Rabu, 31 Mei 2023

Rsi Narada Dan Narayana.

Dikisahkan Mahareshi Narada yang sedang menghadap Tuhan Narayana. Tuhan Narayana bertanya ; "Narada, dalam Perjalananmu di seluruh dunia apakah kau menemukan Rahasia Utama Alam Semesta ???, Apakah kau mampu memahami Misteri dibalik dunia ini ???, Saat kau melihat lima Elemen Alami Besar Bumi, Air, Api, Angin dan Ruang, menurutmu apa yang paling penting ???"

Mahareshi Narada mengingat-ingat Pengalamannya menjelajah dunia dan menjawab ; "Oh Tuhan Narayana  dari lima Elemen yang paling Padat yang paling penting adalah Elemen Bumi"
Tuhan Narayana berkata ; "Bagaimana mungkin Bumi menjadi yang terbesar Ketika tertutup oleh Lautan !!!, ditelan oleh Air !!!, mana yang paling besar, benda yang ditelan atau yang menelannya ???"
Resi Narada mengakui bahwa Air harus lebih besar karena telah menelan Bumi.
Tuhan Narayana berkata lagi ; "Tapi Narada, kita memiliki Kisah Kuno, bahwa ketika Iblis berada di Lautan, Seorang Bijak yang Sakti datang dan menelan seluruh Air Lautan termasuk Iblis didalamnya dalam Satu Tegukan. Apakah kau pikir Orang Bijak tersebut lebih besar dari Lautan ???"
Resi Narada Setuju Pendapat tersebut.
Tetapi Tuhan Narayana melanjutkan ; "tetapi dikisahkan ketika Orang Bijak dia meninggalkan tubuh duniawinya, dia menjadi Bintang dilangit, Orang Bijak tersebut sebagai Bintang kecil dihamparan luas langit. Manakah yang lebih besar, Orang Bijak atau Langit ???"

Resi Narada menjawab ; "Tuhan Narayana, pasti Langit lebih besar".
Tuhan Narayana bertanya lagi ; "Narada, tidakkah kau ingat kala Tuhan mewujud sebagai Vamana  orang kerdil satu langkahnya dapat menutup Bumi dan Langit. Bukankah kau berpikir Kaki Tuhan lebih besar dari pada Langit ???"
Resi Narada berkata ; "Benar Tuhan Narayana, Kaki Tuhan lebih besar dari pada Langit".
Tuhan Narayana berkata ; "Jika Kaki Tuhan saja demikian besar, bagaimana pula dengan Tubuhnya yang tidak terbatas ???"

Mahareshi Narada sampai pada Kesimpulan akhir ; "Yaaa, Tuhan adalah yang terbesar, tak terbatas dan tak terukur, tidak ada yang lebih besar dari Tuhan"
Tuhan Narayana masih melanjutkan ; "Bagaimana dengan Bhakta yang dapat memenjarakan Tuhan ???, Tuhan Berkenan Bersemayam dalam diri Bhakta, Bhakta itu lebih besar dari pada Tuhan, Tuhan takluk dengan Bhaktanya.
Seperti Kisah Rishi Durvasa dan Raja Ambharisha.
Rishi Durvasa dikejar Cakra Sudharsana memohon Perlindungan pada Brahma, Siva dan Narayana (Sri Visnu), yang menolak untuk melindunginya karena telah berbuat kesalahan kepada Seorang Vaishnava "Raja Ambharisha" dan Sri Visnu tersenyum dan berkata ; "Durvasa, kamu juga tidak melihat bahwa Aku pun seperti Brahma dan Mahadeva, kamu tidak memahami diriku. Aku bukan orang bebas, Aku mungkin mampu melakukan apapun yang Aku Kehendaki, tetapi Aku adalah milik Bhakta-ku. Mereka sudah meninggalkan segalanya dan memilih Aku sebagai Sahabat mereka. Mereka meninggalkan segalanya untukku, istri, rumah, anak, keinginan dan hidup mereka tinggalkan untukku. Mereka tidak memikirkan Dunia dan tidak tergiur Surga, yang mereka harapkan hanya Rahmatku. Sebagai balasan, Aku tidak akan pernah meninggalkan mereka, mereka sudah menaklukkan Aku dengan Cinta mereka, Hinaan apapun terhadap mereka adalah hinaan kepadaku.



Kamis, 11 Mei 2023

Mpu Kuturan.

Dalam Catatan Harian Sugi Lanus, tertanggal 27 Mei 2022 dijelaskan bahwa Mpu Kuturan secara konsisten disebut berasal dari Maspait/ Maospait, yang mana menurut perkiraan adalah wilayah di sekitar Maospati sekarang, di barat Madiun dengan situs Prasasti Sendang Kamal, yang tak lain petirtan kuno — terletak di Dukuh Sumber Kelurahan Kraton, Kabupaten Magetan. Prasasti-prasasti besar di Sendang Kamal adalah bukti-bukti otentik bahwa wilayah ini adalah salah satu pusat spiritual Jawa dari era Mpu Sindok sampai setidaknya era Dharmawangsa Teguh, cucu Mpu Sindok, dan kemungkinan masih menjadi sentral kepanditaan di era Raja Airlangga. Dari Maspait atau Maospait, Mpu Kuturan pindah ke Bali. Ia menjadi pembawa ajaran parahyangan atau perintis pembuatan Pura atau Parahyangan di Bali. 

Dalam lontar-lontar disebutkan bahwa *ajaran yang dibawa oleh Mpu Kuturan adalah pedoman Parahyangan yang dipakai di Jawa.* Jadi ajaran tersebut bukan ajaran baru, tetapi ajaran atau paham yang telah implementasikan di Jawa. Ini yang dibawa ke Bali dan disemaikan di tanah Bali. Lontar yang memuat teks ajaran Mpu Kuturan — atau dalam lontar disebut sebagai Panugrahan Kuturan  yang berjudul Indik Nangun Parahyangan yang artinya Perihal Membangun Kawasan Suci dan Pura. Membicarakan warisan pemikiran Mpu Kuturan yang paling pokok. Lontar-lontar Panugrahan Kuturan ini berisi berbagai aturan membangun desa yang berporos pada parahayangan/pusat pemujaan. Desa terlebih dahulu harus punya titik pivot dan Sekala-Niskala, yang mana berupa perempatan jalan, atau titik strategis balai desa dan atau parahyangan (Pura Pagaduhan, Bale Agung, atau Puseh Desa). 

Parahyangan sebagai “penyangga” sebuah desa dan kelangsungan dari sebuah tatanan masyarakat secara kohesif menata dirinya, bekerjasama dalam pola gotong-royong, Ayahan desa, kepemilikan, yang secara konsepsi terintegrasi secara teoloigis dalam apa yang kita kenal sebagai konsep dan penataan desa dalam Tri Parahyangan (Kayangan). Parahyangan artinya tatanan Hyang (pura beserta para Hyang yang dimuliakan atau dipuja). Secara lisan, setiap kali percakapan terkait desa pakraman dan penataannya, tidak bisa-tidak, nama Mpu Kuturan disebutkan. Mpu Kuturan adalah tokoh besar dalam sejarah keagamaan di Bali yang jelas berasal dari Jawa, yang konsepsinya bertitik tumpu pada ikatan pakraman dan kahyangan (puseh desa) dan rentangnya sampai subak, tatanan masyarakat Bali menjadi satu kesatuan antar sistem pertanian, sistem religi, dan penata kelolaan sosial Bali Kuno.

Dalam masa penataan Mpu Kuturan di Bali, disebutkan kalender masyarakat Bali ditata dalam kalender ritual yang siklik atau siklusnya datang setiap 210 hari, dan bertemu dengan dalam sistem purnama-tilem. Ini yang disebut sebagai odalan atau karya yang memberikan kesempatan warga untuk bertemu atau berjumpa dalam pengaturan yang rapi dan berdasarkan kalender. Berdasarkan ajaran penataan kawasan Indik Nangun Parahyangan yang dibawa oleh Mpu Kuturan tersebutlah, sampai saat ini, semua Krama wajib menjadi bagian dari desa Pakraman, dan desa Pakraman sebagai penyangga Parahyangan. Dalam tataran praksis, desa yang ada di Bali adalah desa Hindu. Krama atau anggota desa harus tahu dan sadar urusan lingkungan dan tata letak keruangan yang sangat tertib (secara konsepsi dikenal sebagai Tri Mandala) terintegrasi dalam Tri Kahyangan, yang tidak lain adalah penjabaran praksis konsepsi Tri Murti yang merupakan bagian dari implementasi dari teologi Tri Purusa.



  













4. *Dang Hyang Nirartha (DHN) jelas disebutkan dari Jawa.*

— Kitab-kitab suci yang dibawa dari Jawa oleh DHN menjadi acuan diksa dan kependetaan Siwa di Bali sampai hari ini.

— Keturunan DHN sampai hari ini masih secara teguh melaksanakan sebagian besar ajaran suci yang diwariskannya. Demikian juga kitab-kitab suci yang diwariskan ke Bendesa Mas, dan berbagai satria Bali lainnya, masih menjadi acuan ritual atau keagamaan Hindu di Bali.

— Diksa, puja-mantra, ritus suci para pedanda keturunan DHN tersebut yang disebutkan dibawa dari garis silsilah Bharata Warsa menjadi menarik diteliti.

Dimana sebenarnya asal leluhur DHN?

Silahkan membaca Babad Brahmana Kemenuh atau Dwijendra Tatwa bagian awalnya disebutkan silsilah gotra atau garis silsilah leluhur ke atas dari DHN. 

Dalam Dwijendra Tatwa dan Babad Brahmana Kemenuh sangat jelas apa kontribusi agung DHN yang berleluhur Jawa dan Bharata Warsa tersebut. Kitab-kitab dan pedoman kependetaan serta kesastraan peninggalan DHN menjadi acuan keagamaan dan kesastraan Hindu di Bali sampai saat ini. Setidaknya menjadi acuan wajib internal trah atau garis diksa yang merujuk pada Bhatara Lelangit (sebutan hormat di kalangan internal trah keturunan DHN untuk DHN).

Diksa-diksa di Bali, sampai saat ini, yang resmi mengikuti DIKSA atau PODGALA ŚIWA yang embrio atau cikal-bakal teks pedoman dan praktek diksanya adalah WARISAN DANG HYANG NIRARTHA (Bhatara Lelangit).

Pura-pura seantero Bali di masanya kembali direstorasi oleh DHN. Jasa Bhatara Lelangit yang datang dari Jawa ini tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan mengatakan bahwa Hindu Bali murni berasal dari Bali.

5. *Dang Hyang Astapaka* yang disebut sebagai pewaris garis DIKSA BUDDHA, yang berpusat di Budakeling Bali, dengan kitab-kitab warisan yang beredar, dipedomani, dipraktekkan dan dijaga silsilahnya di Budekeling dan griya-griya Buddha di Bali, jelas terkait dengan “dunia luar Bali”. Punya keterkaitan teks dan puja dengan berbagai teks dan khususnya stawa yang terkait dengan Borobudur dan Mendut. 

Bukan hanya kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang dipercaya sebagai pedoman penyusunan Borobudur yang terselamatkan di Budakeling, tetapi praktek puja dan DIKSA masih ajeg sampai kini dalam tradisi aguron-guron Buddha Mahayana di Budakeling.

Jika ingin belajar muasal ajaran Buddha di Bali silahkan melawat ke titik-titik ini dan periksa koleksi naskahnya:

— Griya Bodha, Banjar Angkan, Gianyar
— Griya Dalem Setra, Batuan
— Griya Dlod Peken, Sanur (Badung)
— Griya Anyar, Sibang Kaja (Badung)
— Griya Liligundi (Buleleng)
— Griya Datah, Batuan
— Griya Djadi, Tabanan
— Griya Krotok, Boda Kling (Karang Asĕm)
— Griya Subagan (Karang Asĕm)
— Griya Bodha, Sukawati, Gianyar 

Sebelum melawat dan membaca warisan naskah-naskah kebuddhaan yang disimpan di sana, sebaiknya tidak berteori atau bersiteguh dan bersitegang dengan asumsi.

6. Jika ada sekelompok masyarakat Bali yang mengatakan *Hindu Bali murni atau ORIGINAL (?) dari Bali*, silahkan kembali membaca lapis-lapis kedatangan pendatang dari Jawa yang hijrah ke Bali. Silahkan membaca kitab-kitab yang dibawa dari Jawa oleh MPU KUTURAN, keluarga atau gotra PARA RSI LELUHUR PASEK GELGEL dkk, yang termasyur sebagai perumus sistem keagamaan di era tersebut. Silahkan kembali membaca berbagai kitab-kitab warisan DANG HYANG NIRARTHA. Termasuk, jika runut dan mendalam mengikuti dan mengamati, harus jujur mengakui bahwa diksa di Bali yang dominan sekarang adalah bersumber dari Dang Hyang Nirartha, dan sebagian dari DANG HYANG ASTAPAKA. 

Jika kedatangan para suci dari Jawa tersebut dipungkiri, atau masih beranggapan bahwa agama yang berkembang di Bali adalah atau *murni Bali* (*dharmic original*), pertanyaannya: Mau dikemanakan para Mpu Suci yang membawa ajaran dari Jawa tersebut?

Dalam dalam catatan ini saya :

 *MEMPERINGATKAN kepada pihak-pihak yang mencatut nama besar I GUSTI BAGUS SUGRIWA* yang mengatakan bahwa beliau pernah menyatakan bahwa Hindu Bali adalah “murni Bali”. Tidak pernah. Saya kebetulan mengumpulkan karya-karya tulis beliau semenjak tahun 1995, dan belakangan bersama putra dan cucu dari beliau selama beberapa tahun melakukan pembacaan bersama warisan pemikiran beliau. Justru I Gusti Bagus Sugriwa adalah tokoh Hindu Bali yang pakar tiada tanding di masanya prihal kesusastraan Jawa Kuno atau Kawi yang mengatakan bahwa ajaran Hindu Bali tidak terpisahkan dengan teks dan naskah-naskah Jawa Kuno. Semua ajaran yang diturunkan oleh beliau merujuk atau bereferensi pada peninggalan sastra Jawa Kuno. Puluhan buku dan berseri-seri terbitan terjemahan berbagai karya sastra Jawa Kuno adalah mata air dari pemikiran-pemikiran beliau. Dan, sekali lagi, tidak satu atau sekalipun I Gusti Bagus Sugriwa mengatakan bahwa Hindu Bali adalah “murni Bali”.

Di masa lalu, hampir bisa dipastikan tidak ada orang Bali atau non Bali yang berani cawe-cawe menafsir Hindu Bali tanpa membaca dan punya pemahaman kuat pada tatwa dan sastra Kawi/Jawa Kuno dan Sansekerta yang sebagian besar dirumuskan di Jawa, terselamatkan di Bali. Apa yang dirumuskan di Jawa tersebut, kemudian dipertahankan dan diadaptasi, serta dikembangkan di Bali. 

Harus jujur diakui — terutama kalau paham stuti dan stawa yang dipakai dalam kepanditaan di Bali — kandungan ajaran dan pedoman puja Hindu Bali syarat dan “tebal” bermuatan teks Weda dan Upanisad. Terutama Purana yang ditulis di wilayah Jawa dengan pengantar bahasa Jawa Kuno atau Kawi. Yang mana kitab-kitab tersebut punya hubungan intertekstualitas yang mendalam dengan teks-teks dari lingkar peradabanan kuno yang disebut sebagai peradaban Bharata Warsa.

Mantap bli lanus
Pencerahannya
👍1 T

Sunanda.

Di tepi sungai Pranita terdapat sebuah kota besar Meghankara yang memiliki kuil Visnu yang terkenal, Jagat Isvara. Arca Jagat Isvara memegang sebuah busur di tangan-Nya. Di kota itu hiduplah seorang brahmacari bernama Sunanda, yang menjadi brahmacari atau tidak kawin sepanjang hidupnya.

        Sunanda duduk di dalam kuil Jagat Isvara sambil melafalkan bab ke-sebelas dari Srimad Bhagavad-gita, pikirannya pokus mengingat Tuhan. Dengan membaca bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita, ia memperoleh kontrol penuh atas semua indria dan mampu mengingat Tuhan secara terus menerus.

        Pada suatu hari Sunanda mengadakan perjalanan ke tempat-tempat suci di tepi sungai Godavari. Ia mengunjungi semua tempat suci dimulai dengan Vraja Tirta. Di semua tempat suci yang dikunjunginya, ia selalu mandi dan menghadap untuk memohon berkah dari para Dewa yang bersthana di sana. Suatu hari ia tiba di kota bernama Vivaha Mandapa, bersama dengan rekan-rekannya ia mencari tempat untuk menginap hingga menemukan sebuah dharmasala (penginapan) yang berada di tengah kota itu, mereka pun akhirnya beristirahat malam itu. Ketika Sunanda bangun di pagi hari ia menemukan dirinya berbaring di luar penginapan dan ia tidak menemukan semua rekannya, sambil mencari ke mana mereka pergi, ia bertemu dengan seorang kepala desa yang segera bersujud di kakinya dan berkata, "Oh, guru suci, aku tidak dapat mengatakan ke mana rekan Anda telah pergi, akan tetapi aku dapat memberitahu Anda bahwa tidak ada penyembah yang setara dengan Anda. Aku belum pernah melihat orang semurni Anda. Oh yang terhormat Brahmana, saya memohon Anda untuk tinggal di desa ini. Kami akan melayani dan memenuhi segala keperluan Anda."

       Ketika Sunanda mendengar permintaan sederhana dari kepala desa, ia memutuskan untuk tinggal selama beberapa hari. Kepala desa mengurus semua keperluan Sunanda sehingga nyaman untuk tinggal dan sibuk melakukan pelayanan siang dan malam. Setelah delapan atau sembilan hari berlalu, ia datang kehadapan Sunanda dengan menangis sangat keras dan berkata, " Oh Brahmana murni, tadi malam salah satu raksasa itu telah memangsa anakku." Sunanda bertanya, "Di manakah raksasa itu tinggal? Dan bagaimana ia memakan anak Anda? 

         Kepala desa itu menjawab, "Di kota ini ada raksasa yang sangat mengerikan, setiap hari ia akan memakan penduduk desa tanpa belas kasihan sedikit pun. Suatu hari, kami semua pergi menemui raksasa itu dan memintanya untuk melindungi kami, sebagai imbalannya kami akan menyediakan makanan untuknya sehari-hari. Di bangunlah satu dharmasala dan setiap pelancong yang datang ke sini akan tinggal di tempat itu, ketika tamu itu tidur, raksasa itu memangsanya. Dengan cara ini kita bisa melindungi diri dari raksasa itu.

         Ketika Anda datang bersama rekan-rekan Anda lantas tinggal di dharmasala itu, raksasa tidak memakan Anda, tidak seperti yang lainnya. Aku memberitahu hal ini karena tadi malam seorang teman anakku datang tetapi aku tidak menyadari bahwa ia adalah teman yang sangat dekat dan teman kesayangan anakku. Jadi aku menyuruhnya tinggal di dharmasala. Ketika anakku tau temannya menginap di sana ia pun pergi menyusul kawannya itu dan mencoba membawanya kembali. Saat ia pergi ke sana, ia juga di makan oleh raksasa itu. Pagi ini aku menemui raksasa itu dan bertanya kepadanya, mengapa ia memakan anakku bersama dengan yang lainnya. Aku juga meminta padanya, adakah cara untuk mendapatkan kembali anakku? Apa pun cara itu akan aku lakukan demi memperoleh anakku. Raksasa itu mengatakan, "Aku tidak tahu bahwa putra Anda juga memasuki dharmasala, sehingga ia kumakan saja bersama dengan yang lain. aku dapat membantu kamu untuk mendapatkan kembali anakmu hanya bila aku dibebaskan dari tubuh raksasa ini, yang dapat dilakukan atas berkah dari orang yang mengucapkan bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita setiap hari."

         Raksasa itu melanjutkan ceritanya, ia ingat ada satu Brahmana yang tinggal di kota itu dan pernah pula menginap di dharmasala ini, akan tetapi raksasa tidak memakannya karena setiap hari ia melafalkankan Bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita. Jika ia setiap hari melafalkan bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita sebanyak tujuh kali kemudian memercikkan air pada saya, maka saya akan dapat bebas dari kutukan tubuh raksasa ini. 

        Sunanda kembali bertanya kepada kepala desa itu, "Wahai kepala desa, dia yang memakan orang sedang tidur di malam hari, apa dosa yang telah dilakukan orang itu hingga mendapatkan tubuh raksasa itu?"

       Kembali di ceritakan oleh kepala desa itu, dahulu kala ada seorang petani keturunan brahmama yang tinggal di desa ini. Saat ia menjaga ladangnya, ia melihat ada seekor burung pemakan bangkai yang menyerang seseorang yang sedang lewat di jalan itu. Pada saat bersamaan itu, seorang yogi kebetulan lewat. Ketika yogi melihat bahwa ada orang yang sedang diserang oleh burung pemakan bangkai ia berlari untuk membantu, tetapi ketika sampai ke orang yang malang itu ia sudah terlambat. Yogi itu menjadi sangat marah kepada petani dan mengatakan, "Orang yang melihat orang lain dalam bahaya dari pencuri, ular, kebakaran, serangan senjata, dan lain-lain, meskipun ia mampu membantu mereka, tetapi tidak datang untuk membantu, akan dihukum oleh Yamaraja. Setelah menderita di neraka untuk waktu yang sangat lama, ia mengambil kelahiran sebagai serigala. Dan orang yang membantu orang yang membutuhkan bantuan, pastilah menyenangkan Dewa Visnu. Seseorang yang mencoba untuk menyelamatkan sapi dari tangan binatang ganas, atau dari seorang pria kelas rendah, atau penguasa jahat maka ia mencapai Dewa Visnu. Petani kejam, Anda melihat burung Hering menyerang orang itu tapi tetap saja Anda tidak berusaha untuk menyelamatkannya. Sekarang aku kutuk engkau untuk mengambil kelahiran sebagai raksasa." 

        Petani itu terkejut lalu mengatakan, "Aku sedang mengawasi ladang sepanjang malam dan aku sangat lelah. Mohon kasihanilah aku, oh....orang suci."

         "Ketika seseorang, yang setiap hari membaca bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita, lalu memerciki air di kepalamu, maka kamu akan bebas dari kutukan ini," jawab sang yogi. 

        Kepala desa melanjutkan ceritanya, "Brahmana Sunanda, dengan tanganmu, tolonglah percikkan air di kepala raksasa itu." Setelah mendengar kisahnya dari penduduk desa, Sunanda pun pergi bersama penduduk itu ke tempat raksasa tinggal, kemudian sambil membaca bab ke-sebelas Srimad Bhagavad-gita Sunanda memercikkan air di kepala raksasa. Raksasa tersebut segera mencapai wujud empat lengan seperti Dewa Visnu. Tidak hanya raksasa, tetapi semua ribuan orang yang telah ia makan juga mencapai bentuk empat lengan seperti Dewa Visnu. Lalu mereka semua duduk di kendaraan surga, yang dikirim untuk membawa mereka ke Vaikuntha. 

        Melihat peristiwa luar biasa itu, kepala desa tadi bertanya kepada raksasa yang memakan anaknya. Raksasa tertawa dan menunjuk salah satu dari ribuan wajah indah yang duduk di kereta surga itu kemudian berkata, "Itu adalah anakmu."

       Kepala desa itu meminta anaknya pulang bersamanya. Mendengar permintaan ayahnya, anak tersebut tersenyum dan menjawab, " Tuanku yang terhormat, telah banyak kali Anda menjadi anakku dan aku menjadi milikmu. Tetapi, sekarang oleh anugerah dari Sunanda penyembah agung dan murni, aku telah dibebaskan dari roda kelahiran dan kematian dan sekarang aku akan kembali ke rumah asalku yaitu di Vaikuntha."

        Anak itu kemudian mengatakan, " Tuan....bersujudlah pada kaki Padma Sunanda dan dengar darinya bab kesebelas Srimad Bhagavad-gita, Anda juga akan mampu mencapai tempat tinggal Dewa Visnu (Vaikuntha) tanpa keraguan sedikit pun. Dari Sri Krsna sendiri, pengetahuan suci amerta datang ketika di medan perang Kurukshetra ketika menjawab pertanyaan Arjuna. Hanya dengan mendengar dan membaca Sloka ini seseorang dapat melepaskan simpul ketat yang mengikat kita untuk roda kelahiran dan kematian."

        Siva pun bersabda, "Setelah mengucapkan kata-kata tersebut dengan penuh hikmah kepada ayahnya, ia pun pergi bersama dengan semua jiwa yang beruntung lainnya, ia pergi ke Vaikuntha, sementara ayahnya mempelajari bab kesebelas Srimad Bhagavad-gita dari Sunanda. Dan dengan segera pula kepala desa itu juga dapat pergi ke Vaikuntha."

      

Rsi Panini.

Rsi Panini adalah seorang rsi yang dikenal sebagai penyususun tata bahasa sansekerta yang ditulis dalam Astadhyayi sebagai pedoman pokok dalam mempelajari sansekerta dan bahasa yang dipergunakan dalam Weda dalam berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia di dunia ini. Rsi Panini mulai menyusun tata bahasa sanskerta, pada tahun 700 SM, dan menamakan bahasa yang dipakai dalam weda dengan nama “Daiwi Wak” (bahasa dewata).  
Baru dalam tahun 200SM, bahasa itu mulai dikenal dengan nama sanskerta, setelah Patanjali menulis kitab Bahasa,  
Pada abad ke 11 SM. Nama sanskerta yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh Patanjali yang untuk menyebutkan nama bahasa yang dipakai oleh masyarakat bahasa pergaulan Bharatawarsa.
Kemudian bahasa itupun dibedakan pula dari bahasa pali, bahasa yang dipakai oleh orang-orang Maghadhi didalam penyebaran Agama Budha.

Setelah Rsi Panini berhasil menyusun tata bahasa sanskerta, jejak beliau diikuti oleh Bhagawan Katyayana yang lebih popular dikenal dengan Bhagawan Wararuci pada abad V SM.
 Beliau menulis keterangan-keterangan tambahan atas karya Panini disamping sebagai penulis Sarasamuscaya, yang karyanya telah diterjemahkan di Indonesia kedalam bahasa Jawa Kuno pada waktu jaman keemasan Hindu di Jawa dan dialihkaan bahasanya ke dalam bahasa Indonesia tahun 1970.
Sejarah pertumbuhan bahasa sanskerta setelah lahirnya kitab tata bahasa Panini itu kemudian membantu mempercepat proses pertumbuhannya sehingga dalam pertumbuhan abad ke 8, Sanskerta menjadi bahasa percakapan sehari-hari.

Sabtu, 06 Mei 2023

Lontar Markandeya Purana.

Dalam Lontar Markandeya Purana dijelaskan bahwa harus diketahui bagaimana asal mula tempat ini sehingga terciptalah kahyangan Besakih. Sebelum ada apa apa,  dimana dimana hanya ada pohon kayu di dalam hutan belantara di tempat ini. Sebelum adanya selat Bali,  pulau ini bernama pulau Panjang. Di Jawa  tepatnya di Jawa Timur yaitu tepatnya di gunung Rawung, ada seorang yogi bernama Sang Yogi Markandeya.
Sang Yogi ini berasal dari India yang oleh rakyatnya,  beliau dijuluki Bhatara Giri Rawang.  Kenapa dijuluki Bhatara Giri Rawang? Mungkin karena ketinggian ilmu bhatinnya dan kesucian rohaninya, serta kecakapan dan kebijaksanaan yang dimiliki beliau.



profil singkat resi patanjali.

Dalam naskah-naskah kuno seperti Padma Purana, rudraja Mala, dan  Wrihanandi keswara dijelaskan bahwa PatanJali lahir di Ila warata, salah satu dari sembilan wilayah di Jambu Dwipa atau anak benua jambu. Barata Warsa atau yang sekarang disebut India bersama Pakistan, Bangladesh, butan dan Nepal adalah wilayah terbesar saat itu. Di sekitarnya adalah wilayah-wilayah yang agak kecil termasuk ilawrata. Persisnya di mana? Sekarang tidak diketahui lagi. Dari nama dan sebutan ilaurata disimpulkan bahwa warga di wilayah tersebut adalah pemuja Tuhan dalam wujud feminim sebagai ibu.
           Patanjali diyakini sebagai benih penuh berkah. Banyak versi tentang kelahirannya. Salah satu yang terasa lebih realistis adalah bahwa ia dilahirkan oleh seorang perempuan bernama Sati. Dan nama ayahnya adalah Anggira, salah seorang diantara makhluk-makhluk awal ciptaan sang pencipta atau Brahma yang kedudukannya telah diduduki oleh Adisesa.
              Di wilayah sekitar perbukitan Meru sangat subur. Namun di tengah kesuburan itu, patanjali merasakan kekosongan. Apalagi ketika ia bertemu dengan seorang gadis yang konon tinggal di rongga pohon yang lebat penuh buah. Artinya kendatipun terlahir dalam keluarga kaya raya, Ia tetap merasa hampa. Nama Gadis itu tercatat dalam naskah-naskah kuno sebagai Lolupa. Sutra-sutra penuh makna yang ditemukan oleh Patanjali sesungguhnya merupakan ajarannya dan hadiahnya kepada Lolupa. Patanjali memulai sutranya dengan pentingnya Yoga atau disiplin dalam hidup. Harta, kedudukan, dan kekuasaan, Semuanya itu tidak mampu mengantarkan kitab pada alam Kebahagiaan sejati. Alam itu adalah habitat jiwa, alam kita yang sesungguhnya. Dan hanya dapat dicapai dengan cara meniti jalan ke dalam diri.