Minggu, 10 Desember 2023

Runtuhnya Watugunung.

Dahulu kala hidup seorang raja yang tersohor bernama Giriswara, atau Penguasa Gunung. Giriswara memiliki dua istri yang cantiknya tidak kepalang. Yang pertama bernama Sinta, sedangkan yang kedua Landep. Meskipun telah lama menikah, tiada satu pun di antara kedua istri itu dikarunai anak. Situasi ini berlangsung hingga pada satu hari yang tak berbulan, Sinta merasa perut nya sakit dan berkata girang pada suaminya, "O, Giriswara, Suamiku, aku akan melahirkan untuk tuan seorang putra yang kuat. Aku merasa kan  tendangannya yang keras di dalam rahimku. Ia akan menguasai baik siang maupun malamku." 

Giriswara, yang mungkin mempunyai firasat akan hari depannya, menjawab,"O, istriku, aku pun berharap kau melahirkan seorang putra, tetapi sudah tiba saatnya bagiku untuk pergi bertapa di gunung. Asuhlah anak itu dengan baik hingga saat ia menjadi penguasa dunia kelak." Setelah berkata demikian  Giriswara pergi menuju ke sebuah gunung. 

Beberapa saat kemudian, Sinta merasakan sakit perut yang tak tertahankan, pertanda saat kelahiran yang sudah dekat. Landep pun tidak mampu membantu. Ternyata sang bayi tengah memukul rahim dengan sedemikian kerasnya hingga menyebabkan suatu badai yang sangat besar, disertai angin topan dan halilintar yang dahsyat. Kedua wanita itu ketakutan dan memohon bantuan para Dewata. Lalu muncullah Sang Brahma yang membantu kelahiran sang bayi. Bayi itu sangat besar, mirip raksasa, dengan raut muka yang merah menakutkan. Kedua wanita itu merasa terhibur oleh kehadiran sang bayi. 

Mereka mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi dia, yang ketika itu masih disebut Jabang Bayi itu, berperangai buruk dan sering sekali marah bahkan dengan alasan yang sepele sekalipun. Apalagi dia sering meminta hal-hal yang tidak mungkin mereka berikan. Hal ini amat merisaukan dan merepotkan kedua wanita itu. Sampai pada suatu hari, ketika ibunya tengah menanak nasi, dan nasinya belum matang, sang putra mendekatinya dan berkata, "O, Ibu, berikanlah putra ibu, si Jabang Bayi ini, secuil nasi." Tetapi ibunya tidak mau dan menegurnya atas permintaannya itu. 

Penolakan itu disambut teriakan dan tangisan yang bukan kepalang kerasnya; lalu si Jabang Bayi menjatuhkan diri ke  tanah sembari meronta. Merasa gusar, sang ibu memungut centong  nasi dan dipukullah kepala putranya dengan centong  itu. Muncratlah darah segar. Melihat ini, si Jabang Bayi berkata pada ibunya,  "O, Ibu, kau tidak bersikap sebagaimana seorang ibu bersikap semestinya kepada anaknya. Maka aku akan pergi meninggalkanmu." Betapa pun Sinta dan Landep mencoba menahan dan mencegahnya pergi, percuma saja; Jabang Bayi seketika itu berlari dan tak seberapa lama dia sudah jauh. "Dia pasti kembali dan kita akan mengobati lukanya," kata Landep  kepada  Sinta . Tetapi putranya tidak kembali. 

abang Bayi pergi ke gunung, dengan maksud untuk menjumpai ayahnya. Tetapi dia tidak menemukan sang ayah di situ. Yang dia dapatkan ialah sebuah batu besar yang datar. Dan di situ dia bertapa, dalam posisi agranasika-memandang ujung hidung. Demikian hebat tapanya sehingga kahyangan terguncang. Menyaksikan semua itu, dengan penuh kekhawatiran Batara Siwa turun serta menegur anak muda yang tengah bermeditasi ini , "O, putraku, mengapa kau bertapa dengan cara demikian, hingga kahyangan  akan runtuh? Mulai hari ini, kau kuberi nama Watugunung, yaitu batu dari gunung. Tetapi anugerah apa yang sejatinya hendak kau dapatkan dariku. Katakanlah dan akan aku kabulkan."

Seketika Watugunung menjawab: "O, Siwa, dewa di antara dewa, saya ingin kuasa atas pria maupun wanita." "Permintaanmu kukabulkan," kata Siwa, "Kau akan berkuasa atas gunung, dan kau akan mengalahkan ke-27 raja yang berkuasa atas negeri-negeri di mayapada. Kau tidak akan gentar menghadapi siapa pun, apakah raksasa atau pun manusia, apakah api atau pun angin topan." "Tetapi, O Batara Siwa," tukas Watugunung, "Dapatkah Batara menjelaskan kepada hamba bagaimana akhir nasibku ?" "Akan tiba ajalmu," jawab Siwa, "Bila kau bertemu dengan suatu makhluk berkepala penyu raksasa dan berkuku lima (Panca Naka) yang dapat mengelilingi dunia dalam tiga ayunan langkah (Triwikrama). Betapapun dahsyat perlawananmu, o putraku, ingatlah petunjukku ini dan ketahuilah bahwa hari kematianmu telah tiba." 

Kemudian Siwa menghilang. Wujudnya lenyap di udara, menjelma menjadi Gunung Siwagunungpala. Watugunung melanjutkan perjalanannya, demi memenuhi garis nasib sebagaimana sabda Sang Batara. Dia lalu mencapai kerajaan Emalaya yang dipimpin oleh raja Wukir (alias Giriswara, ayahnya yang terlupakan itu). Sesampai di situ ia begitu lelah dan penuh debu. Melihat suatu sungai yang bening dan jernih, seketika dia ingin mandi kemudian ia beristirahat di situ. Sesaat dia mendengar suara perempuan yang menyanyi merdu. 

Terpesona oleh lagu itu, dia mendekat, dan terlihatnya seorang wanita nan jelita, tengah mandi telanjang di sungai, dengan tubuhnya kemilau dicurahi cahaya matahari. Sungguh ia  menginginkan wanita itu. Lalu wanita itu disergap dan dijamahnya dengan nafsu yang tak tertahankan, tetapi sang wanita  berteriak minta tolong. Dan suaminya, yang ketika itu tengah bekerja di sawah, datang membantu. Gusar menyaksikan sikap Watugunung, diancamnya Watugunung itu dengan celurit. Sementara itu orang-orang memberitahu raja bahwa ada seorang laki-laki yang hendak memerkosa wanita yang sudah bersuami. Raja Wukir bergegas datang ke tempat peristiwa itu disertai serdadu-serdadu pilihannya. 

Mereka mengepung Watugunung, tetapi raksasa muda ini mengalahkan mereka semua karena sudah tersurat oleh takdir bahwa dia bakal menguasai seluruh dunia. Menyerahlah raja Wukir. Hal yang sama juga terjadi pada raja-raja yang berani menantang Watugunung. Mereka disebut raja-raja Wuku, yang keseluruhannya berjumlah 27, termasuk Wukir, yaitu: Kulantir, Taulu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dunggulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uyeh, Menail, Perangbakat,  Bala, Ugu, Wayang, Kulawu dan Dukut. 

Dengan menyerahnya  raja-raja ini tak ayal lagi Watugunung telah  menjadi raja di raja, raja raksasa di seluruh bumi. Pada suatu hari, ketika dia tengah berembuk dengan raja-raja bawahannya, salah satu di antara mereka berkata ,  "O, Watugunung Tuanku, kau paling adijaya di antara para manusia; kami para raja pun takluk pada kedigdayaanmu. Tetapi bukankahlah masih ada dua putri cantik di Jalasanggara, di kaki gunung itu, yang patut pula ditaklukan. Maka pergilah, Tuanku, dan jadikanlah mereka istri." Terkipasi oleh tantangan ini, Watugunung segera menyerang wilayah kedua putri itu dan dengan cepat mengalahkan mereka. Lalu dia berkata kepada putri yang telah ditaklukannya itu , "O, putri-putri yang bersemayam di kaki gunung, kalian sedemikian jelita, perkenankanlah aku menjadikan kalian berdua sebagai istriku."

Jumat, 17 November 2023

Dewa Siwa.

Menurut kitab kitab Pueana, Dewa Siwa disebut memiliki bermacam macam wahana dan keluarga yang saling bertentangan. Walaupun demikian, masing masing wahana dan keluarga begitu tenang tanpa pertentangan. Sehingga keluarga beliau ini berada dalam suasana tenang dan rukun. Misalnya di lengan, leher ,pinggang dan kepala Dewa Siwa ada hewan kesayangannya yang melilit yaitu ular kobra. .Tapi Salah satu putranya yang bernama Dewa Kumara justru mengendarai merak. Padahal merak itu pada umumnya menyerang ular. Sementara Ganesha putra Dewa Siwa yang lain mengendarai seekor tikus. Padahal tikus adalah makanan ular. Dewa berkepala gajah membangkitkan selera makan singa. Tapi singa adalah wahana Dewi Durga pendamping Siwa. Berdasarkan sifatnya, singa itu buas. Suka memangsa gajah dan sapi jantan. Padahal  sapi jantan itu adalsh kendaraannya Dewa Siwa. Pada titik pusat dahi Dewa Siwa memancarkan api. Sementara pada gelung rambutnya memancarkan air dari sungai Gangga. Keduanya saling bertentangan. Coba bayangkan! Betapa unsur yang saling bertentangan itu saling bekerja sama dengan penuh kasih sayang sehingga kehidupan di gunung Kailas demikian tenang.

Semua itu tergantung pada perasaan dan disiplin pikiran yang terkendali selayaknya. Senjata kasih sayang akan menghilangkan rasa permusuhan setiap lawan. Kasih sayang akan dipantulkan kembali. Dan hanya kasih sayang lah yang diperoleh sebagai reaksinya. Oh sahabatku terkasih. Serukanlah kasih sayang dan pengendalian diri, maka hati orang lain pun akan timbul gema kasih sayang dan pengendalian diri.

Kamis, 16 November 2023

Pertanyaan Drona Kepada Duryodana Dan Yudistira.

Pada zaman dahulu dalam kisah Mahabharata diceritakan ada seorang guru yang sedang bertanya kepada dua orang murudnya yaitu kepada Yudistira dan Duryudana. Guru Drona awalnya bertanya pada Duryodana " bagaimana pendapatmu tentang Raja Drupada ? Tanya Drona. Kemudian Duryidana menjawab "Drupada adalah raja yang tidak becus memerintah kerajaannya. Dan juga dia adalah raja yang tidak terlalu pandai dalam berperang"  Kemudian Drona bertanya pada Yudistira. Pertanyaan yang sama. Yudistira menjawab ""Raja Drupada adalah raja yang dicintai rakyatnya karena beliau adalah seorang raja yang sangat adil dan bijaksana. Guru Drona kemudian tersenyum mendengarkan awaban kedua muridnya. Duryodana yang berhati culas dan penuh iri hati, selalu menilai orang lain dari sisi buruknya. Sedangkan Yudistira yamg berhati lembut dan penuh cinta kasih selalu menilai orang lain tentang kelebihan dari orang tersebut. Makna yang tersirat dari percakapan tersebut dapat kita petik bahwa kita dianjurkan agar selalu berhati hati dalam menilai seseorang. Karena apapun penilaianmu terhadap orang lain menunjukkan hatimu yang sesungguhnya.

Rabu, 13 September 2023

Narayana.

Narayana adalah nama lain dari dewa Wisnu . Beliau digambarkan dalam keadaan tidur yoga di bawah air surgawi yang melambangkan prinsip maskulin dan dikaitkan dengan perannya dalam penciptaan.Ia juga dikenal sebagai Purushottama , dan dianggap sebagai Makhluk Tertinggi dalam Vaishnavisme . Narayana sebagai wujud primordial dalam Weda Sruti maupun Smerti.

Nama Narayana termuat dalam Mantra Trisandhya bait kedua yang merupakan bagian dari manuscript lontar mantra Catur Weda Sirah bagian Yayur Weda yaitu: Om Nàràyana evedam sarvam yad bhùtam yac ca bhavyam niskalanko nirañjano nirvikalpo niràkhyàtah suddo deva eko Nàràyano na dvitìyo’sti kascit. 

Yang artinya "Ya Tuhan, Nàràyana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah  Nàràyana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua. Pada bagian Reg Weda juga dijelaskan bahwa Narayana pencipta 12 Aditya(Narayanad Dwa-dasãditya) Sama persis seperti sloka Bhagawad gita 10.21 diantara Aditya aku adalah Wisnu, dan dalam sloka 11.22 dijelaskan para Aditya kagum melihat-ku. Sifat sifat Narayana yang ada dalam bait kedua mantra Trisndhya dijelaskan bebas dari noda, kotoran,perubahan dan tak terungkapkan(Nirakyatah) yang sama maknanya dengan tak terbayangkan(Acintya)
Narayana adalah salah satu nama Tuhan yang tak terungkapkan atau tak terbayangkan, jangan beranggapan bahwa Narayana yang dipuja dalam mantra Trisandhya adalah manusia yang lahir jaman Mahabharata atau manusia yang lahir di Putaparti bernama Satya Narayana Raju.

Ketika seseorang berserah diri kepada Narayana, Beliau dengan penuh belas kasih memutuskan hubungan orang tersebut dari semua Karma sebelumnya (Baik maupun Buruk). Tapi, bukan berarti orang tersebut tidak akan mendapat masalah apapun dalam hidupnya. Setelah menyadari penyerahan dirinya, Narayana mengambil segala tanggung jawab atas dirinya dalam kehidupan ini dan juga setelah kematian. Jika seseorang melakukan perbuatan buruk, Narayana memaafkan perbuatan buruk yang dilakukan tanpa disadari dan memberikan hukuman bagi perbuatan buruk yang dilakukan dengan sengaja. Pada akhirnya, merupakan keputusan Narayana, apakah akan diberikan Moksha (pembebasan) dalam kehidupan ini atau tidak.

Narayana adalah penguasa, pemilik, pengendali dan sandaran segala sesuatu yang ada. Segala manifestasi 'chetana' (hidup) dan 'achetana' (tidak hidup) adalah bagian dari wujud suci-Nya. Sri Maha Lakshmi adalah mata belas kasih dan empati Narayana, yang melaluinya Bhagavan selalu melihat semua jivatma berjuang keras dalam samsara ini dan memikirkan bagaimana membantu mereka menyeberangi lautan kelahiran dan kematian.







Selasa, 12 September 2023

Kemuliaan Nama Rama. Bag.1

Suatu kali Dewa Rsi Narada menghadap Vishnu dan memohon agar Beliau menjelaskan keampuhan nama Rama, 

Orang –orang menyanjung keampuhan nama Rama setinggi langit. Maukah anda menjelaskannya?” Vishnu hendak menunjukkan keampuhan nama Rama dengan contoh: 

Narada! Lihatlah ada seekor burung gagak bertenger di pohon. Temui dan ucapkan nama Rama. Mintalah gagak itu mengucapkan nama Rama satu kali, “kata Vishnu

Narada mematuhi perintah itu dan pergi menemui si burung gagak serta memintanya mengucapkan nama Rama. Begitu gagak itu mengucapkan nama suci “Rama,” ia langsung mati dan jatuh dari pohon. Narada sedih karena gagak itu mati hanya dengan melantunkan nama Rama sekali. Karena itu, ia kembali menghadap Vishnu dan melaporkan kematian gagak tersebut. 

“Oh Tuhan, Sesuai dengan perintahmu, saya minta gagak itu mengucapkan nama Rama, tetapi burung itu lalu mati.” Kemudian Vishnu berkata “Oh Narada! Jangan khawatir tentang kematian gagak itu. Sekarang pergilah menemui seekor burung merak indah yang baru saja menetas dan mintalah ia mengucapkan nama Rama sekali saja.”

Sesuai dengan petunjuk Vishnu Narada pergi menemui burung merak yang baru saja menetas dan berkata “Oh Merak, keindahan dan keluwesanmu memikat dan menawan hati. Cobalah ucapkan kata “Rama” sekali saja.” Begitu merak kecil itu mengucapkan nama “Rama” ia langsung mati terkapar. Narada menghadap Vishnu lagi dan melaporkan tentang kematian burung merak tersebut setelah mengucapkan nama Rama sekali. 

Vishnu memberi petunjuk lagi kepada Narada, “Oh Narada, di kandang sapi di dekat sini ada seekor lembu betina yang baru saja beranak. Pergilah menengok anak sapi itu dan mintalah dia mengucapkan nama suci Rama.” Narada takut kalau-kalau anak sapi itu juga bernasib sama seperti gagak dan merak. Namun ia mematuhi perintah Vishnu dan meminta anak sapi itu agar mengucapkan nama suci Rama. Begitu anak sapi yang baru lahir itu mendengarkan kata Rama, ia juga langsung roboh, mati.

Ketika Narada melaporkan kejadian ini kepada Vishnu, Beliau memberi petunjuk lagi, “Oh Narada, kali ini pergilah ke istana raja. Seorang bayi laki-laki baru saja lahir di situ. Mintalah pangeran kecil itu mengucapkan nama Rama.” Narada takut sekali menemui sang pangeran karena gagak, merak, dan anak sapi yang ditemuinya sebelum ini semuanya mati hanya setelah mendengar nama Rama yang hanya diucapkan sekali. Ia mohon agar Vishnu menyelamatkan hidupnya karena raja pasti akan menjatuhkan hukuman mati kepadanya bila ada sesuatu yang terjadi pada pangeran kecil setelah ia mengucapkan nama Rama. Namun, Vishnu bersikeras agar Narada mematuhi petunjuk Beliau.

Narada pergi ke istana dan meminta pangeran yang baru lahir agar mengucapkan nama Rama sekali. Pangeran itu menyampaikan hormatnya kepada Batara Narada dan memberitahu sang Rsi bahwa hanya mendengarkan nama Rama sekali saja, ia berubah dari seekor burung gagak, menjadi merak, dan dari anak sapi ia berubah menjadi manusia sebagi seorang pangeran. Ia menyampaikan rasa terimaksihnya kepada Narada karena telah menginisiasinya kedalam nama Rama. Dengan demikian nama suci Tuhan memberikan kelahiran sebagai manusia yang dianggap sebagai anugerah langka.

(Divine Course 15 Januari 2008-  hal 36)

Minggu, 25 Juni 2023

Kemuliaan Nama Rama. Bag.2

Ketika Sri Rama berperang dengan  Rāvaṇa, Indrajit menyerang dengan   Nagapasa, menjerat Sri Rama dan Lakshmana sehingga jatuh pingsan, Garuda terpanggil untuk menyelamatkan kedua Bersaudara itu. Setelah menyelamatkan Mereka, dalam perjalanan kembali ke Vaikuntha, Garuda memiliki beberapa pertanyaan, "apakah Beliau benar-benar Sri Visnu, lalu kenapa tidak bisa menyelamatkan diriNya Sendiri dan harus perlu bantuanku?"

Saya pikir Sri Rama adalah Penyelamat selama ini, saya pikir Dia akan membantu, tetapi hari ini jika saya tidak menyelamatkanNya, Dia akan mati, bagaimana saya bisa bergantung padaNya? Sepertinya saya lebih kuat dari Dia, karena tanpa saya, dia dan saudaranya akan mati dalam perang”.

 Keraguan itu terus menghantui Garuda, keraguan menguasai pikiran, kesadarannya mulai turun.

Dalam perjalanan, dia bertemu Narada Muni. Garuda mengajukan pertanyaan itu kepadanya. “Sepertinya dia menderita ego”, pikir Narada dan menjawab dengan sederhana kepada Garuda, “saya tidak tahu tentang semua itu, waktu saya habis untuk Hari-japa, tidak pernah terlalu memperhatikan semua itu”, dan Narada pergi.

Garuda kini semakin yakin ada yang tidak beres, egonya semakin tumbuh. Pergi ke Dewa Brahma dan menanyakan pertanyaan yang sama, Brahma mengatakan, “maafkan, seluruh waktu saya habis untuk mempelajari Veda”. Garuda memutuskan untuk mengunjungi Kailasa, bertanya kepada Dewa Shiva.

Ditengah jalan dia bertemu Dewa Shiva dan mengajukan pertanyaan yang sama, Beliau menjawab pada Garuda dengan sangat tenang, “saya tidak tahu apa-apa, nanti diKailasa saya akan menjelaskan semuanya. Tapi Garuda tidak mau mendengarkan dan mendesak untuk dijawab saat itu juga. “Jika kamu bersikeras, pergi dan kunjungi burung gagak yang tinggal disana, dia bisa menjawab pertanyaanmu”, sambil menunjuk ke arah puncak bukit. 

Shiva tiba di Kailasa dan Ibu Parvati bertanya mengapa Dia tidak mengoreksi Garuda, Beliau menjawab sambil tersenyum, “dia penuh ego dan itu perlu diluruskan, jadi saya mengirimnya ke burung gagak itu, dia tidak hanya akan mendapatkan jawabannya tetapi egonya juga akan diturunkan”.

Garuda yang kini menjadi terlalu egois, tidak yakin apakah ia harus bertemu dengan burung gagak yang dia rasa makhluk rendahan, tapi akhirnya memutuskan untuk melakukannya. Saat melihat Garuda, burung gagak memberinya sambutan yang sangat hangat, memperlakukan dengan penuh hormat. Garuda bertanya kepada burung gagak apakah Sri Rama benar-benar Sri Visnu seperti yang diberitakan oleh semua orang. 

Burung gagak itu,  yang bernama Kakabusundi,  dengan sangat hormat menjawab, “seperti anda, saya memiliki kecurigaan yang sama tentang Dia, Sri Rama. Jadi suatu hari saya memutuskan untuk pergi dan melihatNya d iistana Ayodhya, melihat seorang anak bayi merangkak, tampak seperti bayi lainnya, ketika menangis, ibunya datang mengendongNya, tidak ada yang istimewa, akhirnya saya menyimpulkan bahwa semua berita itu salah dan terbang pulang. 

Saat terbang, saya merasakan seseorang mengikuti, menengok ke belakang, melihat bayi yang sama itu, Sri Rama,  dibelakang saya, kemana pun saya pergi, bayi itu selalu ada di belakang saya, akhirnya saya berbalik dan bertanya kepada bayi itu mengapa Dia mengikuti saya. 

Dia menjawab dengan sangat tenang, bahwa sayalah yang mengikutiNya dan bukan sebaliknya, selanjutnya ketika saya melihat sekeliling, saya menemukan bayi yang sama dimana-mana, kemudian saya menyadari betapa bodohnya telah mencurigai Tuhan, Dia ada dimana-mana.

Kakabusundi kemudian berkata kepada Garuda, “Tuhan telah mengangkat anda begitu tinggi, dengan memberi anda kesempatan untuk melayaniNya dengan cara seperti itu,  tidak bisakah anda melihat ini? CintaNya kepada anda begitu besar sehingga Dia merendahkan DiriNya Sendiri dan meninggikan anda, sehingga dunia memuliakan  anda karena anda telah berperan melayani untuk menyelamatkanNya. Sesungguhnya  siapa yang bisa menyelamatkan Sri Rama? Dia adalah Sri Visnu yang Agung,  penyelamat seluruh ciptaan”. 

Mendengar hal ini, Garuda menyadari kebodohannya, egonya lenyap semua. Dia menyadari arti dari apa yang diisyaratkan oleh  Dewa Shiva. Ke-aku-an menimbulkan kesombongan dan kegelapan sehingga kehilangan kemampuan untuk menginsafi diri dan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.


Minggu, 18 Juni 2023

Sosok Dewa Indra.

Dewa Indra adalah salah satu dari asta dewata yang dipuja sebagai Sumber kesuburan dan sebagai penguasa hujan. Dalam "Padma Purana" dikisahkan bahwa Saktinya Indra bernama Dewi Saci namun pernah disandera oleh Jalandara. Wahana dewa Indra bernama Airawata. 
Beliau bersenjatakan Bajra atau Wajra sebagai simbol penghancur kegelapan. 

Palinggih Bhatara Indra di Merajan dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Dewa Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Dalam Agama Hindu aliran Dewa Indra, Beliau dipuja sebagai Dewa Perang yang menurut sejarahnya dalam Tradisi Mageret Pandan (Perang Pandan Berduri), Tenganan merupakan hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan Karangasem yang juga dahulu dalam kisahnya pernah mengalahkan Raja Detya Bali. 

Beliau adalah Dewa yang memimpin delapan Wasu, Dewa Indra juga terkenal dalam kitab-kitab "Purana" dan "Itihasa".  Dalam kitab-kitab tersebut posisinya lebih menonjol sebagai raja kahyangan dan  pemimpin para Dewa.

Siwa Nataraja.

Nataraja adalah bentuk tarian dari dewa siwa. Nataraja berasal dari bahasa sanskerta yang terdiri dari dua kata yaitu Nata dan Raja. Nata berarti tarian, sedangkan Raja berarti raja. Jadi Nataraja artinya tarian raja. Nataraja adalah paling jelas dari aktivitas Tuhan yang bisa dibangakan oleh seniman dan semua umat Hindu. Representasi  sosok yang bergerak  yang lebih energik daripada sosok siwa.

Tarian kosmis dari Siwa ini di sebut - Anandatandava yang bearti tari kebahagian dan melambangkan siklus kosmis pencipta  dan kehancuran serta ritme harian dan kematian. 
Dan Tarian ini adalah aleorgi bergambar dari lima Manifestasi prinsif energi Abadi yaitu Pencipta - Penghancuran - Pengawetan -Keselamatan dan ilusi.


Rabu, 31 Mei 2023

Rsi Narada Dan Narayana.

Dikisahkan Mahareshi Narada yang sedang menghadap Tuhan Narayana. Tuhan Narayana bertanya ; "Narada, dalam Perjalananmu di seluruh dunia apakah kau menemukan Rahasia Utama Alam Semesta ???, Apakah kau mampu memahami Misteri dibalik dunia ini ???, Saat kau melihat lima Elemen Alami Besar Bumi, Air, Api, Angin dan Ruang, menurutmu apa yang paling penting ???"

Mahareshi Narada mengingat-ingat Pengalamannya menjelajah dunia dan menjawab ; "Oh Tuhan Narayana  dari lima Elemen yang paling Padat yang paling penting adalah Elemen Bumi"
Tuhan Narayana berkata ; "Bagaimana mungkin Bumi menjadi yang terbesar Ketika tertutup oleh Lautan !!!, ditelan oleh Air !!!, mana yang paling besar, benda yang ditelan atau yang menelannya ???"
Resi Narada mengakui bahwa Air harus lebih besar karena telah menelan Bumi.
Tuhan Narayana berkata lagi ; "Tapi Narada, kita memiliki Kisah Kuno, bahwa ketika Iblis berada di Lautan, Seorang Bijak yang Sakti datang dan menelan seluruh Air Lautan termasuk Iblis didalamnya dalam Satu Tegukan. Apakah kau pikir Orang Bijak tersebut lebih besar dari Lautan ???"
Resi Narada Setuju Pendapat tersebut.
Tetapi Tuhan Narayana melanjutkan ; "tetapi dikisahkan ketika Orang Bijak dia meninggalkan tubuh duniawinya, dia menjadi Bintang dilangit, Orang Bijak tersebut sebagai Bintang kecil dihamparan luas langit. Manakah yang lebih besar, Orang Bijak atau Langit ???"

Resi Narada menjawab ; "Tuhan Narayana, pasti Langit lebih besar".
Tuhan Narayana bertanya lagi ; "Narada, tidakkah kau ingat kala Tuhan mewujud sebagai Vamana  orang kerdil satu langkahnya dapat menutup Bumi dan Langit. Bukankah kau berpikir Kaki Tuhan lebih besar dari pada Langit ???"
Resi Narada berkata ; "Benar Tuhan Narayana, Kaki Tuhan lebih besar dari pada Langit".
Tuhan Narayana berkata ; "Jika Kaki Tuhan saja demikian besar, bagaimana pula dengan Tubuhnya yang tidak terbatas ???"

Mahareshi Narada sampai pada Kesimpulan akhir ; "Yaaa, Tuhan adalah yang terbesar, tak terbatas dan tak terukur, tidak ada yang lebih besar dari Tuhan"
Tuhan Narayana masih melanjutkan ; "Bagaimana dengan Bhakta yang dapat memenjarakan Tuhan ???, Tuhan Berkenan Bersemayam dalam diri Bhakta, Bhakta itu lebih besar dari pada Tuhan, Tuhan takluk dengan Bhaktanya.
Seperti Kisah Rishi Durvasa dan Raja Ambharisha.
Rishi Durvasa dikejar Cakra Sudharsana memohon Perlindungan pada Brahma, Siva dan Narayana (Sri Visnu), yang menolak untuk melindunginya karena telah berbuat kesalahan kepada Seorang Vaishnava "Raja Ambharisha" dan Sri Visnu tersenyum dan berkata ; "Durvasa, kamu juga tidak melihat bahwa Aku pun seperti Brahma dan Mahadeva, kamu tidak memahami diriku. Aku bukan orang bebas, Aku mungkin mampu melakukan apapun yang Aku Kehendaki, tetapi Aku adalah milik Bhakta-ku. Mereka sudah meninggalkan segalanya dan memilih Aku sebagai Sahabat mereka. Mereka meninggalkan segalanya untukku, istri, rumah, anak, keinginan dan hidup mereka tinggalkan untukku. Mereka tidak memikirkan Dunia dan tidak tergiur Surga, yang mereka harapkan hanya Rahmatku. Sebagai balasan, Aku tidak akan pernah meninggalkan mereka, mereka sudah menaklukkan Aku dengan Cinta mereka, Hinaan apapun terhadap mereka adalah hinaan kepadaku.



Kamis, 11 Mei 2023

Mpu Kuturan.

Dalam Catatan Harian Sugi Lanus, tertanggal 27 Mei 2022 dijelaskan bahwa Mpu Kuturan secara konsisten disebut berasal dari Maspait/ Maospait, yang mana menurut perkiraan adalah wilayah di sekitar Maospati sekarang, di barat Madiun dengan situs Prasasti Sendang Kamal, yang tak lain petirtan kuno — terletak di Dukuh Sumber Kelurahan Kraton, Kabupaten Magetan. Prasasti-prasasti besar di Sendang Kamal adalah bukti-bukti otentik bahwa wilayah ini adalah salah satu pusat spiritual Jawa dari era Mpu Sindok sampai setidaknya era Dharmawangsa Teguh, cucu Mpu Sindok, dan kemungkinan masih menjadi sentral kepanditaan di era Raja Airlangga. Dari Maspait atau Maospait, Mpu Kuturan pindah ke Bali. Ia menjadi pembawa ajaran parahyangan atau perintis pembuatan Pura atau Parahyangan di Bali. 

Dalam lontar-lontar disebutkan bahwa *ajaran yang dibawa oleh Mpu Kuturan adalah pedoman Parahyangan yang dipakai di Jawa.* Jadi ajaran tersebut bukan ajaran baru, tetapi ajaran atau paham yang telah implementasikan di Jawa. Ini yang dibawa ke Bali dan disemaikan di tanah Bali. Lontar yang memuat teks ajaran Mpu Kuturan — atau dalam lontar disebut sebagai Panugrahan Kuturan  yang berjudul Indik Nangun Parahyangan yang artinya Perihal Membangun Kawasan Suci dan Pura. Membicarakan warisan pemikiran Mpu Kuturan yang paling pokok. Lontar-lontar Panugrahan Kuturan ini berisi berbagai aturan membangun desa yang berporos pada parahayangan/pusat pemujaan. Desa terlebih dahulu harus punya titik pivot dan Sekala-Niskala, yang mana berupa perempatan jalan, atau titik strategis balai desa dan atau parahyangan (Pura Pagaduhan, Bale Agung, atau Puseh Desa). 

Parahyangan sebagai “penyangga” sebuah desa dan kelangsungan dari sebuah tatanan masyarakat secara kohesif menata dirinya, bekerjasama dalam pola gotong-royong, Ayahan desa, kepemilikan, yang secara konsepsi terintegrasi secara teoloigis dalam apa yang kita kenal sebagai konsep dan penataan desa dalam Tri Parahyangan (Kayangan). Parahyangan artinya tatanan Hyang (pura beserta para Hyang yang dimuliakan atau dipuja). Secara lisan, setiap kali percakapan terkait desa pakraman dan penataannya, tidak bisa-tidak, nama Mpu Kuturan disebutkan. Mpu Kuturan adalah tokoh besar dalam sejarah keagamaan di Bali yang jelas berasal dari Jawa, yang konsepsinya bertitik tumpu pada ikatan pakraman dan kahyangan (puseh desa) dan rentangnya sampai subak, tatanan masyarakat Bali menjadi satu kesatuan antar sistem pertanian, sistem religi, dan penata kelolaan sosial Bali Kuno.

Dalam masa penataan Mpu Kuturan di Bali, disebutkan kalender masyarakat Bali ditata dalam kalender ritual yang siklik atau siklusnya datang setiap 210 hari, dan bertemu dengan dalam sistem purnama-tilem. Ini yang disebut sebagai odalan atau karya yang memberikan kesempatan warga untuk bertemu atau berjumpa dalam pengaturan yang rapi dan berdasarkan kalender. Berdasarkan ajaran penataan kawasan Indik Nangun Parahyangan yang dibawa oleh Mpu Kuturan tersebutlah, sampai saat ini, semua Krama wajib menjadi bagian dari desa Pakraman, dan desa Pakraman sebagai penyangga Parahyangan. Dalam tataran praksis, desa yang ada di Bali adalah desa Hindu. Krama atau anggota desa harus tahu dan sadar urusan lingkungan dan tata letak keruangan yang sangat tertib (secara konsepsi dikenal sebagai Tri Mandala) terintegrasi dalam Tri Kahyangan, yang tidak lain adalah penjabaran praksis konsepsi Tri Murti yang merupakan bagian dari implementasi dari teologi Tri Purusa.



  













4. *Dang Hyang Nirartha (DHN) jelas disebutkan dari Jawa.*

— Kitab-kitab suci yang dibawa dari Jawa oleh DHN menjadi acuan diksa dan kependetaan Siwa di Bali sampai hari ini.

— Keturunan DHN sampai hari ini masih secara teguh melaksanakan sebagian besar ajaran suci yang diwariskannya. Demikian juga kitab-kitab suci yang diwariskan ke Bendesa Mas, dan berbagai satria Bali lainnya, masih menjadi acuan ritual atau keagamaan Hindu di Bali.

— Diksa, puja-mantra, ritus suci para pedanda keturunan DHN tersebut yang disebutkan dibawa dari garis silsilah Bharata Warsa menjadi menarik diteliti.

Dimana sebenarnya asal leluhur DHN?

Silahkan membaca Babad Brahmana Kemenuh atau Dwijendra Tatwa bagian awalnya disebutkan silsilah gotra atau garis silsilah leluhur ke atas dari DHN. 

Dalam Dwijendra Tatwa dan Babad Brahmana Kemenuh sangat jelas apa kontribusi agung DHN yang berleluhur Jawa dan Bharata Warsa tersebut. Kitab-kitab dan pedoman kependetaan serta kesastraan peninggalan DHN menjadi acuan keagamaan dan kesastraan Hindu di Bali sampai saat ini. Setidaknya menjadi acuan wajib internal trah atau garis diksa yang merujuk pada Bhatara Lelangit (sebutan hormat di kalangan internal trah keturunan DHN untuk DHN).

Diksa-diksa di Bali, sampai saat ini, yang resmi mengikuti DIKSA atau PODGALA ŚIWA yang embrio atau cikal-bakal teks pedoman dan praktek diksanya adalah WARISAN DANG HYANG NIRARTHA (Bhatara Lelangit).

Pura-pura seantero Bali di masanya kembali direstorasi oleh DHN. Jasa Bhatara Lelangit yang datang dari Jawa ini tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan mengatakan bahwa Hindu Bali murni berasal dari Bali.

5. *Dang Hyang Astapaka* yang disebut sebagai pewaris garis DIKSA BUDDHA, yang berpusat di Budakeling Bali, dengan kitab-kitab warisan yang beredar, dipedomani, dipraktekkan dan dijaga silsilahnya di Budekeling dan griya-griya Buddha di Bali, jelas terkait dengan “dunia luar Bali”. Punya keterkaitan teks dan puja dengan berbagai teks dan khususnya stawa yang terkait dengan Borobudur dan Mendut. 

Bukan hanya kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang dipercaya sebagai pedoman penyusunan Borobudur yang terselamatkan di Budakeling, tetapi praktek puja dan DIKSA masih ajeg sampai kini dalam tradisi aguron-guron Buddha Mahayana di Budakeling.

Jika ingin belajar muasal ajaran Buddha di Bali silahkan melawat ke titik-titik ini dan periksa koleksi naskahnya:

— Griya Bodha, Banjar Angkan, Gianyar
— Griya Dalem Setra, Batuan
— Griya Dlod Peken, Sanur (Badung)
— Griya Anyar, Sibang Kaja (Badung)
— Griya Liligundi (Buleleng)
— Griya Datah, Batuan
— Griya Djadi, Tabanan
— Griya Krotok, Boda Kling (Karang Asĕm)
— Griya Subagan (Karang Asĕm)
— Griya Bodha, Sukawati, Gianyar 

Sebelum melawat dan membaca warisan naskah-naskah kebuddhaan yang disimpan di sana, sebaiknya tidak berteori atau bersiteguh dan bersitegang dengan asumsi.

6. Jika ada sekelompok masyarakat Bali yang mengatakan *Hindu Bali murni atau ORIGINAL (?) dari Bali*, silahkan kembali membaca lapis-lapis kedatangan pendatang dari Jawa yang hijrah ke Bali. Silahkan membaca kitab-kitab yang dibawa dari Jawa oleh MPU KUTURAN, keluarga atau gotra PARA RSI LELUHUR PASEK GELGEL dkk, yang termasyur sebagai perumus sistem keagamaan di era tersebut. Silahkan kembali membaca berbagai kitab-kitab warisan DANG HYANG NIRARTHA. Termasuk, jika runut dan mendalam mengikuti dan mengamati, harus jujur mengakui bahwa diksa di Bali yang dominan sekarang adalah bersumber dari Dang Hyang Nirartha, dan sebagian dari DANG HYANG ASTAPAKA. 

Jika kedatangan para suci dari Jawa tersebut dipungkiri, atau masih beranggapan bahwa agama yang berkembang di Bali adalah atau *murni Bali* (*dharmic original*), pertanyaannya: Mau dikemanakan para Mpu Suci yang membawa ajaran dari Jawa tersebut?

Dalam dalam catatan ini saya :

 *MEMPERINGATKAN kepada pihak-pihak yang mencatut nama besar I GUSTI BAGUS SUGRIWA* yang mengatakan bahwa beliau pernah menyatakan bahwa Hindu Bali adalah “murni Bali”. Tidak pernah. Saya kebetulan mengumpulkan karya-karya tulis beliau semenjak tahun 1995, dan belakangan bersama putra dan cucu dari beliau selama beberapa tahun melakukan pembacaan bersama warisan pemikiran beliau. Justru I Gusti Bagus Sugriwa adalah tokoh Hindu Bali yang pakar tiada tanding di masanya prihal kesusastraan Jawa Kuno atau Kawi yang mengatakan bahwa ajaran Hindu Bali tidak terpisahkan dengan teks dan naskah-naskah Jawa Kuno. Semua ajaran yang diturunkan oleh beliau merujuk atau bereferensi pada peninggalan sastra Jawa Kuno. Puluhan buku dan berseri-seri terbitan terjemahan berbagai karya sastra Jawa Kuno adalah mata air dari pemikiran-pemikiran beliau. Dan, sekali lagi, tidak satu atau sekalipun I Gusti Bagus Sugriwa mengatakan bahwa Hindu Bali adalah “murni Bali”.

Di masa lalu, hampir bisa dipastikan tidak ada orang Bali atau non Bali yang berani cawe-cawe menafsir Hindu Bali tanpa membaca dan punya pemahaman kuat pada tatwa dan sastra Kawi/Jawa Kuno dan Sansekerta yang sebagian besar dirumuskan di Jawa, terselamatkan di Bali. Apa yang dirumuskan di Jawa tersebut, kemudian dipertahankan dan diadaptasi, serta dikembangkan di Bali. 

Harus jujur diakui — terutama kalau paham stuti dan stawa yang dipakai dalam kepanditaan di Bali — kandungan ajaran dan pedoman puja Hindu Bali syarat dan “tebal” bermuatan teks Weda dan Upanisad. Terutama Purana yang ditulis di wilayah Jawa dengan pengantar bahasa Jawa Kuno atau Kawi. Yang mana kitab-kitab tersebut punya hubungan intertekstualitas yang mendalam dengan teks-teks dari lingkar peradabanan kuno yang disebut sebagai peradaban Bharata Warsa.

Mantap bli lanus
Pencerahannya
👍1 T

Sunanda.

Di tepi sungai Pranita terdapat sebuah kota besar Meghankara yang memiliki kuil Visnu yang terkenal, Jagat Isvara. Arca Jagat Isvara memegang sebuah busur di tangan-Nya. Di kota itu hiduplah seorang brahmacari bernama Sunanda, yang menjadi brahmacari atau tidak kawin sepanjang hidupnya.

        Sunanda duduk di dalam kuil Jagat Isvara sambil melafalkan bab ke-sebelas dari Srimad Bhagavad-gita, pikirannya pokus mengingat Tuhan. Dengan membaca bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita, ia memperoleh kontrol penuh atas semua indria dan mampu mengingat Tuhan secara terus menerus.

        Pada suatu hari Sunanda mengadakan perjalanan ke tempat-tempat suci di tepi sungai Godavari. Ia mengunjungi semua tempat suci dimulai dengan Vraja Tirta. Di semua tempat suci yang dikunjunginya, ia selalu mandi dan menghadap untuk memohon berkah dari para Dewa yang bersthana di sana. Suatu hari ia tiba di kota bernama Vivaha Mandapa, bersama dengan rekan-rekannya ia mencari tempat untuk menginap hingga menemukan sebuah dharmasala (penginapan) yang berada di tengah kota itu, mereka pun akhirnya beristirahat malam itu. Ketika Sunanda bangun di pagi hari ia menemukan dirinya berbaring di luar penginapan dan ia tidak menemukan semua rekannya, sambil mencari ke mana mereka pergi, ia bertemu dengan seorang kepala desa yang segera bersujud di kakinya dan berkata, "Oh, guru suci, aku tidak dapat mengatakan ke mana rekan Anda telah pergi, akan tetapi aku dapat memberitahu Anda bahwa tidak ada penyembah yang setara dengan Anda. Aku belum pernah melihat orang semurni Anda. Oh yang terhormat Brahmana, saya memohon Anda untuk tinggal di desa ini. Kami akan melayani dan memenuhi segala keperluan Anda."

       Ketika Sunanda mendengar permintaan sederhana dari kepala desa, ia memutuskan untuk tinggal selama beberapa hari. Kepala desa mengurus semua keperluan Sunanda sehingga nyaman untuk tinggal dan sibuk melakukan pelayanan siang dan malam. Setelah delapan atau sembilan hari berlalu, ia datang kehadapan Sunanda dengan menangis sangat keras dan berkata, " Oh Brahmana murni, tadi malam salah satu raksasa itu telah memangsa anakku." Sunanda bertanya, "Di manakah raksasa itu tinggal? Dan bagaimana ia memakan anak Anda? 

         Kepala desa itu menjawab, "Di kota ini ada raksasa yang sangat mengerikan, setiap hari ia akan memakan penduduk desa tanpa belas kasihan sedikit pun. Suatu hari, kami semua pergi menemui raksasa itu dan memintanya untuk melindungi kami, sebagai imbalannya kami akan menyediakan makanan untuknya sehari-hari. Di bangunlah satu dharmasala dan setiap pelancong yang datang ke sini akan tinggal di tempat itu, ketika tamu itu tidur, raksasa itu memangsanya. Dengan cara ini kita bisa melindungi diri dari raksasa itu.

         Ketika Anda datang bersama rekan-rekan Anda lantas tinggal di dharmasala itu, raksasa tidak memakan Anda, tidak seperti yang lainnya. Aku memberitahu hal ini karena tadi malam seorang teman anakku datang tetapi aku tidak menyadari bahwa ia adalah teman yang sangat dekat dan teman kesayangan anakku. Jadi aku menyuruhnya tinggal di dharmasala. Ketika anakku tau temannya menginap di sana ia pun pergi menyusul kawannya itu dan mencoba membawanya kembali. Saat ia pergi ke sana, ia juga di makan oleh raksasa itu. Pagi ini aku menemui raksasa itu dan bertanya kepadanya, mengapa ia memakan anakku bersama dengan yang lainnya. Aku juga meminta padanya, adakah cara untuk mendapatkan kembali anakku? Apa pun cara itu akan aku lakukan demi memperoleh anakku. Raksasa itu mengatakan, "Aku tidak tahu bahwa putra Anda juga memasuki dharmasala, sehingga ia kumakan saja bersama dengan yang lain. aku dapat membantu kamu untuk mendapatkan kembali anakmu hanya bila aku dibebaskan dari tubuh raksasa ini, yang dapat dilakukan atas berkah dari orang yang mengucapkan bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita setiap hari."

         Raksasa itu melanjutkan ceritanya, ia ingat ada satu Brahmana yang tinggal di kota itu dan pernah pula menginap di dharmasala ini, akan tetapi raksasa tidak memakannya karena setiap hari ia melafalkankan Bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita. Jika ia setiap hari melafalkan bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita sebanyak tujuh kali kemudian memercikkan air pada saya, maka saya akan dapat bebas dari kutukan tubuh raksasa ini. 

        Sunanda kembali bertanya kepada kepala desa itu, "Wahai kepala desa, dia yang memakan orang sedang tidur di malam hari, apa dosa yang telah dilakukan orang itu hingga mendapatkan tubuh raksasa itu?"

       Kembali di ceritakan oleh kepala desa itu, dahulu kala ada seorang petani keturunan brahmama yang tinggal di desa ini. Saat ia menjaga ladangnya, ia melihat ada seekor burung pemakan bangkai yang menyerang seseorang yang sedang lewat di jalan itu. Pada saat bersamaan itu, seorang yogi kebetulan lewat. Ketika yogi melihat bahwa ada orang yang sedang diserang oleh burung pemakan bangkai ia berlari untuk membantu, tetapi ketika sampai ke orang yang malang itu ia sudah terlambat. Yogi itu menjadi sangat marah kepada petani dan mengatakan, "Orang yang melihat orang lain dalam bahaya dari pencuri, ular, kebakaran, serangan senjata, dan lain-lain, meskipun ia mampu membantu mereka, tetapi tidak datang untuk membantu, akan dihukum oleh Yamaraja. Setelah menderita di neraka untuk waktu yang sangat lama, ia mengambil kelahiran sebagai serigala. Dan orang yang membantu orang yang membutuhkan bantuan, pastilah menyenangkan Dewa Visnu. Seseorang yang mencoba untuk menyelamatkan sapi dari tangan binatang ganas, atau dari seorang pria kelas rendah, atau penguasa jahat maka ia mencapai Dewa Visnu. Petani kejam, Anda melihat burung Hering menyerang orang itu tapi tetap saja Anda tidak berusaha untuk menyelamatkannya. Sekarang aku kutuk engkau untuk mengambil kelahiran sebagai raksasa." 

        Petani itu terkejut lalu mengatakan, "Aku sedang mengawasi ladang sepanjang malam dan aku sangat lelah. Mohon kasihanilah aku, oh....orang suci."

         "Ketika seseorang, yang setiap hari membaca bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita, lalu memerciki air di kepalamu, maka kamu akan bebas dari kutukan ini," jawab sang yogi. 

        Kepala desa melanjutkan ceritanya, "Brahmana Sunanda, dengan tanganmu, tolonglah percikkan air di kepala raksasa itu." Setelah mendengar kisahnya dari penduduk desa, Sunanda pun pergi bersama penduduk itu ke tempat raksasa tinggal, kemudian sambil membaca bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita Sunanda memercikkan air di kepala raksasa. Raksasa tersebut segera mencapai wujud empat lengan seperti Dewa Visnu. Tidak hanya raksasa, tetapi semua ribuan orang yang telah ia makan juga mencapai bentuk empat lengan seperti Dewa Visnu. Lalu mereka semua duduk di kendaraan surga, yang dikirim untuk membawa mereka ke Vaikuntha. 

        Melihat peristiwa luar biasa itu, kepala desa tadi bertanya kepada raksasa yang memakan anaknya. Raksasa tertawa dan menunjuk salah satu dari ribuan wajah indah yang duduk di kereta surga itu kemudian berkata, "Itu adalah anakmu."

       Kepala desa itu meminta anaknya pulang bersamanya. Mendengar permintaan ayahnya, anak tersebut tersenyum dan menjawab, " Tuanku yang terhormat, telah banyak kali Anda menjadi anakku dan aku menjadi milikmu. Tetapi, sekarang oleh anugerah dari Sunanda penyembah agung dan murni, aku telah dibebaskan dari roda kelahiran dan kematian dan sekarang aku akan kembali ke rumah asalku yaitu di Vaikuntha."

        Anak itu kemudian mengatakan, " Tuan....bersujudlah pada kaki Padma Sunanda dan dengar darinya bab kesebelas Srimad Bhagavad-gita, Anda juga akan mampu mencapai tempat tinggal Dewa Visnu (Vaikuntha) tanpa keraguan sedikit pun. Dari Sri Krsna sendiri, pengetahuan suci amerta datang ketika di medan perang Kurukshetra ketika menjawab pertanyaan Arjuna. Hanya dengan mendengar dan membaca Sloka ini seseorang dapat melepaskan simpul ketat yang mengikat kita untuk roda kelahiran dan kematian."

        Siva pun bersabda, "Setelah mengucapkan kata-kata tersebut dengan penuh hikmah kepada ayahnya, ia pun pergi bersama dengan semua jiwa yang beruntung lainnya, ia pergi ke Vaikuntha, sementara ayahnya mempelajari bab kesebelas Srimad Bhagavad-gita dari Sunanda. Dan dengan segera pula kepala desa itu juga dapat pergi ke Vaikuntha."

      

Rsi Panini.

Rsi Panini adalah seorang rsi yang dikenal sebagai penyususun tata bahasa sansekerta yang ditulis dalam Astadhyayi sebagai pedoman pokok dalam mempelajari sansekerta dan bahasa yang dipergunakan dalam Weda dalam berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia di dunia ini. Rsi Panini mulai menyusun tata bahasa sanskerta, pada tahun 700 SM, dan menamakan bahasa yang dipakai dalam weda dengan nama “Daiwi Wak” (bahasa dewata).  
Baru dalam tahun 200SM, bahasa itu mulai dikenal dengan nama sanskerta, setelah Patanjali menulis kitab Bahasa,  
Pada abad ke 11 SM. Nama sanskerta yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh Patanjali yang untuk menyebutkan nama bahasa yang dipakai oleh masyarakat bahasa pergaulan Bharatawarsa.
Kemudian bahasa itupun dibedakan pula dari bahasa pali, bahasa yang dipakai oleh orang-orang Maghadhi didalam penyebaran Agama Budha.

Setelah Rsi Panini berhasil menyusun tata bahasa sanskerta, jejak beliau diikuti oleh Bhagawan Katyayana yang lebih popular dikenal dengan Bhagawan Wararuci pada abad V SM.
 Beliau menulis keterangan-keterangan tambahan atas karya Panini disamping sebagai penulis Sarasamuscaya, yang karyanya telah diterjemahkan di Indonesia kedalam bahasa Jawa Kuno pada waktu jaman keemasan Hindu di Jawa dan dialihkaan bahasanya ke dalam bahasa Indonesia tahun 1970.
Sejarah pertumbuhan bahasa sanskerta setelah lahirnya kitab tata bahasa Panini itu kemudian membantu mempercepat proses pertumbuhannya sehingga dalam pertumbuhan abad ke 8, Sanskerta menjadi bahasa percakapan sehari-hari.

Sabtu, 06 Mei 2023

Lontar Markandeya Purana.

Dalam Lontar Markandeya Purana dijelaskan bahwa harus diketahui bagaimana asal mula tempat ini sehingga terciptalah kahyangan Besakih. Sebelum ada apa apa,  dimana dimana hanya ada pohon kayu di dalam hutan belantara di tempat ini. Sebelum adanya selat Bali,  pulau ini bernama pulau Panjang. Di Jawa  tepatnya di Jawa Timur yaitu tepatnya di gunung Rawung, ada seorang yogi bernama Sang Yogi Markandeya.
Sang Yogi ini berasal dari India yang oleh rakyatnya,  beliau dijuluki Bhatara Giri Rawang.  Kenapa dijuluki Bhatara Giri Rawang? Mungkin karena ketinggian ilmu bhatinnya dan kesucian rohaninya, serta kecakapan dan kebijaksanaan yang dimiliki beliau.



profil singkat resi patanjali.

Dalam naskah-naskah kuno seperti Padma Purana, rudraja Mala, dan  Wrihanandi keswara dijelaskan bahwa PatanJali lahir di Ila warata, salah satu dari sembilan wilayah di Jambu Dwipa atau anak benua jambu. Barata Warsa atau yang sekarang disebut India bersama Pakistan, Bangladesh, butan dan Nepal adalah wilayah terbesar saat itu. Di sekitarnya adalah wilayah-wilayah yang agak kecil termasuk ilawrata. Persisnya di mana? Sekarang tidak diketahui lagi. Dari nama dan sebutan ilaurata disimpulkan bahwa warga di wilayah tersebut adalah pemuja Tuhan dalam wujud feminim sebagai ibu.
           Patanjali diyakini sebagai benih penuh berkah. Banyak versi tentang kelahirannya. Salah satu yang terasa lebih realistis adalah bahwa ia dilahirkan oleh seorang perempuan bernama Sati. Dan nama ayahnya adalah Anggira, salah seorang diantara makhluk-makhluk awal ciptaan sang pencipta atau Brahma yang kedudukannya telah diduduki oleh Adisesa.
              Di wilayah sekitar perbukitan Meru sangat subur. Namun di tengah kesuburan itu, patanjali merasakan kekosongan. Apalagi ketika ia bertemu dengan seorang gadis yang konon tinggal di rongga pohon yang lebat penuh buah. Artinya kendatipun terlahir dalam keluarga kaya raya, Ia tetap merasa hampa. Nama Gadis itu tercatat dalam naskah-naskah kuno sebagai Lolupa. Sutra-sutra penuh makna yang ditemukan oleh Patanjali sesungguhnya merupakan ajarannya dan hadiahnya kepada Lolupa. Patanjali memulai sutranya dengan pentingnya Yoga atau disiplin dalam hidup. Harta, kedudukan, dan kekuasaan, Semuanya itu tidak mampu mengantarkan kitab pada alam Kebahagiaan sejati. Alam itu adalah habitat jiwa, alam kita yang sesungguhnya. Dan hanya dapat dicapai dengan cara meniti jalan ke dalam diri.
           

Minggu, 23 April 2023

Cangak Dan Kepiting.

Ada sebuah cerita yang menggambarkan prilaku burung bangao dengan tipu muslihatnya menggagalkan segala cara untuk memuaskan keserakahannya
    Diceritakan di sebuah danau, keadaan danau yang asri,,berbagai bunga menghiasi menggoda setiap hewan datang ke kolam itu
   Danau yang jernih dengan berbagai ikan didalamnya ,datanglah si burung bangao dengan gagahnya bertengger di batu samping kolam bercerita tentang dia tidak lagi melaksanakan kelobaan dan keserakahan karena dirinya sudah menjalankan ajaran kebaikan,
   Karena keterharuanya semua ikan pada bengong dan terpaku dengan wejangannya yang sekilas tentang kebenaran dan kebaikan
   Karena semua ikan sudah terhasut oleh ucapannya,,,singkat cerita dia merunduk sedih menatap semua ikan di kolam,,sampai sampai ikan berkata kenapa kamu sedih dengan muka tertekuk, apa yang mengganjal dalam hatimu?
    Dan dia berkata "aku sangat kasihan kepadamu ikan ,,keadaan danau ini sangat memperihatinkan. aku tidak mau kehilanganmu karena engkaulah sahabat terbaikku
    Aku punya tempat yang layak untukmu yaitu sebuah danau terhampar luas dan belum terjamah oleh siapapun dan pasti kamu menyukai tempat itu
   Karena kesan pertama yang menyejukkan dan sedikitpun tidak merasa akan mencelakainya, maka termakan lah hasutan ikan dan berkata "aku mau ikut denganmu"
    Satu persatu ikan dibawa oleh burung bangao di puncak bukit dan terdapat sebuah batu yang datar.  Dimakanlah semua ikan ikan itu sampai meninggalkan tuang belulang saja
   Karena kerakusannya, datanglah kembali ke kolam itu,hanya kepitinglah yang masih tertinggal sampai dia berkata wahai burung bangao aku ikut dengan mu,,dengan senang hati dia berkata ,,,ya kemarilah. Aku harap semua isi kolam ini saya pindahkan,,keluarlah dari persembunyianmu dan pakailah kapitmu untuk menempel di leherku
    Di terbangkanlah kepiting itu. Dari kejauhan dilihat batu yang datar dengan tulang belulang ikan yang berserakan. Dalam hati kepiting berkata ternyata temanku dimakan ,,dengan marahnya kepiting lalu dijepitlah leher bangao sehingga tak bernapas dan mati.
 

Kamis, 13 April 2023

Profil Singkat Tentang Karna.

Dalam epos Mahabharata, Karna adalah ksatria tangguh. Tapi sayangnya ia melanggar garis kebenaran. Sehingga sudah tahu salah namun tak kuasa melawan. Hal itu disebabkan oleh ikatan sumpahnya. Itulah cerita pewayangan yang menyangkut semua tentang kehidupan. Wayang atau bayang adalah cerminan baik dan buruk prilaku di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Maka timbullah filosofi dalam cerita yaitu kisah Mahabharata.
        Kenapa ia diberi nama Karna? Sebab dewi Kunti mengucapkan mantra pemanggil dewa yang diberikan oleh Rsi Druwasa. Karena lahir akibat dari mendengarkan mantra suci yang diucapkan dewi Kunti maka dewa Surya mendatangi Kunti dan memberi berkat yang harus diterima Karna semasih bayi. Dalam bahasa Sanskerta, Karna artinya telinga pasalnya ia lahir dari telinga dewi Kunti. Ia juga bernama Radheya yang artinya putra Radha.
        Sewaktu lahir, Karna dibuang oleh Kunti ke sungai Aswa dalam sebuah keranjang kemudian terbawa arus sampai akhirnya ditemukan oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir di kerajaan Kuru. Karna sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena.
           Setelah dewasa ia menjadi pendukung utama pihak Korawa dalam perang besar melawan Pandawa. Ia diangkat menjadi raja oleh Duryodana di kerajaan Anga. Makanya dalam wiracarita Mahabharata ia juga disebut raja Anga. Jika ditilik dari silsilah, ia merupakan kakak tertua dari Yudistira, Bima, dan Arjuna. Naasnya, ia gugur di tangan adiknya sendiri yaitu Arjuna dalam perang Mahabharata. Menurut legenda, Karna merupakan pendiri kota Karnal yang terletak di negara bagian Haryana-India utara.

Rabu, 12 April 2023

Calonarang.

Di Bali ada sebuah kesenian tradisional yang mengambil tema Calonarang dalam bentuk drama tari. Sejarah tersebut sebenarnya berasal dari Jawa Timur. Tetapi justru di Bali, cerita Calonarang lebih populer dibandingkan pulau asalnya. Kenapa drama tari Calonarang selalu memamerkan kesaktian Calonarang serta beberapa penari selalu menusukkan keris ke dadanya saat kesurupan? Dan juga berisi salah seorang pemain drama tari Calonarang yang menantang Leak untuk memangsa Bangke Matah. Dan apa itu Bangke Matah? Bangke Matah adalah manusia yang berperan sebagai mayat.
        Pementasan drama tari Calonarang seperti itu menurut saya sih sah sah saja. Karena hal itu adalah sebuah bentuk cerita yang komunikatif antara penonton dengan penari. Cerita tersebut di era sekarang sangat dibutuhkan masyarakat karena merupakan perpaduan antara era modern dengan tradisi. Drama tari Calonarang juga termasuk sebuah tontonan yang sengaja dibuat dengan bumbu yang sangat menyeramkan sesuai dengan alur ceritanya.
          Belakangan ini ada seorang penulis yang bernama Prof.Dr.Tuty Heraty Rooseno, salah seorang guru besar di falkutas ilmu besar Ui yang sepertinya membela sosok dan tokoh Calonarang meskipun Calonarang adalah sosok wanita jahat yang terkenal dengan ilmu hitamnya. Karena dalam buku karyanya beralasan bahwa Calonarang adalah korban dari masyarakat patriakal pada jamannya. Seringkali dalam cerita ini hanya disoroti tentang kekejaman dan kejahatan Calonarang. Namun dewasa ini muncul analisis-analisis yang lebih berpihak kepada Calonarang. Bahkan dalam teks Tangting Mas Tangting Rat diceritakan ketika Calonarang difitnah, akhirnya beliau bertekad ingin menghanguskan kerajaan Kediri. Saat akan menggempur kerajaan Kediri, Calonarang dan beberapa muridnya mengadakan ritual dan mendemonstrasikan kesaktian mereka. Irarung. Ilendi, Iweksira, Ilenda, mereka mengelilingi Calonarang yang diiringi oleh Iguyang yang telah berubah wujud menjadi kuda. Lidahnya menjulur keluar, suaranya keras memekakan telinga dan menyeramkan. Ia sudah siap ditungangi oleh Calonarang dan muridnya sebagai bentuk protes karena difitnah. 
                    Sebenarnya kitab yang dimiliki Calonarang adalah kitab Lipyakara atau kitab putih yang berisi ilmu kesempurnaan hidup dan ilmu kebaikan. Karena difitnah punya ilmu hitam, akhirnya putrinya yang bernama Ratna Manggali tidak ada yang melamar. Akhirnya kemarahan Calonarang memuncak. Dari sejarah Calonarang, kita semua bisa memanggil pelajaran bahwasannya hoax dapat menghancurkan tatanan kehidupan bermasyarakat dan belajar lebih bijak menghadapi hoax. Jangan sampai terpancing emosi karena hal itu akan merugikan diri kita sendiri. Seperti yang tertulis dalam serat Calonarang halaman 17 a dijelaskan dari perkawinan Mpu Bahula dan Ratna Manggali maka lahirlah tokoh-tokoh besar Hindu seperti Mpu Tantular, Mpu Sidimantra, dan Danghyang Nirarta atau Dwijendra atau juga Pedanda Sakti Wawu Rauh. Semua tokoh-tokoh besar tersebut merupakan garis keturunan dari seorang wanita yang dituduh jahat yang bernama Walu Nateng Dirah atau Calonarang. Jadi, orang yang dituduh jahat belum tentu melahirkan orang-orang jahat. Begitu kira-kira poinnya.
        Dalam drama tari Calonarang yang sering tayang di Balitivi pada malam hari diceritakan bahwa di desa Dirah ada seorang janda bernama Rangda Nateng Girah. Beliau memiliki seorang putri cantik yang bernama Ratna Manggali. Rangda Nateng Girah bermaksud agar putrinya cepat memperoleh suami. Namun tak seorangpun lelaki yang berani melamar putrinya karena Rangda Nateng Girah terkenal dengan ilmu hitamnya. Itulah yang membuat beliau marah kemudian pada malam hari beliau pergi ke kuburan diiringi beberapa muridnya.
              Pada pertengahan malam beliau lalu berubah wujud menjadi mahluk yang sangat menyeramkan. Lalu terjadilah Grubug di desa tersebut. Kabar tentang Grubug sampai terdengar di istana Daha. Lalu secepatnya Airlangga mengutus Demang Dodokan untuk mengetahui kebenaran kabar tersebut. Tapi sial, Demang Dodokan tewas di desa Girah. Lalu Airlangga marah kemudian mengutus Patih Sudarsana untuk membunuh Rangda Girah karena Rangda Girah telah membunuh orang-orang tanpa dosa. Lalu terjadilah peperangan antara Patih Sudarsana dengan Rangda Girah. Patih Sudarsana berubah wujud menjadi Barong, sementara Rangda Girah berubah wujud menjadi Rangda.
        Sementara dalam versi lain seperti film yang pernah disutradarai Sisworo Gautama Putra pada tahun 1985 yang berjudul Ratu Sakti Calonarang disebutkan bahwa Rangda Girah tewas di tangan Mpu Bharadah. Inti ceritanya adalah Mpu Bharadah mengutus putranya yang bernama Mpu Bahula untuk mengawini Ratna Manggali agar berhasil mencuri ilmu Pengleakan milik janda tersebut. Perkawinan Mpu Bahula dengan Ratna Manggali adalah siasat untuk mendapatkan lontar Tantrayana Mantram, Nircaya Lingga dan kitab Lipyakara. Kemudian Rangda Girah atau Calonarang sangat marah karena dirinya merasa tertipu. Akhirnya Calonarang menantang Mpu Bharadah untuk perang tanding pada malam hari di kuburan yang ada di kerajaan Kediri. Konon di akhir cerita, Calonarang terbakar hangus oleh ilmunya sendiri.

Naga Basuki.

Naga Besuki merupakan sebuah makhluk mitos yang berasal dan dipercaya oleh rakyat Bali. Kisah tentang naga besukih ini juga muncul dalam legenda terciptanya selat Bali. Dan konon kabarnya naga besukih bertempat tinggal di bawah kawah gunung Agung.

.
Naga ini diceritakan sangat sakti. Sisik dari naga ini bisa rontok dan berubah menjadi emas dan berlian. Konon Begawan Sidhimantra yang sakti memanggil naga besukih dengan genta sakti untuk meminta harta demi melunasi hutang anaknya yang suka berjudi.
.
Kita biasa mendengar Naga adalah makhluk mitologi yang muncul dalam mitos negara-negara Eropa, atau ular berukuran besar yang dapat terbang naga dari legenda Tiongkok. Tetapi legenda naga juga ada di Indonesia, tepatnya di Bali. 
.
Selain terkenal dengan pemandangannya yang pempesona, dan kaya akan tradisi dan budaya, Bali juga memiliki kisah legenda tentang Naga yang sudah ada sejak zaman dulu. Salah satunya adalah kisah legenda terbentuknya Selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dan Pulai Bali.


Cerita Mayadanawa.

Dalam Lontar Purana Bali Dwipa, ada seorang raja di Bali bernama Mayadanawa. Ia adalah putra dari Dalem Balingkang atau Prabu Jaya Pangus dengan Dewi Danu. Pusat kerajaan Mayadanawa adalah di daerah Bedahulu. Mayadanawa seorang raksasa yang sangat anti pada upacara Yadnya. Rakyatnya dilarang untuk melaksanakan Yadnya di tempat suci manapun seperti di Kahyangan tiga, Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat. Karena perbuatannya, wabah penyakit menyerang dimana-mana. Melihat hal tersebut, Lalu Arya Manik Angkeran yang bergelar Sangkul Putih memohon pada Batara Indra di pura Besakih agar turun untuk membasmi kejahatan Mayadanawa.
       Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Bhatara Indra. Dalam penyerangan melawan Mayadanawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sang Jayantaka. Sedangkan pasukan induk dipimpin langsung oleh Bahtara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa. Dalam peperangan antara pasukan Bhatara Indra dengan pasukan Mayadanawa, yang unggul adalah pasukan Bhatara Indra. Sementara pasukan Mayadanawa melarikan diri bersama patihnya yang bernama Kala Wong. Pada malam harinya, Mayadanawa menciptakan mata air beracun di dekat tenda pasukan Bhatara Indra.  Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak kakinya sehingga daerah tersebut dinamakan Tampaksiring. Pasukan Bhatara Indra banyak yang jatuh sakit karena minum air beracun buatan Mayadanawa. Bhatara Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian dinamakan Tirta Empul. Setelah pasukan Bhatara Indra bisa disembuhkan karena minum air Tirta Empul, pasukan Bhatara Indra kembali melanjutkan perjalanannya dalam mengejar Mayadanawa.
            Untuk menyembunyikan dirinya, Mayadanawa mengubah dirinya menjadi berbagai rupa seperti misalnya menjadi ayam. Maka di daerah tersebut dinamakan desa Manukaya. Menjadi timbul, sehingga dinamakan desa Timbul. Menjadi Busung atau janur, sehingga dinamakan desa Blusung. Menjadi Susuh, sehingga dinamakan desa Penyusuhan. Menjadi bidadari, sehingga dinamakan desa Kedewatan. Dan terakhir, Mayadanawa terkena panahnya Bhatara Indra sehingga darahnya mengalir dan membentuk sungai yang disebut sungai Petanu. Kematian Mayadanawa tersebut diperingati sebagai hari raya Galungan, kemenangan Darma melawan Adarma.
                   Dan mengenai sejarah Tirta Empul, Kira-kira tahun berapa Bhatara Indra menciptakan permandian Tirta Empul dalam peperangannya melawan Mayadanawa? Menurut catatan di berbagai majalah bernuansa Hindu menyebutkan permandian Tirta Empul dibangun pada bulan atau Sasih Kapat, tahun Isaka 884 atau sekitar bulan Oktober tahun 962 Masehi. Permandian Tirta Empul memiliki 33 pancoran yang berderet dari barat ke timur dengan khasiat masing-masing. Nama pancorannya antara lain pancoran pembersihan, pancoran Sudamala, pancuran Cetik, Tirta Pangentas, Tirta Pelebur dan lain-lain. Ada sekitar 14 pancoran yang berfungsi untuk pembersihan, dua jenis pancoran untuk pelebur, dan ada sekitar enam pancoran untuk Upakara Yadnya. Dalam Kekawin Mayantaka sebuah karya sastra dari Danghyang Nirarta ada Wirama yang menjelaskan tentang khasiat dari Tirta Empul yaitu " Tirta Empul namanya olehku, demikian sabda Bhatara Indra, mulai sekarang sampai di kemudian hari, sungguh amat suci dan utama keadaan Tirta tersebut membuat senang, tidak ada menandingi jika sang Brahmana dan Ksatrya pergi mandi atau cuci muka di Tirta tersebut, kekotoran dirinya akan hilang, kebajikan dan nilai-nilai Dharma akan ditemuinya dan kesengsaraan dirinya akan hilang.
              Tirta Empul itu sebenarnya menurut Purana Tatwa adalah hasil karya Hyang Indra, telah dikenal luas sejak jaman dahulu setelah jaman Kretayuga, kemudian Tretayuga berlalu diganti dengan Dwaparayuga, juga telah lewat sangat lama dan tidak bisa dihitung lamanya, sekarang tiba saatnya jaman Kaliyuga, ketika pikiran manusia di dunia tidak teratur {Wirama 14:2}

Cerita Bhima Swarga.

Alkisah, Dewi Kunti bermimpi didatangi atma Pandu dan Dewi Madri, Mereka minta tolong agar dibebaskan dari siksa api neraka. Kunti menyampaikan mimpi itu kepada anak-anaknya, dan diputuskan agar Bhima menyambangi ke Swarga loka. Purnama, dalam suatu prosesi yang hening, perjalanan Bhima Swarga dimulai. Bhima diiringi dua abdinya Merdah dan Tualen melesat ke langit. Di angkasa, setelah melalui marga sanga di sanalah Swarga Loka berada, di bumi antah karana, di bumi yang menyebabkan sebab segala sebab.  Dari sembilan jalan di persimpangan tersebut ada empat jalan yang benar-benar menuju swarga loka. Sampai di tegal penangsaran tempat para roh menunggu giliran menghadap Bhatara Yama untuk menentukan apakah sang roh harus masuk surga atau ke neraka. Dalam penantian itu, para roh menerima hukuman sesuai karma-nya. Ada yang disebut atma lara , atma drwaka , atma sangsaya , atma babotoh  dan sebagainya. inilah perjalan spiritual Bhima yang memberikan pengalaman bathin tentang pelaksanaan sangksi bagi para atma sesuai perbuatan yang dilakukan saat menghuni raga manusia di mayapada. Pertama-tama mereka melihat Bhuta Tog Tog Sil Babutan  dengan wujud mata besar menghakimi atma tattwa dan atma curiga.
                Di sebelahnya, Bhuta Naya bersama Bhuta Celeng, babutan berbentuk babi menghukum atma yang sewaktu di mercapada berprilaku buruk, jahat. Tidak jauh dari itu, tampak Bhuta Abang babutan yang berwujud raksasa berkulit merah menyala sedang menggotong Atma Lengit, atma yang semasa hidupnya malas bekerja akan dicemplungkan ke bejana dengan air mendidih yang disebut Kawah Gomuka. Di sebelah kanannya dari bejana itu, tampak Sang Bhuta Ireng, babutan berwujud raksana berkulit hitam bersama Sang Bhuta Prungut. babutan yang bertubuh besar, berkulit hitam dan berwajah angker menggotong atma corah, atma yang semasa hidupnya senantiasa berperilaku buruk untuk dicemplungkan ke kawah gomuka. Sementara itu, Bhuta Ode Ode babutan yang bertubuh gemuk dengan kepala plontos meniup api di bawah jambangan kawah sehingga airnya terus mendidih. Tidak jauh dari kawah gomuka, Sang Suratma dengan wujud raksasa yang penuh wibawa, penguasa para atman sedang menghukum Atmaning Usada, karena dulu dukun yang menguasai ilmu pengobatan yang dahulu pernah lalai menyembuhkan orang sakit melakukan mal praktek, dan selalu meminta imbalan yang tinggi kepada orang yang diobatinya.
         Di sebelahnya Sang Bhuta Wirosa yang berwujud raksasa maha sakti sedang menghukum Atma Mamaling nasi, ini terjadi karena saat di mercapada ia suka mencuri makanan. Karena itu sebaiknya jangan sekali kali mencuri nasi, seberapapun lapar dirasakan. Beberapa depa dari tempat itu, Sang Bhuta Wingkara yang bengis bernama bhuta lilipan yang berwujud aneh, memiliki belalai seperti gajah dan tubuhnya seperti tubuh Singa, mulutnya penuh bisa seperti ular sedang menyiksa Atmaning Wong Aboros,  atma yang suka berburu membunuh binatang yang tidak patut dibunuh. Di sebelahnya lagi, tampak Sang Bhuta Mandar dan Sang Bhuta Mandir dua raksasa bengis saudara kembar sedang menggergaji kepala Atma Wong Alpaka guru, atma yang tidak melakukan kewajiban sebagai putra yang baik karena melalaikan kedua orang tuanya, melalaikan kewajibannya. Merdah dan Tualen miris hatinya teringat akan kewajibannya kepada orang tua yang belum sepenuhnya dilakukan dengan baik. Mereka terkejut karena setelah beranjak sedikit saja dari tempat yang satu, dia menemukan kembali Sang Jogor Manik di tempat lain sedang mengadili dua atma yang satu Atma Kedi dan yang satu lagi Atma Keliru, yang satu laki-laki seperti perempuan, yang satu lagi perempuan seperti laki-laki. Tidak jauh dari situ, mereka melihat Sang Jogor Manik sedang menghukum Atma Angadol Prasasti atau atma yang menjual prasasti.
        Sedangkan di sebelah Bhuta Tog Tog Sil yang matanya besar sedang menyiksa Atma Angadol Prasasti yang lainnya. Berdekatan dari tempat itu, banyak atma yang disebut Atma Tan Pasantana, atma yang tidak memiliki keturunan digantung di pohon bambu. Sementara itu, Atma Nora Metatah atma yang belum melaksanakan upacara potong gigi sambil menggigit pohon bambu disiksa oleh Bhuta Brungut yang menyeramkan sedang menghunus pedang. Beranjak selangkah dari tempat itu, lagi-lagi ditemukan Sang Jogor Manik sedang berhadapan dengan Atma Anti Krama, atma yang semasa hidupnya sangat ramah tamah dan tidak membanding-bandingkan tamu yang datang kepadanya.
Di sebelahnya, Atma Angrawun yang semasa hidupnya meracuni banyak orang sedang diberi makan medang  oleh Bhuta Ramya yang suaranya gemuruh. Sedangkan berdekatan dengan itu, Sang Bhuta Edan yang suka mengamuk sedang menyiksa Atmaning Wong Andesti, atma yang semasa hidupnya menggunakan ilmu hitam untuk menyakiti orang lain.
            Di sebelahnya lagi, Atma Wong Bengkung yang tidak mau menyusui bayinya sedang disiksa dengan mematukkan ular tanah pada puting susunya oleh Bhuta Preta yang menjerit-jerit memekakkan telinga. Di tempat itu pula, Bhuta Jangitan yang menyeramkan sedang menyiksa Atma Pande Corah, atma ahli membuat senjata mungkin bom yang untuk menghancurkan orang lain. Selain itu, ada lagi Kawah Gomuka dengan air mendidih berisi atma yang direbus karena kesalahannya pada waktu menjelma menjadi manusia, sebagai koruptor, suka memfitnah, maling, madat, narkoba... Tampaknya di neraka yang luas ini, tidak terhitung jumlah Kawah Gomuka bertebaran di mana-mana. Demikian pula, begitu banyak atma yang bersalah pada masa lalu dihukum sesuai tingkat kesalahannya. Atma Jalir, baik laki-laki maupun perempuan yang semasa hidupnya suka berselingkuh, disiksa oleh Bhuta Lendi maupun Bhuta Lende dengan membakar kemaluannya. Dijumpai pula Sang Jogor Manik yang seram dan menakutkan sedang menguji Sang Atma Putus, yaitu atma yang dalam kehidupannya di dunia tiada tercela, selalu berbuat baik dan pandai. Tiada berapa lama kemudian, Sang Atma Putus diijinkan memasuki surga. Sesaat setelah menyaksikan penghukuman para atma sesuai kesalahannya, Bhima menemukan Kawah Gomuka. Secepat kilat Bhima membalikkan kawah untuk menyelamatkan atma Pandu dan Dewi Madri. Selanjutnya mencari tirta amerta untuk membebaskan dosa yang membelenggu kedua orang tuanya. Setelah diperciki tirta amerta, Pandu dan Madri berhasil memperoleh kebahagiaan abadi di sorga.(Sumber rareangon.blogspot.com)



Kemuliaan Nama Rama. Bag.3

Mengapa orang tidak boleh memburu dan memakan tupai? Kisah ini ada dalam kisah Ramayana bagian Sundara Kanda. Tatkala Sri Rama membangun jembatan dari semenanjung India selatan ke Lanka, banyak mahluk melakukan pelayanan bhakti dengan ikut membangun jembatan. Para Wanara yang amat kuat memecah gunung dan membawa bebatuan besar. Sisa-sisa para peradaban Wanara ini kita kenal dengan istilah Hominid dalam ilmu Paleontologi. Selain para Wanara, ada pula para kepiting yang ikut mengangkat pasir dengan capit mereka. ada pula bangsa tupai yang hanya mampu membawa serpihan batu kecil. Tatkala tupai-tupai tersebut ikut bergotong royong melakukan pelayanan bhakti kepada Sri Rama, para Wanara malah ingin mengusir mereka karena tubuh mereka yang kecil dan suka melompat itu terkadang menghalangi jalan. "Sebaiknya kalian berhenti" ujar salah seorang Wanara.
       
 "Mana mungkin kalian bisa membangun jembatan dengan serpihan batu-batu kecil yang hanya muat di mulut kalian itu?" Para tupai merasa sedih karena tidak diberikan kesempatan ikut membangun jembatan rohani itu. Kesedihan tupai-tupai tersebut diketahui oleh Sri Rama. Beliau bersabda " Wahai Wanara yang perkasa, apakah kalian berpikir bisa membangun jembatan ini tanpa restuku? Sesungguhnya aku dapat membangun jembatan ini hanya dengan memikirkannya saja. Aku sengaja melibatkan kalian semua agar kalian mendapat kesempatan berbhakti kepadaku. Dengan demikian, kalian disucikan. Karena itu janganlah sombong. Semua kehebatan dan kemampuan kalian sesungguhnya adalah karena karuniaku. Para Wanara kemudian menyesali kesombongan mereka. Untuk menghormati usaha dan pengabdian para tupai, Sri Rama menyentuh punggung mereka. Sejak saat itu, punggung tupai memiliki motif bulu yang berbeda. Bulu tersebut adalah bekas sentuhan Sri Rama yang membekas hingga keturunan-keturunan mereka.
       
Karena itu, tupai adalah binatang yang diberkati sejak jaman Tretayuga. Menurut kepercayaan masyarakat Bali, jenis binatang yang diberkati tersebut dikenal dengan istilah Due atau ancangan. Dan tidak boleh diusik, diburu, atau ditangkap. Tulisan ini dikutip dari kitab suci Weda Ramayana. 

Kenapa Bhisma Diam Saat Drupadi Dilucuti?

Kenapa Bhisma, Drona, dan Widura hanya berdiam diri dan jadi penonton saja melihat Drupadi dilucuti? Tanya Yan Bulex di grup Fb Hindu beberapa bulan yang lalu. Pertanyaan ini muncul bertepatan saat ditayangkannya serial Mahabharata di Anteve yang mengisahkan tentang Drupadi dilucuti oleh Dursasana karena kalah bermain dadu. Menanggapi pertanyaan Yan Bulex, Bhisma diam saat Drupadi dilucuti mungkin beliau terikat sumpah setia pada Hastinapura yang mana sumpah itu sudah dinyatakan gugur oleh Khrisna karena tidak mebawa dampak baik bagi kehidupan semesta. Saya sangat salut pada kehebatan Rsi Wyasa sebagai penyusun cerita Mahabharata. Cerita tersebut tidak lekang dimakan jaman. Dan merupakan intisari kehidupan. Jika dipandang dari segi filsafat, realitas kehidupannya selalu sesuai jaman serta hitam putihnya selalu ada. Itulah gambaran dari cerita Mahabharata setiap karakter manusia dari jaman ke jaman akan sama. Tatkala orang yang berkuasa berulah, dimana orang yang sebenarnya menegakkan keadilan harus terdiam karena mereka dapat hidup dari sang penguasa.
       Bisma dan Drona meskipun sakti, mereka tetap tunduk pada penguasa kala itu. Dari Itihasa itu apa yang kita bisa ambil untuk kehidupan kita. Benarkah yang kita jumpai di dunia ini persis seperti Itihasa itu? Dalam Bhisma Parwa sudah dijelaskan bahwa itu karena pengaruh makanan yang dia makan berasal dari kaum Korawa. Karena itulah sebelum Bhisma meninggal, Bhisma butuh air Pangentas dari panah Arjuna untuk membersihkan tubuhnya. Kisah Mahabharata itu merupakan gambaran kita untuk bertindak ke depannya. Mana yang baik dan mana yang kurang baik. Itulah sebabnya manusia diberikan Sabda, Bayu, dan Idep. Kita harus bisa memfilter semua perkataan atau perbuatan mana yang baik dan mana yang kurang baik. Agar bisa menentukan sikap atau memilih jalan mana yang akan kita lalui.
       Andai saja sedari awal Yudistira melibatkan Khrisna dalam permainan dadu itu, pasti beda Endingnya. Atau di saat-saat kritis itu Yudistira memanggil Khrisna, padahal Khrisna ada di depan gerbang istana. Ini juga bermakna tuhan tidak akan hadir ketika tidak kita panggil. Cerita Mahabharata bisa kita pakai refrensi dalam kehidupan sepanjang masa. Beginilah keadaan sebenarnya dalam dunia kehidupan. Intinya Khrisna sudah tahu apa yang akan terjadi semuanya tapi membiarkan semuanya terjadi dan dengan kekuatannya hanya mengurangi rasa malu dengan tidak bisa membuka kain Drupadi. Artinya secara logika Khrisna tahu apa yang akan terjadi. Dalam cerita itu seolah-olah sebagai bahan untuk bisa melakukan perubahan dan terjadilah perang Bharata.
           Itulah yang disebut Khrisna bahwa setiap janji, setiap sumpah, dan setiap tradisi harus diingkari. Dilanggar bila ada ketidakbenaran ataupun ketidakadilan. Bhisma, Drona, dan Widura terikat oleh janji yang dibuat Drestarata. Nanti pada saat akan terjadi perang, Khrisna akan mengungkap semuanya. Orang sehebat apaun akan tidak berdaya jikalau takdir pemusnahan di depan mata. Hanya tuhan yang tahu jawabannya. Pesan sejatinya adalah apa yang akan terjadi di depan tidak satu pun dari kita yang tahu. Itulah rahasia alam. Kalau beliau tahu akan terjadi hal yang sulit, mungkin beliau tidak akan bersumpah. Pelajaran postifnya untuk kita semua adalah bagaimana pentingnya menjaga komitmen dan menghormati pemimpin. Apakah dia tidak bisa menghancurkan semua? Pasti dia bisa. Tapi sekali lagi, walaupun itu kurang tepat, beliau memberi contoh yang sangat positif untuk kita berlaku dalam kehidupan.
            Bhisma, Drona, Widura, semua menahan diri dan tidak ingin menyikapi dengan emosi walaupun sudah terlihat salah. Tidak etis dan tidak pantas menyalahi norma kepatutan. Karena kalau mereka ikut terlibat, filsafat arti sebuah penyerahan diri terhadap tuhan tidak termunculkan. Drupadi sudah kelelahan dan tidak berdaya maka ia menyerahkan segalanya. Drupadi berkata " Bila sudah kehendak tuhan maka hamba pasrah, oh, Khrisna" Seraya melepaskan pegangan di kain penutup badannya dan seraya mengangkat tangannya sebagai pertanda kepasrahan. Saat kepasarahan itulah Khrisna turun menolong. Kalau sudah proses karma sedang berlangsung, jangankan Bhisma dan Drona, tuhan pun tidak akan menolong karena dengan proses itulah Drupadi sedang membayar karma buruknya di masa lalu. Dan karena pernah melakukan kebaikan kepada Khrisna di masa lalu, maka ditolonglah Drupadi oleh Khrisna. Hal itu harus terjadi dan karma tidak boleh diam. Kalau diam dunia akan hancur berkeping-keping.

Kontroversi Tentang Ganesha Di Pintu Gerbang.

Apakah patung Ganesha pantas diletakkan di pintu masuk atau Aling-Aling rumah? Dalam koran Bali Expres Denpasar tertanggal 19 November 2017 menjelaskan bahwa Proses umat hindu di Bali menjalankan kepercayaan, seperti ada hal “baru”. Bahkan seperti menjadi tren, yaitu pemujaan Ganesha, dengan memasang patung ganesha di pintu masuk atau aling – aling rumah. Namun ada semacam kontroversi. Cocokkah Ganesha di pintu gerbang? hal itu tidak layak. Karena Dewa Ganesha sebagai manifestasi Dewa Siwa. Baginya tempat yang layak adalah di utamaning Mandala (areal utama) dari pekarangan yaitu Merajan. “Karena manifestasi dari Siwa, posisinya di utamaning mandala posisinya di sebelah pelinggih penglurah,”  pemasangan Ganesha di pintu masuk rumah tidak terlepas dari tren, yang sedang berkembang.  Sehingga budaya pemasangan patung Ganesha di pintu masuk rumah dengan cepat diadopsi oleh masyarakat Bali secara umum.

Upacara Rsi Gana sesungguhnya adalah sebuah upacara yang didedikasikan atau dilakukan untuk memuja Dewa Ganesha, serta memberikan persembahan berupa caru kepada rancangan Dewa Ganesha. “Sehingga tidak mengganggu, dan bisa memberikan kedamaian kepada keluarga sang pelaksana upacara Rsi Gana tersebut, Jadi, dalam konteks agama yang dikenal saat ini, setiap rumah tangga di Bali diwajibkan untuk melakukan pemujaan kepada Dewa Ganesha, minimal sekali dalam kurun waktu tertentu. Hal ini tidak terlepas dari Filosofi Dewa Ganesha yang dalam keyakinan sebagian besar masyarakat Hindu melambangkan kebijaksanaan, maupun kecerdasan sehingga mampu membedakan salah benar untuk mencapai kesempurnaan dalam hidupnya.

Dewa Ganesha dilambangkan dengan bentuk manusia yang memiliki kepala gajah. “Selain bernama Ganesha, dewa ini juga disebut dengan Ganapati atau Winayaka, Sebagai manifestasi Dewa Siwa yakni dewa utama dalam Mitologi Hindu, maka Ganesha adalah dewa yang memiliki sifat suci. Sehingga untuk patung Ganesha ini, tidak layak ditempatkan di aling-aling rumah sebagai penjaga rumah, melainkan di utamaning mandala. tidak layak ditempatkan di aling – aling rumah. Namun di merajan atau sanggah,” Jika ditempatkan di luar areal utamaning mandala, maka fungsi patung Ganesha sebaiknya hanya digunakan sebagai pelengkap dekorasi saja. Sehingga patung ganesha yang dipasang di pekarangan rumah tidak diupacarai dan fungsi patung ganesha tersebut bukan sebagai tempat pemujaan, hanya dekorasi atau hiasan,” 

Pemasangan patung ganesha di aling-aling rumah tidak tepat. Terlepas dari peran Dewa Ganesha yang dalam mitologi Hindu disebutkan jika Dewa Ganesha memiliki peran yang sangat penting bagi ketenteraman surga sebagai istana para dewa. “Ini karena fungsi para dewa adalah sebagai penjaga ketentramanan Surga,” 

Karena hal itulah, maka penempatan Dewa Ganesha tidak sepantasnya di aling-aling rumah. Selain rumah tersebut bukan surga, aling-aling rumah atau pintu masuk rumah bukanlah kawasan Suci. Karena aling-aling rumah sangat rentan terkontaminasi dengan hal-hal yang negatif, baik itu secara sekala dan niskala. Terkait penempatan patung Ganesha ini,  jika umat Hindu ingin melakukan pemujaan terhadap Dewa Ganesha dengan cara memasang patung Ganesha, harus ditempatkan di tempat yang suci yakni di area merajan tepatnya berdampingan dengan pelinggih angglurah yang berada di bucu kaja kauh (sisi barat laut).

Ketentuan ini  diatur dalam lontar Ganapati, dimana dalam lontar tersebut disebutkan jika penempatan patung Ganesha di dalam rumah harus berada di areal utamaning mandala dan menjaga dari sisi barat laut. “Sehingga jika umat ingin memuja Dewa Ganesha, hendaknya patungnya ditempatkan pada sisi Barat Laut, dan patung itu bisa difungsikan sebagai sarana pemujaan, sehingga bisa dilakukan ritual penyucian atau Pasupati.




Lahirnya Dewa Ganesha.

Meski Ganesa terkenal sebagai putra dari Siwa dan Parwati, mitos-mitos dalam Purana memiliki ketidakpastian mengenai kelahirannya. Dia bisa saja diciptakan oleh Siwa, atau oleh Parwati, atau oleh Siwa dan Parwati, atau muncul secara misterius dan ditemukan oleh Siwa dan Parwati. Terdapat berbagai versi mengenai kelahiran Ganesa, namun kisah yang paling terkenal berasal dari kitab Siwa Purana. Dalam kitab Siwa Purana dikisahkan, suatu ketika Parwati ingin mandi. Karena tidak ingin diganggu, ia menciptakan seorang anak laki-laki. Ia berpesan agar anak tersebut tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumahnya selagi Dewi Parwati mandi dan hanya boleh melaksanakan perintah Dewi Parwati saja. Perintah itu dilaksanakan sang anak dengan baik.

Alkisah ketika Dewa Siwa hendak masuk ke rumahnya, ia tidak dapat masuk karena dihadang oleh anak kecil yang menjaga rumahnya. Bocah tersebut melarangnya karena ia ingin melaksanakan perintah Parwati dengan baik. Siwa menjelaskan bahwa ia suami Parwati dan rumah yang dijaga si bocah adalah rumahnya juga. Namun sang bocah tidak mau mendengarkan perintah Siwa, sesuai dengan perintah ibunya untuk tidak mendengar perintah siapapun. Akhirnya Siwa kehabisan kesabarannya dan bertarung dengan anaknya sendiri. Pertarungan amat sengit sampai akhirnya Siwa menggunakan Trisula dan memenggal kepala si bocah. Ketika Parwati selesai mandi, ia mendapati putranya sudah tak bernyawa. Ia marah kepada suaminya dan menuntut agar anaknya dihidupkan kembali. Siwa sadar akan perbuatannya dan ia menyanggupi permohonan istrinya.

Atas saran Brahma, Siwa mengutus abdinya, yaitu para gana, untuk memenggal kepala makhluk apapun yang dilihatnya pertama kali yang menghadap ke utara. Ketika turun ke dunia, gana mendapati seekor gajah sedang menghadap utara. Kepala gajah itu pun dipenggal untuk mengganti kepala Ganesa. Akhirnya Ganesa dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa dan sejak itu diberi gelar Dewa Keselamatan.
  
Ganesha sebagai dewa yang berwajah gajah memiliki makna filosofi yang mendalam. Gajah dianggap sebagai hewan yang memiliki intelegensi tinggi dibandingkan hewan lainnya. Tubuhnya yang besar melambangkan sebagai tempat berlindung dan kekuatannya mampu dijadikan andalan bagi yang meminta perlindungannya. Kakinya yang besar, mampu membuka jalan yang tertutup semak-semak. Oleh karena itu, Ganesha dijadikan dewa penghalang marabahaya atau rintangan , sehingga Ganesha juga disebut sebagai penghalau rintangan dan marabahaya.
           Sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan, Ganesha digambarkan membawa mangkuk yang berisi ilmu pengetahuan. Belalainya selalu masuk ke dalam mangkuk tersebut untuk menghirup ilmu yang seakan-akan tidak ada habisnya. Berdasarkan konsep keagamaan, Ganesha memiliki kekuatan atau sakti yang diwujudkan dalam bentuk kecerdasan atau buddhi, sehingga Ganesha juga disebut sebagai “buddhipriya” atau suami dari kecerdasan. Masyarakat pemuja Ganesha yang ingin anaknya memiliki kecerdasan atau seorang siswa yang ingin mendapat berkah, selalu memuja Ganesha. Mengingat kedudukannya sebagai dewa ilmu pengetahuan, maka beberapa institusi pendidikan menjadikan Ganesha sebagai lambangnya.
              Saat ini kita sering melihat rumah yang di dalam pekarangannya itu terdapat patung Dewa Ganesha menghadap keluar dari pintu gerbang dari sebuah rumah. Patung yang ada di rumah itu sudah pasti patung Ganesha yang sudah diupacarai secara Hindu oleh orang yang menaruh patung Dewa Ganesha itu dirumahnya. Tidak sembarangan bisa menaruh patung Dewa Ganesha di pekarangan rumah, karena patung ini seperti layaknya sanggah bagi umat Hindu, jika sudah didirikan maka harus di upacarai dan juga diberikan sesajen atau dipuja  setiap hari layaknya sanggah yang kita punya di rumah. Jika menaruh patung Dewa Ganesha pada pekarangan rumah namun tidak diupacarai tapi selalu dihaturkan banten setiap hari, maka patung itu bukan lagi sebagai Dewa Ganesha malahan patung itu akan menjadi tempatnya para Butha Kala. Oleh sebab itu kita harus tahu penempatan patung Dewa Ganesha itu hanya untuk patung pajangan atau memang untuk dipuja setiap hari.
        Dewa Ganesha atau sering juga disebut dengan Ganapati atau Winayaka ini merupakan Dewa yang perwujudannya campuran antara hewan gajah dan manusia. Seperti diketahui kalau Ganesha ini merupakan Dewa yang memiliki kepala gajah dan bertubuh manusia. Dewa Ganesha ini merupakan putra dari Dewa Siwa dan Ibunya adalah Dewi Parwati yang merupakan bentuk lain dari Dewi Durga. Dewa Ganesha ini sangat disayang oleh Ibunya, oleh sebab itu Dewa Ganesha ini selalu dimanja oleh Ibunya. Seperti kita ketahui kalau Dewa Ganesha itu memiliki tubuh yang gemuk dan dengan kepala gajah, nah meskipun demikian sebenarnya ada beberapa filosofi yang bsai kita petik dari bentuk Dewa Ganesha yang gendut itu. Nah berikut adalah beberapa filosofi yang ada pada Dewa Ganesha.
          Kepala besar melambangkan kita sebagai manusia seharusnya lebih banyak menggunakan akal daripada fisik dalam memecahkan masalah. Mata yang sipit berarti konsentrasi. Pikiran harus diarahkan ke hal-hal positif untuk memperbaiki daya nalar dan pengetahuan. Dua telinga besar yang mengajarkan supaya kita mendengarkan orang lain lebih banyak. Kita selalu mendengar, tetapi jarang sekali kita mendengarkan orang lain dengan baik: “Dengarkan ucapan-ucapan yang membersihkan jiwa dan seraplah pengetahuan dengan telingamu.” Satu gading yang patah untuk menggurat Kitab Suci di atas daun tal. Satu gading berarti kesatuan. Simbol ini menyarankan manusia hendaknya bersatu untuk satu tujuan mulia & suci.
               Memiliki mulut yang kecil dan hampir tidak kelihatan karena tertutup belalainya yang dengan rakus ”menghirup rasa” manisan susu ilmu di tangannya. Mulut yang kecil itu mengajarkan agar kita mengontrol gerak mulut dan lidah. Maksudnya adalah bahwa kita harus mengurangi pembicaraan yang tidak-tidak. Sementara belalai yang menjulur melambangkan efisiensi dan adaptasi yang tinggi. Beralih ke badan Ganesha yang besar, hal pertama yang kita lihat pastilah perutnya, karena perut itu memang buncit. Ganesha memang selalu dimanja oleh ibu Parvati, istri Siva sebagai anak kesayangan. Perut buncit melambangkan keseimbangan dalam menerima baik-buruknya gejolak dunia. Dunia diliputi oleh sesuatu yang berpasangan, yakni pasangan dua hal yang bertolak belakang. Ada senang, ada pula sedih. Ada siang, ada pula malam. Ada wajah suram kesedihan di balik tawa riang kita. Dan sebaliknya, ada keriangan dan semangat dibalik kesenduan kita. Itulah hidup, dan kita harus menyadarinya.
        Tangan kanan depan bersikap abhaya hasta (memberi berkat) kepada pemuja, umat manusia. Selain itu Beliau juga memberkati dan melindunginya dari segala rintangan dalam usaha pencapaian Tuhan. Tangan kanan belakang memegang kapak, dengan kapak itu beliau memotong keterikatan para bhaktanya dari keterikatan duniawi. Tangan kiri belakang memegang tali dan dengan tali beliau menarik mereka untuk semakin dekat dengan kebenaran, kebajikan, dan cinta kasih serta intelektualitas, kemudian pada akhirnya beliau mengikatnya untuk mencapai tujuan umat tertinggi. Tangan kiri depan membawa modaka (manisan) dipegang oleh Dewa Ganesha perlambang pahala dari kebahagiaan yang beliau berikan kepada pemuja-Nya.
                 Terakhir, ada seekor tikus yang selalu berada di dekat Ganesha. Tikus, seperti sifat hewan aslinya, adalah hewan yang penuh nafsu menggigit. Hewan pengerat ini memakan apa saja untuk memenuhi hasrat perutnya. Demikianlah tikus dijadikan lambang nafsu dalam figur Ganesha. Lalu mengapa tikus itu menjadi tunggangan Ganesha yang berbadan berat & tinggi ini? Jawabannya sangat sederhana, tikus yang diibaratkan sebagai nafsu harus ditundukkan. Kita harus bisa menjadikan nafsu sebagai kendaraan sehingga kita dapat mengendalikan nafsu. Namun saat ini justru sebaliknya banyak manusia kini menjadi kendaraan dari nafsunya sendiri. Banyak dari mereka yang tidak bisa mengendalikan nafsunya sendiri sehingga mereka terkadang dibuat susah oleh nafsunya sendiri. Nah itulah sedikit penjelasan dari filosofi Dewa Ganesha, semoga bermanfaat dalam kehidupan ini. Jadi kesimpulnnya adalah, jika sudah berani melinggihkan patung Dewa Ganesha di pekarangan rumah dan juga sudah diupacari, maka kita sudah pasti harus bisa mengendalikan segala bentuk keterikatan kita dari keduniawian dan selalu berjalan pada jalan yang benar dengan selalu berbuat baik dan pastinya tidak merugikan diri sendiri dan juga orang lain dan bisa mendapat pahala yang baik dari setiap persembahan yang kita lalukan.

Selasa, 11 April 2023

Sosok Hanoman.

Sosok Hanoman sangat familiar di kalangan masyarakat Hindu seperti di India, Jawa, Bali, Tiongkok, Roma, dan banyak lagi negara-negara lain yang mengagumi sosok Hanoman. Bahkan baru-baru ini, di Amerika Selatan tepatnya di Honduras ditemukan reruntuhan bekas kota kuno yang disebut The Lost City Of The Monkey God. Pada reruntuhan tersebut juga ditemukan arca sosok dewa berwujud manusia kera memegang gada. Bagaimana ceritanya, kok bisa sampai Hanoman juga dipuja di Amerika Selatan pada jaman dahulu? Padahal Amerika sangat jauh dengan benua Asia. Apakah sosok Hanoman dalam kisah Ramayana adalah tokoh sejarah atau hanyalah dongeng belaka? Atau pula hanyalah sebuah topeng kera untuk mudah membedakan antara pasukan kera dengan pasukan Rahwana.
            Untuk mengetahui jawabannya, silakan simak ulasan berikut ini. Jaman Ramayana diperkirakan sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu. Tepatnya pada sektar tahun 500 sebelum Masehi. Bagaimana sosok Hanoman bisa dikenal di negara Amerika yang begitu jauh dengan benua Asia? Tokoh Hanoman dalam cerita Ramayana memiliki kekuatan dan kesaktian yang sangat komplit. Tentu saja Hanoman menganggap perkara mudah soal terbang ke benua Amerika pada saat itu. Jangankan ke Amerika, ke sorga pun bahkan ke Patala maupun ke planet matahari, Hanoman bisa menempuhnya. Saking begitu familiarnya dengan sosok Hanoman, seorang penyair dari Tiongkok kuno juga ikut terinspirasi untuk membuat tokoh Sun Go Kong dalam cerita kera sakti. Selain sosok Hanoman, tokoh-tokoh lain dalam cerita Ramayana juga ikut dijadikan nama kota dan nama benda peninggalan bersejarah. Seperti misalnya kota Roma, konon diambil dari nama tokoh Rama. Ada juga istilah penduduk Lava yang konon diambil dari nama salah satu putra kembar Rama yaitu Lawa. Tokoh-tokoh Ramayana juga dijadikan nama benda peninggalan bersejarah seperti jembatan Rama yang membentang di selat Park yang menghubungkan antara India dengan Srilangka.
          Mengenai pendapat tentang Hanoman itu hanyalah topeng kera belaka agar dapat membedakan pasukan musuh Rahwana, saya akan  meluruskan pendapat tersebut. Saya mau mengambil contoh lain. Yaitu tentang gajah bergading empat yang termuat dalam Itihasa Ramayana mampu menjawab bahwa di era yang sama, manusia kera memang ada. Apakah fosil kera yang ditemukan saat ini karena topeng? Coba dibuka kembali sloka Kiskinda Kanda 37. Disana sudah jelas apakah itu topeng seperti pendapat beberapa ahli yang merasa malu. Hindu mengenal manusia kera di kitab Itihasa sehingga disebut dongeng ketika itu. Semua itu adalah anomali pada kisah sejarah Itihasa yang sulit kita bayangkan pada jaman sekarang. Dimana dua juta tahun yang lalu keberadaan homo Sapiens dan primata manusia kera sempat hidup pada jaman yang sama. Jaman dahulu Homo Sapiens diperkirakan ada 7000 tahun yang lalu. Kemudian diupdate ke 100.000 tahun lalu. Kemudian diupdate lagi ke 200.000 tahun lalu di tahun 2000. Kini update lagi ke 500.000 tahun lalu dengan ditemukan bukti rahang bawah di tahun 2015. Tata surya kita saja sudah update oleh Science dengan mengeluarkan Pluto dari sistem Planetary yang mengitari matahari. Science akan terus terupdate. Sedangkan apa yang tertulis pada Itihasa akan tetap sama. Maka bisa jadi kelak Science akan sampai kepada fakta yang sama dengan Itihasa.
          Di India, Hanoman dipuja sebagai dewa pelindung makanya umat disana membuat kuil khusus untuk memuja Hanoman. Di Bali juga mengenal sosok Hanoman yang berupa Wanara. Hanoman dalam pandangan Hindu di Bali adalah sosok dewa yang memiliki bahu perkasa. Hanoman memiliki banyak nama diantaranya Bajrang Bali. Kenapa dinamakan Bajrang Bali? Karena Hanoman memiliki keteladanan tinggi mengenai kesetiaan dan bakti yang tulus. Ia juga disebut Maruti, Bayu Putra, Anjani Putra karena ia adalah putra dari Bhatara Bayu dan Dewi Anjani. Disebut juga Suwiyuswa karena ia memiliki umur panjang yang hidup pada jaman Ramayana sampai Mahabharata. Juga bergelar Rsi Mayangkara saat ia bertapa di pertapaan Kendalisada. Sementara dalam kisah pewayangan di Bali, Hanoman memiliki putra yang bernama Watugangga. Hanoman dikisahkan gugur akibat terkena pukulan gada jelmaan Dewi Durga saat berperang melawan Kaladewa. Karakter Hanoman dalam kisah pewayangan adalah pemberani, memiliki sopan santun, tahu harga diri, setia, prajurit ulung, waspada, pandai berlagu, rendah hati, dan teguh dalam pendirian. 


Senin, 10 April 2023

Jayabaya

Siapa sebenarnya raja Jayabaya itu? Apa saja yang pernah dilakukan di masa beliau menjadi pemimpin? Apakah ada pengaruhnya bagi umat Hindu? Dan apakah ramalan Jayabaya sudah terbukti di jaman sekarang? Untuk mengetahui profil Jayabaya, silahkan simak ulasan berikut ini.
             Maharaja Jayabaya adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Gelar beliau adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabaya Sri Warmeswara Madusudana Awataranindita Sutrisinga Parakrama Utungadewa. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang 1135, prasasti Talan 1136 dan prasasti Jepun 1144 serta Kekawin Baratayuda 1157. Pada prasasti Hantang atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayanti yang artinya Kediri menang. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Jenggala dan mempersatukannya dengan Kediri. Kekawin Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Panuluh pada tahun 1157 adalah Kekawin untuk kemenangan Jayabaya atas Janggala. Jayabaya menurut tradisi Jawa yang tersurat dalam naskah Babad Tanah Jawi dan serat Aji Pamansa. Dalam Babad tersebut dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu, negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Jayabaya turun tahta pada usia tua. Beliau dikisahkan moksa di desa Menang kecamatan Pagu Kediri. Beberapa naskah yang berisi ramalan Jayabaya antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya dan lain sebagainya. Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah ramalan Jayabaya.
          Apakah ramalan Jayabaya sudah terbukti di jaman sekarang? Dalam catatan media, Jayabaya telah memprediksi nama-nama orang nomer satu di Indonesia sejak lama yaitu Indonesia dipimpin Notonodo. Sejak merdeka, negara dipimpin oleh Soekarno, dilanjutkan dengan Soeharto hingga Susilo Bambang Yudoyono dan kini Joko Widodo. Jika disingkat namanya membentuk Notonodo. Selain itu, Jayabaya juga meramalkan akan ada banyak pejabat yang korupsi, banyak orang yang dapat kekayaan tidak wajar, kehidupan peradaban akan berubah, dan muda-mudi melanggar norma.