Dalam Catatan Harian Sugi Lanus, tertanggal 27 Mei 2022 dijelaskan bahwa Mpu Kuturan secara konsisten disebut berasal dari Maspait/ Maospait, yang mana menurut perkiraan adalah wilayah di sekitar Maospati sekarang, di barat Madiun dengan situs Prasasti Sendang Kamal, yang tak lain petirtan kuno — terletak di Dukuh Sumber Kelurahan Kraton, Kabupaten Magetan. Prasasti-prasasti besar di Sendang Kamal adalah bukti-bukti otentik bahwa wilayah ini adalah salah satu pusat spiritual Jawa dari era Mpu Sindok sampai setidaknya era Dharmawangsa Teguh, cucu Mpu Sindok, dan kemungkinan masih menjadi sentral kepanditaan di era Raja Airlangga. Dari Maspait atau Maospait, Mpu Kuturan pindah ke Bali. Ia menjadi pembawa ajaran parahyangan atau perintis pembuatan Pura atau Parahyangan di Bali.
Dalam lontar-lontar disebutkan bahwa *ajaran yang dibawa oleh Mpu Kuturan adalah pedoman Parahyangan yang dipakai di Jawa.* Jadi ajaran tersebut bukan ajaran baru, tetapi ajaran atau paham yang telah implementasikan di Jawa. Ini yang dibawa ke Bali dan disemaikan di tanah Bali. Lontar yang memuat teks ajaran Mpu Kuturan — atau dalam lontar disebut sebagai Panugrahan Kuturan yang berjudul Indik Nangun Parahyangan yang artinya Perihal Membangun Kawasan Suci dan Pura. Membicarakan warisan pemikiran Mpu Kuturan yang paling pokok. Lontar-lontar Panugrahan Kuturan ini berisi berbagai aturan membangun desa yang berporos pada parahayangan/pusat pemujaan. Desa terlebih dahulu harus punya titik pivot dan Sekala-Niskala, yang mana berupa perempatan jalan, atau titik strategis balai desa dan atau parahyangan (Pura Pagaduhan, Bale Agung, atau Puseh Desa).
Parahyangan sebagai “penyangga” sebuah desa dan kelangsungan dari sebuah tatanan masyarakat secara kohesif menata dirinya, bekerjasama dalam pola gotong-royong, Ayahan desa, kepemilikan, yang secara konsepsi terintegrasi secara teoloigis dalam apa yang kita kenal sebagai konsep dan penataan desa dalam Tri Parahyangan (Kayangan). Parahyangan artinya tatanan Hyang (pura beserta para Hyang yang dimuliakan atau dipuja). Secara lisan, setiap kali percakapan terkait desa pakraman dan penataannya, tidak bisa-tidak, nama Mpu Kuturan disebutkan. Mpu Kuturan adalah tokoh besar dalam sejarah keagamaan di Bali yang jelas berasal dari Jawa, yang konsepsinya bertitik tumpu pada ikatan pakraman dan kahyangan (puseh desa) dan rentangnya sampai subak, tatanan masyarakat Bali menjadi satu kesatuan antar sistem pertanian, sistem religi, dan penata kelolaan sosial Bali Kuno.
Dalam masa penataan Mpu Kuturan di Bali, disebutkan kalender masyarakat Bali ditata dalam kalender ritual yang siklik atau siklusnya datang setiap 210 hari, dan bertemu dengan dalam sistem purnama-tilem. Ini yang disebut sebagai odalan atau karya yang memberikan kesempatan warga untuk bertemu atau berjumpa dalam pengaturan yang rapi dan berdasarkan kalender. Berdasarkan ajaran penataan kawasan Indik Nangun Parahyangan yang dibawa oleh Mpu Kuturan tersebutlah, sampai saat ini, semua Krama wajib menjadi bagian dari desa Pakraman, dan desa Pakraman sebagai penyangga Parahyangan. Dalam tataran praksis, desa yang ada di Bali adalah desa Hindu. Krama atau anggota desa harus tahu dan sadar urusan lingkungan dan tata letak keruangan yang sangat tertib (secara konsepsi dikenal sebagai Tri Mandala) terintegrasi dalam Tri Kahyangan, yang tidak lain adalah penjabaran praksis konsepsi Tri Murti yang merupakan bagian dari implementasi dari teologi Tri Purusa.
4. *Dang Hyang Nirartha (DHN) jelas disebutkan dari Jawa.*
— Kitab-kitab suci yang dibawa dari Jawa oleh DHN menjadi acuan diksa dan kependetaan Siwa di Bali sampai hari ini.
— Keturunan DHN sampai hari ini masih secara teguh melaksanakan sebagian besar ajaran suci yang diwariskannya. Demikian juga kitab-kitab suci yang diwariskan ke Bendesa Mas, dan berbagai satria Bali lainnya, masih menjadi acuan ritual atau keagamaan Hindu di Bali.
— Diksa, puja-mantra, ritus suci para pedanda keturunan DHN tersebut yang disebutkan dibawa dari garis silsilah Bharata Warsa menjadi menarik diteliti.
Dimana sebenarnya asal leluhur DHN?
Silahkan membaca Babad Brahmana Kemenuh atau Dwijendra Tatwa bagian awalnya disebutkan silsilah gotra atau garis silsilah leluhur ke atas dari DHN.
Dalam Dwijendra Tatwa dan Babad Brahmana Kemenuh sangat jelas apa kontribusi agung DHN yang berleluhur Jawa dan Bharata Warsa tersebut. Kitab-kitab dan pedoman kependetaan serta kesastraan peninggalan DHN menjadi acuan keagamaan dan kesastraan Hindu di Bali sampai saat ini. Setidaknya menjadi acuan wajib internal trah atau garis diksa yang merujuk pada Bhatara Lelangit (sebutan hormat di kalangan internal trah keturunan DHN untuk DHN).
Diksa-diksa di Bali, sampai saat ini, yang resmi mengikuti DIKSA atau PODGALA ŚIWA yang embrio atau cikal-bakal teks pedoman dan praktek diksanya adalah WARISAN DANG HYANG NIRARTHA (Bhatara Lelangit).
Pura-pura seantero Bali di masanya kembali direstorasi oleh DHN. Jasa Bhatara Lelangit yang datang dari Jawa ini tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan mengatakan bahwa Hindu Bali murni berasal dari Bali.
5. *Dang Hyang Astapaka* yang disebut sebagai pewaris garis DIKSA BUDDHA, yang berpusat di Budakeling Bali, dengan kitab-kitab warisan yang beredar, dipedomani, dipraktekkan dan dijaga silsilahnya di Budekeling dan griya-griya Buddha di Bali, jelas terkait dengan “dunia luar Bali”. Punya keterkaitan teks dan puja dengan berbagai teks dan khususnya stawa yang terkait dengan Borobudur dan Mendut.
Bukan hanya kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang dipercaya sebagai pedoman penyusunan Borobudur yang terselamatkan di Budakeling, tetapi praktek puja dan DIKSA masih ajeg sampai kini dalam tradisi aguron-guron Buddha Mahayana di Budakeling.
Jika ingin belajar muasal ajaran Buddha di Bali silahkan melawat ke titik-titik ini dan periksa koleksi naskahnya:
— Griya Bodha, Banjar Angkan, Gianyar
— Griya Dalem Setra, Batuan
— Griya Dlod Peken, Sanur (Badung)
— Griya Anyar, Sibang Kaja (Badung)
— Griya Liligundi (Buleleng)
— Griya Datah, Batuan
— Griya Djadi, Tabanan
— Griya Krotok, Boda Kling (Karang Asĕm)
— Griya Subagan (Karang Asĕm)
— Griya Bodha, Sukawati, Gianyar
Sebelum melawat dan membaca warisan naskah-naskah kebuddhaan yang disimpan di sana, sebaiknya tidak berteori atau bersiteguh dan bersitegang dengan asumsi.
6. Jika ada sekelompok masyarakat Bali yang mengatakan *Hindu Bali murni atau ORIGINAL (?) dari Bali*, silahkan kembali membaca lapis-lapis kedatangan pendatang dari Jawa yang hijrah ke Bali. Silahkan membaca kitab-kitab yang dibawa dari Jawa oleh MPU KUTURAN, keluarga atau gotra PARA RSI LELUHUR PASEK GELGEL dkk, yang termasyur sebagai perumus sistem keagamaan di era tersebut. Silahkan kembali membaca berbagai kitab-kitab warisan DANG HYANG NIRARTHA. Termasuk, jika runut dan mendalam mengikuti dan mengamati, harus jujur mengakui bahwa diksa di Bali yang dominan sekarang adalah bersumber dari Dang Hyang Nirartha, dan sebagian dari DANG HYANG ASTAPAKA.
Jika kedatangan para suci dari Jawa tersebut dipungkiri, atau masih beranggapan bahwa agama yang berkembang di Bali adalah atau *murni Bali* (*dharmic original*), pertanyaannya: Mau dikemanakan para Mpu Suci yang membawa ajaran dari Jawa tersebut?
Dalam dalam catatan ini saya :
*MEMPERINGATKAN kepada pihak-pihak yang mencatut nama besar I GUSTI BAGUS SUGRIWA* yang mengatakan bahwa beliau pernah menyatakan bahwa Hindu Bali adalah “murni Bali”. Tidak pernah. Saya kebetulan mengumpulkan karya-karya tulis beliau semenjak tahun 1995, dan belakangan bersama putra dan cucu dari beliau selama beberapa tahun melakukan pembacaan bersama warisan pemikiran beliau. Justru I Gusti Bagus Sugriwa adalah tokoh Hindu Bali yang pakar tiada tanding di masanya prihal kesusastraan Jawa Kuno atau Kawi yang mengatakan bahwa ajaran Hindu Bali tidak terpisahkan dengan teks dan naskah-naskah Jawa Kuno. Semua ajaran yang diturunkan oleh beliau merujuk atau bereferensi pada peninggalan sastra Jawa Kuno. Puluhan buku dan berseri-seri terbitan terjemahan berbagai karya sastra Jawa Kuno adalah mata air dari pemikiran-pemikiran beliau. Dan, sekali lagi, tidak satu atau sekalipun I Gusti Bagus Sugriwa mengatakan bahwa Hindu Bali adalah “murni Bali”.
Di masa lalu, hampir bisa dipastikan tidak ada orang Bali atau non Bali yang berani cawe-cawe menafsir Hindu Bali tanpa membaca dan punya pemahaman kuat pada tatwa dan sastra Kawi/Jawa Kuno dan Sansekerta yang sebagian besar dirumuskan di Jawa, terselamatkan di Bali. Apa yang dirumuskan di Jawa tersebut, kemudian dipertahankan dan diadaptasi, serta dikembangkan di Bali.
Harus jujur diakui — terutama kalau paham stuti dan stawa yang dipakai dalam kepanditaan di Bali — kandungan ajaran dan pedoman puja Hindu Bali syarat dan “tebal” bermuatan teks Weda dan Upanisad. Terutama Purana yang ditulis di wilayah Jawa dengan pengantar bahasa Jawa Kuno atau Kawi. Yang mana kitab-kitab tersebut punya hubungan intertekstualitas yang mendalam dengan teks-teks dari lingkar peradabanan kuno yang disebut sebagai peradaban Bharata Warsa.
Mantap bli lanus
Pencerahannya
👍1 T