi meninggalkanmu." Betapa pun Sinta dan Landep mencoba menahan dan mencegahnya pergi, percuma saja; Jabang Bayi seketika itu berlari dan tak seberapa lama dia sudah jauh. "Dia pasti kembali dan kita akan mengobati lukanya," kata Landep  kepada  Sinta . Tetapi putranya tidak kembali. 

abang Bayi pergi ke gunung, dengan maksud untuk menjumpai ayahnya. Tetapi dia tidak menemukan sang ayah di situ. Yang dia dapatkan ialah sebuah batu besar yang datar. Dan di situ dia bertapa, dalam posisi agranasika-memandang ujung hidung. Demikian hebat tapanya sehingga kahyangan terguncang. Menyaksikan semua itu, dengan penuh kekhawatiran Batara Siwa turun serta menegur anak muda yang tengah bermeditasi ini , "O, putraku, mengapa kau bertapa dengan cara demikian, hingga kahyangan  akan runtuh? Mulai hari ini, kau kuberi nama Watugunung, yaitu batu dari gunung. Tetapi anugerah apa yang sejatinya hendak kau dapatkan dariku. Katakanlah dan akan aku kabulkan."

Seketika Watugunung menjawab: "O, Siwa, dewa di antara dewa, saya ingin kuasa atas pria maupun wanita." "Permintaanmu kukabulkan," kata Siwa, "Kau akan berkuasa atas gunung, dan kau akan mengalahkan ke-27 raja yang berkuasa atas negeri-negeri di mayapada. Kau tidak akan gentar menghadapi siapa pun, apakah raksasa atau pun manusia, apakah api atau pun angin topan." "Tetapi, O Batara Siwa," tukas Watugunung, "Dapatkah Batara menjelaskan kepada hamba bagaimana akhir nasibku ?" "Akan tiba ajalmu," jawab Siwa, "Bila kau bertemu dengan suatu makhluk berkepala penyu raksasa dan berkuku lima (Panca Naka) yang dapat mengelilingi dunia dalam tiga ayunan langkah (Triwikrama). Betapapun dahsyat perlawananmu, o putraku, ingatlah petunjukku ini dan ketahuilah bahwa hari kematianmu telah tiba." 

Kemudian Siwa menghilang. Wujudnya lenyap di udara, menjelma menjadi Gunung Siwagunungpala. Watugunung melanjutkan perjalanannya, demi memenuhi garis nasib sebagaimana sabda Sang Batara. Dia lalu mencapai kerajaan Emalaya yang dipimpin oleh raja Wukir (alias Giriswara, ayahnya yang terlupakan itu). Sesampai di situ ia begitu lelah dan penuh debu. Melihat suatu sungai yang bening dan jernih, seketika dia ingin mandi kemudian ia beristirahat di situ. Sesaat dia mendengar suara perempuan yang menyanyi merdu. 

Terpesona oleh lagu itu, dia mendekat, dan terlihatnya seorang wanita nan jelita, tengah mandi telanjang di sungai, dengan tubuhnya kemilau dicurahi cahaya matahari. Sungguh ia  menginginkan wanita itu. Lalu wanita itu disergap dan dijamahnya dengan nafsu yang tak tertahankan, tetapi sang wanita  berteriak minta tolong. Dan suaminya, yang ketika itu tengah bekerja di sawah, datang membantu. Gusar menyaksikan sikap Watugunung, diancamnya Watugunung itu dengan celurit. Sementara itu orang-orang memberitahu raja bahwa ada seorang laki-laki yang hendak memerkosa wanita yang sudah bersuami. Raja Wukir bergegas datang ke tempat peristiwa itu disertai serdadu-serdadu pilihannya. 

Mereka mengepung Watugunung, tetapi raksasa muda ini mengalahkan mereka semua karena sudah tersurat oleh takdir bahwa dia bakal menguasai seluruh dunia. Menyerahlah raja Wukir. Hal yang sama juga terjadi pada raja-raja yang berani menantang Watugunung. Mereka disebut raja-raja Wuku, yang keseluruhannya berjumlah 27, termasuk Wukir, yaitu: Kulantir, Taulu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dunggulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uyeh, Menail, Perangbakat,  Bala, Ugu, Wayang, Kulawu dan Dukut. 

Dengan menyerahnya  raja-raja ini tak ayal lagi Watugunung telah  menjadi raja di raja, raja raksasa di seluruh bumi. Pada suatu hari, ketika dia tengah berembuk dengan raja-raja bawahannya, salah satu di antara mereka berkata ,  "O, Watugunung Tuanku, kau paling adijaya di antara para manusia; kami para raja pun takluk pada kedigdayaanmu. Tetapi bukankahlah masih ada dua putri cantik di Jalasanggara, di kaki gunung itu, yang patut pula ditaklukan. Maka pergilah, Tuanku, dan jadikanlah mereka istri." Terkipasi oleh tantangan ini, Watugunung segera menyerang wilayah kedua putri itu dan dengan cepat mengalahkan mereka. Lalu dia berkata kepada putri yang telah ditaklukannya itu , "O, putri-putri yang bersemayam di kaki gunung, kalian sedemikian jelita, perkenankanlah aku menjadikan kalian berdua sebagai istriku."

Jumat, 17 November 2023

Dewa Siwa.

Menurut kitab kitab Pueana, Dewa Siwa disebut memiliki bermacam macam wahana dan keluarga yang saling bertentangan. Walaupun demikian, masing masing wahana dan keluarga begitu tenang tanpa pertentangan. Sehingga keluarga beliau ini berada dalam suasana tenang dan rukun. Misalnya di lengan, leher ,pinggang dan kepala Dewa Siwa ada hewan kesayangannya yang melilit yaitu ular kobra. .Tapi Salah satu putranya yang bernama Dewa Kumara justru mengendarai merak. Padahal merak itu pada umumnya menyerang ular. Sementara Ganesha putra Dewa Siwa yang lain mengendarai seekor tikus. Padahal tikus adalah makanan ular. Dewa berkepala gajah membangkitkan selera makan singa. Tapi singa adalah wahana Dewi Durga pendamping Siwa. Berdasarkan sifatnya, singa itu buas. Suka memangsa gajah dan sapi jantan. Padahal  sapi jantan itu adalsh kendaraannya Dewa Siwa. Pada titik pusat dahi Dewa Siwa memancarkan api. Sementara pada gelung rambutnya memancarkan air dari sungai Gangga. Keduanya saling bertentangan. Coba bayangkan! Betapa unsur yang saling bertentangan itu saling bekerja sama dengan penuh kasih sayang sehingga kehidupan di gunung Kailas demikian tenang.

Semua itu tergantung pada perasaan dan disiplin pikiran yang terkendali selayaknya. Senjata kasih sayang akan menghilangkan rasa permusuhan setiap lawan. Kasih sayang akan dipantulkan kembali. Dan hanya kasih sayang lah yang diperoleh sebagai reaksinya. Oh sahabatku terkasih. Serukanlah kasih sayang dan pengendalian diri, maka hati orang lain pun akan timbul gema kasih sayang dan pengendalian diri.

Kamis, 16 November 2023

Pertanyaan Drona Kepada Duryodana Dan Yudistira.

Pada zaman dahulu dalam kisah Mahabharata diceritakan ada seorang guru yang sedang bertanya kepada dua orang murudnya yaitu kepada Yudistira dan Duryudana. Guru Drona awalnya bertanya pada Duryodana " bagaimana pendapatmu tentang Raja Drupada ? Tanya Drona. Kemudian Duryidana menjawab "Drupada adalah raja yang tidak becus memerintah kerajaannya. Dan juga dia adalah raja yang tidak terlalu pandai dalam berperang"  Kemudian Drona bertanya pada Yudistira. Pertanyaan yang sama. Yudistira menjawab ""Raja Drupada adalah raja yang dicintai rakyatnya karena beliau adalah seorang raja yang sangat adil dan bijaksana. Guru Drona kemudian tersenyum mendengarkan awaban kedua muridnya. Duryodana yang berhati culas dan penuh iri hati, selalu menilai orang lain dari sisi buruknya. Sedangkan Yudistira yamg berhati lembut dan penuh cinta kasih selalu menilai orang lain tentang kelebihan dari orang tersebut. Makna yang tersirat dari percakapan tersebut dapat kita petik bahwa kita dianjurkan agar selalu berhati hati dalam menilai seseorang. Karena apapun penilaianmu terhadap orang lain menunjukkan hatimu yang sesungguhnya.

Rabu, 13 September 2023

Narayana.

Narayana adalah nama lain dari dewa Wisnu . Beliau digambarkan dalam keadaan tidur yoga di bawah air surgawi yang melambangkan prinsip maskulin dan dikaitkan dengan perannya dalam penciptaan.Ia juga dikenal sebagai Purushottama , dan dianggap sebagai Makhluk Tertinggi dalam Vaishnavisme . Narayana sebagai wujud primordial dalam Weda Sruti maupun Smerti.

Nama Narayana termuat dalam Mantra Trisandhya bait kedua yang merupakan bagian dari manuscript lontar mantra Catur Weda Sirah bagian Yayur Weda yaitu: Om Nàràyana evedam sarvam yad bhùtam yac ca bhavyam niskalanko nirañjano nirvikalpo niràkhyàtah suddo deva eko Nàràyano na dvitìyo’sti kascit. 

Yang artinya "Ya Tuhan, Nàràyana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah  Nàràyana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua. Pada bagian Reg Weda juga dijelaskan bahwa Narayana pencipta 12 Aditya(Narayanad Dwa-dasãditya) Sama persis seperti sloka Bhagawad gita 10.21 diantara Aditya aku adalah Wisnu, dan dalam sloka 11.22 dijelaskan para Aditya kagum melihat-ku. Sifat sifat Narayana yang ada dalam bait kedua mantra Trisndhya dijelaskan bebas dari noda, kotoran,perubahan dan tak terungkapkan(Nirakyatah) yang sama maknanya dengan tak terbayangkan(Acintya)
Narayana adalah salah satu nama Tuhan yang tak terungkapkan atau tak terbayangkan, jangan beranggapan bahwa Narayana yang dipuja dalam mantra Trisandhya adalah manusia yang lahir jaman Mahabharata atau manusia yang lahir di Putaparti bernama Satya Narayana Raju.

Ketika seseorang berserah diri kepada Narayana, Beliau dengan penuh belas kasih memutuskan hubungan orang tersebut dari semua Karma sebelumnya (Baik maupun Buruk). Tapi, bukan berarti orang tersebut tidak akan mendapat masalah apapun dalam hidupnya. Setelah menyadari penyerahan dirinya, Narayana mengambil segala tanggung jawab atas dirinya dalam kehidupan ini dan juga setelah kematian. Jika seseorang melakukan perbuatan buruk, Narayana memaafkan perbuatan buruk yang dilakukan tanpa disadari dan memberikan hukuman bagi perbuatan buruk yang dilakukan dengan sengaja. Pada akhirnya, merupakan keputusan Narayana, apakah akan diberikan Moksha (pembebasan) dalam kehidupan ini atau tidak.

Narayana adalah penguasa, pemilik, pengendali dan sandaran segala sesuatu yang ada. Segala manifestasi 'chetana' (hidup) dan 'achetana' (tidak hidup) adalah bagian dari wujud suci-Nya. Sri Maha Lakshmi adalah mata belas kasih dan empati Narayana, yang melaluinya Bhagavan selalu melihat semua jivatma berjuang keras dalam samsara ini dan memikirkan bagaimana membantu mereka menyeberangi lautan kelahiran dan kematian.