Sabtu, 13 April 2024

Cinta Jerum Dengan Kundangdeya dan Limantara.

Dalam cerita Jerum, kundengdeya digambarkan sebagai sosok pemuda yang sangat tampan. Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa ada seorang gadis yang sangat tertarik pada Kundangdeya. Tapi Kundangdeya belum tahu wajahnya Jerum. Pada suatu hari ibunya Kundangdeya ingin menjodohkan Kundangdeya dengan Jerum. Tapi Kundangdeya menolak. Dia mengira Jerum itu tidak cantik. Karena Kundangdeya menolak usulan ibunya, akhirnya Jerum dikawinkan dengan Limantara. Padahal Jerum tidak cinta dengan Limantara. Jerum hanya cinta pada Kundangdeya yang sangat tampan. 

Mendengar berita perkawinan antara Jerum dengan Limantara, Kundangdeya akhirnya menghadiri pesta perkawinan mereka. Pada saat melihat wajah Jerum, akhirnya Kundangdeya baru menyadari bahwa Jerum sangat cantik. Kundangdeya sangat menyesal karena telah menolak usulan ibunya. Sementara Jerum sangat terpesona dengan kehadiran Kundangdeya, pemuda yang sangat diidamkan. Akhirnya, Kundangdeya dan Jerum saling bertatap mata.

Setelah acara perkawinan selesai, Jerum minta dibelikan emas pada suaminya, Limantara. Dan Limantara menyanggupinya. Pada saat Limantara pergi, disitulah Kundangdeya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Jerum. Ternyata Jerum berselingkuh dengan Kundangdeya. Bahkan mereka mengucapkan janji sehidup semati. Dalam cerita tersebut, diceritakan bahwa Jerum dan Kundangdeya sempat melakukan hubungan badan. Kundangdeya menjilat bagian payudara Jerum sehingga bagian payudaranya merah merah. Karena keasyikan bercinta, sampai tak terasa waktu sudah pagi. Akhirnya Kundangdeya pergi dari tempatnya Jerum.

Keesokan harinya, Limantara datang membawa emas untuk Jerum. Pada suatu malam, ketika mau bercinta, Limantara terkejut melihat bagian payudara Jerum merah merah. Limantara bertanya, kenapa payudaranya merah merah? Jerum menjawab bahwa semalam dia diperkosa oleh seorang pemuda tidak dikenal.keesokan paginya, Limantara bertanya pada pengawalnya yang bernama Panamun. Panamun menjelaskan bahwa semalam dia melihat Kundangdeya masuk ke kamar Jerum. Dengan darah mendidih, akhirnya Limantara pergi ke rumah Kundangdeya lalu Limantara menghunuskan kerisnya ke dada Kundangdeya hingga tewas. Mendengar berita Kundangdeya tewas  Jerum juga bunuh diri karena dia pernah berjanji sehidup semati dengan Kundangdeya.

Beberapa tahun kemudian, Limantara meninggal. Diceritakan rohnya bertemu dengan rohnya Kundangdeya. Sampai di alam baka pun Limantara masih dendam dengan Kundangdeya.

(Kisah ini ditulis berdasarkan penuturan  Gede Artawan)

Jumat, 26 Januari 2024

Kisah Prabu Janantaka.

Dikisahkan raja pradipa yakni prabu janantaka mendapatkan wabah dari Dewa Siwa berupa penyakit lepra. Tidak hanya sang raja, seluruh rakyatnya juga menderita penyakit tersebut. Penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan oleh dokter maupun Tabib, sehinga Patih Matuha mendatangi alam sorga untuk minta bantuan kepada dewa Brahma. Dewa Brahma pun memberi sebuah Lekesan untuk prabu Janantaka agar dimakan habis. Dewa Brahma pun berpesan kepada Patih Matuha agar Prabu Janantaka beserta seluruh rakyatnya tinggal di hutan yang ada sungainya. 

Setelah tinggal di hutan selama satu bulan tujuh hari, Prabu Janantaka beserta Patih Matuha dan seluruh pengikutnya berubah menjadi pohon kayu. Semenjak saat itu, kayu di fungsikan sebagai patung atau arca, bangunan suci, dan bangunan untuk perumahan. Ada beberapa jenis dan klasifikasi kayu yang bisa di jadikan bangunan, diantaranya kayu Prabu dan kayu Patih. Kayu prabu yang merupakan penjelmaan dari Prabu Janantaka berfungsi sebagai kayu bangunan tempat suci yang bernama kayu Tigang Sanak diantaranya kayu Gempinis, kayu Bayur dan kayu Bentawas.

Jika tidak ada tiga jenis kayu tersebut, bisa digantikan dengan kayu Cempaka, kayu Majegau, Cendana, kamper, dan kayu Boni sari. Sementara kayu Patih yang merupakan penjelmaan dari Patih Matuha khusus untuk bangunan rumah diantaranya kayu nangka, kayu Jati, dan kayu Sentul. Jika tidak ada kayu Prabu bisa mengunakan kayu Patih dengan syarat bangunan suci maupun bangunan rumah menggunakan jejaton dengan memakai sedikit kayu prabu, hal tersebut tertuang dalam lontar Janantaka. Janantaka berasal dari dua kalimat yakni Jana yang artinya manusia dan Antaka diartikan kematian. Jadi kayu yang tumbuh di bumi ini merupakan penjelmaan dari manusia. Dengan demikian kayu sangat penting dilindungi dan dipelihara.

Penulis: Toet Satya.

Minggu, 14 Januari 2024

Lubdaka.

Siwa Ratri atau malam siwa tidak terlepas dari cerita Lubdaka, sebuah kisah yang dimuat dalam Kitab Siwaratrikalpa yang diperkirakan ditulis pada abad ke-15 oleh Mpu Tanakung. Kemungkinan sumber kisah ini diambil dari itihasa Mahabharata, yaitu dalam Bhisma Parva. Dikisahkan, Bhisma yang gugur di hari ke 10 perang Bharatayudha, sebenarnya tidak benar-benar gugur. Ia yang sudah memperoleh anugerah untuk dapat memilih hari kematiannya, memutuskan untuk menunggu perang besar tersebut usai. Hingga hari ke 18, Bharatayuddha benar-benar usai dengan kematian Duryodana. Tapi jasad-jasad pasca perang masih berserakan. Padang Kuruksetra masih basah oleh genangan darah jutaan manusia dari kedua belah pihak. Kakek Bhisma yang berbaring di atas ratusan anak panah yang menembus sekujur tubuhnya, menunggu matahari bergerak ke utara, waktu yang diyakini baik untuk menyambut kematian. Saat menunggu itulah, Kakek Bhisma menyampaikan wejangannya tentang Dharma kepada para Pandawa, Yudistira khususnya, yang menjadi pemenang perang Bharatayudha, sehingga otomatis akan menjadi Raja Agung Hastinapura. Salah satu cerita yang disampaikan Kakek Bhisma adalah tentang Raja Citrabhanu. 

Tersebutlah kisah, dimana pada kehidupan sebelumnya, Raja Citrabhanu adalah seorang pemburu. Dalam bahasa Sanskerta, pemburu disebut “Lubdhaka”. Berasal dari akar kata  “lubh”, lubdhaka juga berarti rakus atau tamak. Cerita selanjutnya adalah seperti yang sudah umum kita ketahui. Lubdhaka yang kini diceritakan sebagai nama seorang pemburu, suatu hari pergi berburu ke hutan. Tapi hari itu ia sial. Sebelum mendapatkan satu pun buruan, tiba tiba hari telah gelap. Padahal ia berada di tengah hutan belantara. Bila saat siang ia memburu, malam ia adalah buruan bagi banyak binatang buas. Malam itu ia memutuskan tidur diatas pohon, untuk memperkecil kemungkinan ia dimangsa binatang yang semestinya menjadi target buruannya. 

Lubdhaka menemukan sebuah telaga kecil. Di tepiannya ada pohon besar. Lubdhaka kemudian menaiki pohon itu, dan bermalam di sana. Semakin larut, suara binatang binatang buas di hutan menakutkan hati. Diliputi perasaan ngeri, Lubdhaka berusaha tetap terjaga semalaman. Agar tidak mengantuk, ia memetik satu demi satu daun pohon dimana ia duduk, dan dilepaskannya ke bawah sambil menyebut nama Siwa, Tuhan Penguasa Maut, terus menerus sampai matahari memerah di ufuk timur. Tanda pagi telah tiba. Lubdhaka selamat, turun dari pohon lalu pulang. Dalam perjalanan pulang ia masih sempat memanah seekor kijang. Ia menjual kijang buruannya itu di pasar, sebagian uangnya lalu dibelikan makanan. Tapi saat akan makan, ia melihat seorang pengemis yang kelaparan. Entah mengapa, ia yang biasanya tak peduli orang lain, kini hatinya terketuk. Lubdhaka memberi makanan yang ia beli itu kepada sang pengemis. Ia tetap pulang dalam keadaan lapar.

Rupanya, umur Lubdhaka tidak panjang. Utusan Bhatara Yama menjemputnya dan siap menceburkannya ke neraka. Dosa-dosa atas ketamakannya sungguh tak terampuni. Tapi sebelum sampai ke gerbang neraka, utusan Dewa Siwa menjemputnya. Ia tak boleh dimasukkan ke neraka, karena ia telah mendapat anugerah Dewa Siwa. Ternyata saat ia melewatkan malam di atas pohon di tepi telaga, kebetulan adalah malam spesial bagi Siwa. Daun yang dipetiknya adalah daun pohon bilwa kesukaan Dewa Siwa. Kebetulan pula, tepat di bawah pohon tempat ia bermalam, ada sebuah lingga Siwa. Daun-daun yang jatuh di atasnya, dan nama Siwa yang disebutnya berulang-ulang malam itu menjadi persembahan spesial untuk Siwa. Lubdhaka juga “bersedekah” keesokan harinya, melayani “Siwa” yang ada di dalam tubuh si pengemis. 

Demikianlah, setiap perbuatan akan mendapatkan pahala. Baik dilakukan secara tidak sadar, terlebih bila dalam keadaan sadar. Tetapi terkadang, perbuatan dalam keadaan sadar tersandera oleh hasrat akan hasil, dikendalikan oleh tujuan, sehingga nilai kemurniannya berkurang. Namun apapun, hasilnya tetap ada. Dan sorga sebagai ganjaran perbuatan baik, bukanlah tujuan. Dualitas senang  dan sedih pun harus dilampaui menuju keabadian. Dimana disana tak ada lagi suka dan duka. Hening dalam penyatuan denganNya.

Lubdhaka bukanlah orang lain. Ia adalah simbol manusia yang tidak pernah puas, dan terus mencari kebahagiaan di luar diri. Kita semua adalah Lubdhaka, pemburu kenikmatan, kesenangan, termasuk surga. Kita pikir kita perkasa, sampai pada suatu ketika kita diingatkan tentang kelemahan, ketakutan dan kematian. Telaga di tengah hutan adalah jiwa spiritual kita. Di tepiannya, ada simbol Tuhan. Tanpa sadar, didorong oleh kegelisahan dan keputusasaan, kita mampir di sana. Ketika gelap berlalu, kita kembali pada sifat alami kita. Bekerja, kadang berbuat baik, dan saat kita memperoleh yang kita inginkan, kita kembali lupa dan menjadi Lubdhaka lagi. Demikian kita hidup dalam siklus sukha dan dukha. Ingat dan lupa. Sedih dan gembira. Sampai Dewa Yama memanggil. Dalam bahasa Sanskerta, Siwa berarti kemuliaan, keagungan. Siwa, karena sifatnya sebagai pelebur, adalah daya transformasi. Ia adalah yang bisa membebaskan kita dari siklus suka dan duka itu. Dengan Anugerahnya. 

Apakah itu berarti Malam Siwa dapat menghapus dosa ? Bisa ya, bisa juga tidak. Malam Siwa adalah malam dimana kita, Sang Lubdhaka ini, menepi dari kerakusan sehari-hari. memanjat pohon kesadaran, merenung, mendekatkan diri dan menyebut namaNya dalam kekhusukan bhakti. Apakah itu akan menghapus dosa atau tidak, itu bukan wilayah kita. Itu adalah anugerah yang hanya milikNya. Kita hanya Lubdhaka yang menyucikan hati, dengan tekad besok berubah untuk lebih peduli dan siap berbagi. Dosa-dosa yang telah kita perbuat adalah ibarat tinta hitam yang terlanjur tertuang. Ia akan tetap ada disana. Kita hanya dapat berusaha menuang air sebanyak-banyaknya, agar tinta hitam itu semakin larut dan semakin tidak nampak pengaruhnya. Banyaknya dosa, ketamakan, hal-hal buruk yang pernah kita lakukan, adalah equivalen dengan volume tinta hitam yang terlanjur kita tumpahkan. Sementara besarnya usaha, banyaknya dan kualitas hal-hal baik yang kita lakukan, adalah equivalen dengan volume air yang kita tuangkan untuk melarutkan tinta itu. Kita, dalam kesadaran akan Dharma, kebajikan, dengan penyesalan dan harapan pengampunan, hanya bisa berusaha sebaik-baiknya, dengan bhakti sekhusuk-khusuknya. Agar air yang kita tuangkan semakin banyak dan semakin bersih. Tapi siapa tahu Dewa Siwa berkenan menurunkan hujan hingga tinta itu hanyut ke samudra luas untuk kemudian menjadi tak berbekas ?