Minggu, 10 Desember 2023

Runtuhnya Watugunung.

Dahulu kala hidup seorang raja yang tersohor bernama Giriswara, atau Penguasa Gunung. Giriswara memiliki dua istri yang cantiknya tidak kepalang. Yang pertama bernama Sinta, sedangkan yang kedua Landep. Meskipun telah lama menikah, tiada satu pun di antara kedua istri itu dikarunai anak. Situasi ini berlangsung hingga pada satu hari yang tak berbulan, Sinta merasa perut nya sakit dan berkata girang pada suaminya, "O, Giriswara, Suamiku, aku akan melahirkan untuk tuan seorang putra yang kuat. Aku merasa kan  tendangannya yang keras di dalam rahimku. Ia akan menguasai baik siang maupun malamku." 

Giriswara, yang mungkin mempunyai firasat akan hari depannya, menjawab,"O, istriku, aku pun berharap kau melahirkan seorang putra, tetapi sudah tiba saatnya bagiku untuk pergi bertapa di gunung. Asuhlah anak itu dengan baik hingga saat ia menjadi penguasa dunia kelak." Setelah berkata demikian  Giriswara pergi menuju ke sebuah gunung. 

Beberapa saat kemudian, Sinta merasakan sakit perut yang tak tertahankan, pertanda saat kelahiran yang sudah dekat. Landep pun tidak mampu membantu. Ternyata sang bayi tengah memukul rahim dengan sedemikian kerasnya hingga menyebabkan suatu badai yang sangat besar, disertai angin topan dan halilintar yang dahsyat. Kedua wanita itu ketakutan dan memohon bantuan para Dewata. Lalu muncullah Sang Brahma yang membantu kelahiran sang bayi. Bayi itu sangat besar, mirip raksasa, dengan raut muka yang merah menakutkan. Kedua wanita itu merasa terhibur oleh kehadiran sang bayi. 

Mereka mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi dia, yang ketika itu masih disebut Jabang Bayi itu, berperangai buruk dan sering sekali marah bahkan dengan alasan yang sepele sekalipun. Apalagi dia sering meminta hal-hal yang tidak mungkin mereka berikan. Hal ini amat merisaukan dan merepotkan kedua wanita itu. Sampai pada suatu hari, ketika ibunya tengah menanak nasi, dan nasinya belum matang, sang putra mendekatinya dan berkata, "O, Ibu, berikanlah putra ibu, si Jabang Bayi ini, secuil nasi." Tetapi ibunya tidak mau dan menegurnya atas permintaannya itu. 

Penolakan itu disambut teriakan dan tangisan yang bukan kepalang kerasnya; lalu si Jabang Bayi menjatuhkan diri ke  tanah sembari meronta. Merasa gusar, sang ibu memungut centong  nasi dan dipukullah kepala putranya dengan centong  itu. Muncratlah darah segar. Melihat ini, si Jabang Bayi berkata pada ibunya,  "O, Ibu, kau tidak bersikap sebagaimana seorang ibu bersikap semestinya kepada anaknya. Maka aku akan pergi meninggalkanmu." Betapa pun Sinta dan Landep mencoba menahan dan mencegahnya pergi, percuma saja; Jabang Bayi seketika itu berlari dan tak seberapa lama dia sudah jauh. "Dia pasti kembali dan kita akan mengobati lukanya," kata Landep  kepada  Sinta . Tetapi putranya tidak kembali. 

abang Bayi pergi ke gunung, dengan maksud untuk menjumpai ayahnya. Tetapi dia tidak menemukan sang ayah di situ. Yang dia dapatkan ialah sebuah batu besar yang datar. Dan di situ dia bertapa, dalam posisi agranasika-memandang ujung hidung. Demikian hebat tapanya sehingga kahyangan terguncang. Menyaksikan semua itu, dengan penuh kekhawatiran Batara Siwa turun serta menegur anak muda yang tengah bermeditasi ini , "O, putraku, mengapa kau bertapa dengan cara demikian, hingga kahyangan  akan runtuh? Mulai hari ini, kau kuberi nama Watugunung, yaitu batu dari gunung. Tetapi anugerah apa yang sejatinya hendak kau dapatkan dariku. Katakanlah dan akan aku kabulkan."

Seketika Watugunung menjawab: "O, Siwa, dewa di antara dewa, saya ingin kuasa atas pria maupun wanita." "Permintaanmu kukabulkan," kata Siwa, "Kau akan berkuasa atas gunung, dan kau akan mengalahkan ke-27 raja yang berkuasa atas negeri-negeri di mayapada. Kau tidak akan gentar menghadapi siapa pun, apakah raksasa atau pun manusia, apakah api atau pun angin topan." "Tetapi, O Batara Siwa," tukas Watugunung, "Dapatkah Batara menjelaskan kepada hamba bagaimana akhir nasibku ?" "Akan tiba ajalmu," jawab Siwa, "Bila kau bertemu dengan suatu makhluk berkepala penyu raksasa dan berkuku lima (Panca Naka) yang dapat mengelilingi dunia dalam tiga ayunan langkah (Triwikrama). Betapapun dahsyat perlawananmu, o putraku, ingatlah petunjukku ini dan ketahuilah bahwa hari kematianmu telah tiba." 

Kemudian Siwa menghilang. Wujudnya lenyap di udara, menjelma menjadi Gunung Siwagunungpala. Watugunung melanjutkan perjalanannya, demi memenuhi garis nasib sebagaimana sabda Sang Batara. Dia lalu mencapai kerajaan Emalaya yang dipimpin oleh raja Wukir (alias Giriswara, ayahnya yang terlupakan itu). Sesampai di situ ia begitu lelah dan penuh debu. Melihat suatu sungai yang bening dan jernih, seketika dia ingin mandi kemudian ia beristirahat di situ. Sesaat dia mendengar suara perempuan yang menyanyi merdu. 

Terpesona oleh lagu itu, dia mendekat, dan terlihatnya seorang wanita nan jelita, tengah mandi telanjang di sungai, dengan tubuhnya kemilau dicurahi cahaya matahari. Sungguh ia  menginginkan wanita itu. Lalu wanita itu disergap dan dijamahnya dengan nafsu yang tak tertahankan, tetapi sang wanita  berteriak minta tolong. Dan suaminya, yang ketika itu tengah bekerja di sawah, datang membantu. Gusar menyaksikan sikap Watugunung, diancamnya Watugunung itu dengan celurit. Sementara itu orang-orang memberitahu raja bahwa ada seorang laki-laki yang hendak memerkosa wanita yang sudah bersuami. Raja Wukir bergegas datang ke tempat peristiwa itu disertai serdadu-serdadu pilihannya. 

Mereka mengepung Watugunung, tetapi raksasa muda ini mengalahkan mereka semua karena sudah tersurat oleh takdir bahwa dia bakal menguasai seluruh dunia. Menyerahlah raja Wukir. Hal yang sama juga terjadi pada raja-raja yang berani menantang Watugunung. Mereka disebut raja-raja Wuku, yang keseluruhannya berjumlah 27, termasuk Wukir, yaitu: Kulantir, Taulu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dunggulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uyeh, Menail, Perangbakat,  Bala, Ugu, Wayang, Kulawu dan Dukut. 

Dengan menyerahnya  raja-raja ini tak ayal lagi Watugunung telah  menjadi raja di raja, raja raksasa di seluruh bumi. Pada suatu hari, ketika dia tengah berembuk dengan raja-raja bawahannya, salah satu di antara mereka berkata ,  "O, Watugunung Tuanku, kau paling adijaya di antara para manusia; kami para raja pun takluk pada kedigdayaanmu. Tetapi bukankahlah masih ada dua putri cantik di Jalasanggara, di kaki gunung itu, yang patut pula ditaklukan. Maka pergilah, Tuanku, dan jadikanlah mereka istri." Terkipasi oleh tantangan ini, Watugunung segera menyerang wilayah kedua putri itu dan dengan cepat mengalahkan mereka. Lalu dia berkata kepada putri yang telah ditaklukannya itu , "O, putri-putri yang bersemayam di kaki gunung, kalian sedemikian jelita, perkenankanlah aku menjadikan kalian berdua sebagai istriku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar