Di tengah kerajaan Kundadwipa yang gemerlap dan makmur, Dewi Sintakasih, permaisuri Raja Kulagiri, merasakan kegelisahan yang mendalam. Raja Kulagiri, suaminya, telah lama pergi bertapa ke Gunung Semeru, meninggalkan dirinya yang sedang mengandung anak pertama mereka. Selama masa kehamilannya, Dewi Sintakasih terus berdoa, berharap agar suaminya segera kembali, namun harapan itu tidak kunjung menjadi kenyataan. Keadaan itu membuatnya semakin terpuruk, terutama karena perasaan kesepian dan cemas menyelimuti hatinya.
Akhirnya, dengan tekad yang kuat, Dewi Sintakasih memutuskan untuk menyusul suaminya yang berada di puncak Semeru, meskipun perjalanan itu sangat berbahaya. Dalam perjalanan yang melelahkan, tiba-tiba rasa sakit datang menyerang, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melahirkan. Tanpa tempat yang layak, ia melahirkan di atas batu besar yang ada di tengah jalan. Saat bayi itu lahir, sesuatu yang luar biasa terjadi: batu tempatnya jatuh terbelah oleh kekuatan bayi yang baru saja lahir. Nama bayi tersebut diberikan Watugunung, yang berarti "batu besar", sebagai simbol dari kejadian tersebut.
Brahma, sang Dewa pencipta, menyaksikan kejadian itu dan memprediksi bahwa Watugunung kelak akan menjadi sosok yang sangat sakti dan tak akan bisa dikalahkan oleh siapapun, baik Dewa, Detya, Denawa, Asura, atau manusia sekalipun. Namun, ada satu sosok yang mampu mengalahkannya, yaitu Dewa Wisnu, yang akan menjelma menjadi kura-kura untuk melawan Watugunung.
Watugunung tumbuh dengan cepat menjadi sosok yang sangat kuat. Namun, kekuatannya disertai dengan sifat rakus yang kian hari semakin berkembang. Hingga suatu ketika, ibunya, Dewi Sintakasih, tidak bisa menahan perilaku buruk Watugunung. Dalam satu kejadian, Dewi Sintakasih merasa marah dan, dengan tangan yang penuh rasa kecewa, memukul kepala Watugunung menggunakan sendok nasi. Akibatnya, Watugunung terluka, dan darah mengalir dari kepalanya. Merasa dipermalukan, Watugunung pun melampiaskan kemarahannya dengan meninggalkan kerajaan. Ia bertekad untuk menjadi perampok, menaklukkan segala kerajaan yang ditemuinya.
Seiring berjalannya waktu, Watugunung berhasil menaklukkan semua kerajaan yang ada, termasuk kerajaan Kundadwipa tempat ia dilahirkan. Bahkan, dengan kejutan yang tak terduga, ia menikahi Dewi Sintakasih, ibunya sendiri. Namun, hubungan tersebut berbuah penyesalan. Dewi Sintakasih, saat melihat luka di kepala Watugunung, merasa sangat berdosa atas perbuatannya yang dulu. Ia kemudian memohon agar Watugunung menjadikan Dewi Sri Laksmi, dewi kemakmuran, sebagai madu.
Tindakan Dewi Sintakasih ini membuat Dewa Wisnu marah besar. Merasa bahwa sudah saatnya untuk menegakkan keadilan, Dewa Wisnu menantang Watugunung untuk berperang. Watugunung yang sangat percaya diri dengan kekuatannya menerima tantangan itu, dan sebuah pertempuran hebat pun dimulai. Dewa Wisnu, dalam bentuk wujud kura-kura, berhadapan langsung dengan Watugunung. Pertempuran yang panjang dan sengit itu berakhir dengan kekalahan Watugunung. Kekuatan luar biasa dari Dewa Wisnu dalam wujud kura-kura berhasil mengalahkan Watugunung, yang sebelumnya tak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Kematian Watugunung disebut sebagai Hari Watugunung Runtuh, sebuah peristiwa yang menandakan bahwa kekuatan yang besar pun bisa hancur oleh kehendak Tuhan.
Namun, kehidupan tidak berhenti di situ. Pada hari Senin, tubuh Watugunung yang telah tak bernyawa dikenal dengan sebutan Watang. Itulah hari yang kemudian dikenal sebagai Soma Candung Watang. Pada hari Selasa, Dewa Wisnu, yang telah mengalahkan Watugunung, menyeret tubuhnya sebagai bagian dari proses takdir yang harus dijalani. Kejadian ini dikenal dengan nama Anggara Paid-paidan. Namun, tidak lama setelah itu, Bhagawan Boda memohon kepada Dewa Wisnu agar Watugunung diberi kesempatan untuk hidup kembali. Permohonan ini terkabul pada hari Rabu, yang dikenal sebagai Budha Urip, di mana Watugunung kembali ke kehidupan.
Pada hari jumat, Watugunung yang telah diberi kesempatan untuk hidup kembali, mulai merenung dan menyadari kesalahan-kesalahannya yang telah diperbuat. Dengan penuh penyesalan, ia memohon pengampunan dari Tuhan dan semua pihak yang telah ia sakiti. Hari jumat ini dikenal dengan nama Sukra Pangredanan, sebuah hari yang penuh dengan permohonan maaf dan pengampunan.
Puncak dari rangkaian perjalanan Watugunung ini adalah hari suci Saraswati, sebuah hari yang dianggap sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Pada hari tersebut, seluruh umat manusia diharapkan untuk merenung dan memuja Tuhan, memohon anugerah ilmu pengetahuan, dan melepaskan segala sifat buruk yang ada dalam diri. Dengan ini, perjalanan panjang Watugunung menjadi sebuah pelajaran tentang pengampunan, kebijaksanaan, dan penebusan, yang menyentuh setiap orang yang merenungkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar