Minggu, 05 Januari 2025

"Kisah Bhatara Kala: Dari Nafsu Menjadi Jati Diri"

Dalam lontar Kala Tatwa, diceritakan bahwa Bhatara Siwa memiliki seorang anak yang sangat menakutkan, bernama Bhatara Kala. Kisah ini dimulai ketika suatu hari Bhatara Siwa dan Dewi Uma, istrinya yang penuh kasih, tengah bercengkerama dengan penuh kedamaian di tepi lautan yang luas. Laut yang tenang, dihiasi dengan sinar matahari yang memancar, menciptakan suasana yang damai bagi pasangan agung itu. Mereka menikmati keindahan alam, berbicara lembut, dan tenggelam dalam ketenangan yang seolah tak ada habisnya.

Namun, dalam keheningan yang indah itu, tiba-tiba gelora nafsu Bhatara Siwa bangkit tanpa terkendali. Tanpa ragu, ia mengungkapkan hasratnya kepada Dewi Uma. “Aku ingin bersatu denganmu, Uma, melampaui batas-batas yang ada,” ujarnya dengan penuh gairah. Dewi Uma, meskipun sangat mencintai suaminya, merasa bahwa perilaku seperti itu tidak pantas bagi seorang dewa, terutama di hadapan dunia yang begitu penuh harmoni. Ia menolak permintaan Siwa dengan lembut, menyatakan bahwa para dewa harus menjaga kesucian perilaku mereka.

Namun, Bhatara Siwa, yang saat itu tengah dilanda nafsu yang membara, tidak dapat menerima penolakan itu. “Tidak ada yang dapat menahan nafsu yang bergelora seperti ini, Uma. Nafsu ini datang dari indriya yang bertemu dengan wisaya, dan tak ada kekuatan yang bisa menghentikannya begitu saja,” tegas Siwa. Dan pada saat itulah, karena ketidakmampuannya menahan hasrat, Kama, manifestasi dari nafsu Bhatara Siwa, keluar dengan sendirinya dan jatuh ke dalam laut yang biru.

Melihat kejadian itu, Bhatara Siwa bersama Dewi Uma merasa bimbang. Mereka pun kembali ke Siwaloka, tempat tinggal para dewa. Sementara itu, Brahma dan Wisnu, yang mengamati kejadian luar biasa itu, mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Laut yang sebelumnya tenang kini bergelora, seolah ada kekuatan besar yang tengah bergerak di dalamnya. Keduanya pun memutuskan untuk melakukan yoga, untuk memahami apa yang terjadi di balik gejolak laut yang semakin mengamuk. Berkat kesungguhan yoga mereka, Kama, yang terjatuh ke dalam laut, akhirnya berkumpul kembali dan berubah menjadi sosok yang sangat besar dan menakutkan, yang dikenal sebagai Bhatara Kala.

Bhatara Kala, yang bentuknya raksasa dan penuh kekuatan, mengeluarkan suara yang sangat keras hingga mengguncang dunia. Suara teramat dahsyat itu menyebabkan seluruh dunia bergetar, bahkan Sorgaloka—tempat tinggal para dewa—goyang oleh kekuatannya. Mendengar peristiwa ini, Dewata Nawa Sanga, para penguasa penjuru langit, melaporkan kepada Bhatara Siwa bahwa Sorgaloka kini terancam oleh kehadiran raksasa besar yang mengamuk. Siwa pun turun tangan, menghadapi Bhatara Kala yang begitu mengerikan.

Setibanya di hadapan Bhatara Kala, Siwa berbicara dengan suara yang penuh wibawa. Percakapan antara Siwa dan Bhatara Kala dimulai dengan pertanyaan yang penuh makna. Bhatara Kala, yang kini sudah menjadi sosok besar dan kuat, menanyakan asal-usulnya. "Siapakah aku? Dari mana aku berasal?" tanyanya dengan suara mengguntur.

Bhatara Siwa yang bijaksana menjawab dengan tegas, “Jika kau ingin mengetahui asal usulmu, Kala, carilah jawabannya dengan cara yang bijak. Potonglah taringmu di bagian kanan, maka kau akan mengetahui siapa dirimu sebenarnya.”

Dengan sedikit keraguan, Bhatara Kala mengikuti petunjuk Siwa. Ia memotong taringnya di bagian kanan, dan seketika ia mendapatkan wahyu yang luar biasa. Dalam sekejap, dirinya menyadari bahwa Bhatara Siwa adalah ayahnya, dan Dewi Uma adalah ibunya. Realisasi ini mengguncang jiwa Bhatara Kala, yang kini mengerti asal-usulnya yang sebenarnya.

Cerita ini, yang berasal dari lontar Kala Tatwa, memiliki makna yang mendalam tentang kehidupan, kekuatan, dan pemahaman diri. Kisah ini sering kali dipentaskan dalam upacara besar seperti Sapuh Leger atau ruwatan di Bali, terutama bagi mereka yang lahir pada Wuku Wayang, sebagai simbol pembebasan dan pencerahan. Dalam upacara tersebut, para peserta berusaha melepaskan diri dari pengaruh buruk dan mengarah pada pemurnian jiwa, sejalan dengan perjalanan Bhatara Kala yang akhirnya menemukan jati dirinya.

Pewayangan Bali, yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan filosofi kehidupan, menjadikan kisah ini sebagai pelajaran berharga bahwa dalam setiap diri manusia ada potensi kekuatan yang besar, namun juga ada tantangan untuk mengendalikannya dengan kebijaksanaan dan pengertian yang dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar