Pada zaman dahulu, di sebuah kerajaan yang terletak di bawah naungan langit biru dan tanah subur, terdapat seorang raja yang bijaksana dan berwibawa bernama Prabu Janantaka. Raja ini memimpin dengan adil dan bijaksana, serta dicintai oleh rakyatnya. Namun, kebahagiaan yang selama ini dirasakan oleh Prabu Janantaka dan seluruh rakyatnya tiba-tiba terguncang oleh datangnya sebuah bencana yang tak terduga. Sebuah penyakit yang sangat mengerikan, yang disebut dengan lepra, melanda seluruh penjuru kerajaan. Penyakit ini tidak hanya menyerang sang raja, tetapi juga menimpa seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu. Setiap orang yang terserang penyakit ini mulai menunjukkan gejala-gejala yang sangat mengerikan, seperti kulit yang melepuh, tubuh yang semakin lemah, dan wajah yang penuh dengan luka-luka. Tak ada satu pun orang yang selamat dari penderitaan ini.
Para dokter dan tabib dari berbagai penjuru kerajaan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyembuhkan penyakit yang mengerikan ini, namun segala usaha mereka sia-sia belaka. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut, dan penderitaan pun semakin meluas. Dalam keputusasaan, Patih Matuha, yang merupakan seorang patih yang setia dan bijaksana, memutuskan untuk mencari pertolongan dari dewa-dewa. Ia lalu memutuskan untuk melakukan perjalanan yang sangat jauh, melintasi dunia yang tak terlihat oleh manusia, menuju alam sorga untuk memohon bantuan kepada Dewa Brahma, sang pencipta alam semesta.
Sesampainya di alam sorga, Patih Matuha memohon kepada Dewa Brahma untuk memberikan bantuan demi menyelamatkan kerajaan dan rakyatnya yang sedang dilanda musibah. Dewa Brahma yang arif dan penuh kasih sayang, mendengarkan doa Patih Matuha dengan penuh perhatian. Setelah sejenak berpikir, Dewa Brahma memberikan sebuah petunjuk yang sangat berharga. Ia memberikan sebuah Lekesan, yaitu sebuah ramuan atau makanan sakral yang hanya dapat dimakan oleh Prabu Janantaka. Lekesan ini, menurut Dewa Brahma, akan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit yang sedang menggerogoti tubuh sang raja dan rakyatnya. Namun, Dewa Brahma juga memberikan petunjuk penting lainnya, yaitu agar Prabu Janantaka beserta seluruh rakyatnya harus tinggal di sebuah hutan yang terdapat sebuah sungai di dalamnya. Hutan tersebut merupakan tempat yang diberkahi dan dapat membantu menyembuhkan mereka dari penyakit yang diderita. Patih Matuha menerima petunjuk itu dengan penuh rasa syukur dan segera kembali ke kerajaan untuk menyampaikan pesan tersebut kepada sang raja.
Prabu Janantaka, setelah mendengar petunjuk tersebut, dengan berat hati memutuskan untuk mengikuti anjuran Dewa Brahma. Beliau bersama Patih Matuha serta seluruh rakyatnya berangkat menuju hutan yang dimaksud, meninggalkan kerajaan mereka yang telah lama mereka cintai. Di hutan itu, mereka tinggal selama satu bulan tujuh hari, menjalani kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan istana. Mereka mengonsumsi Lekesan yang diberikan oleh Dewa Brahma dengan penuh harapan agar penyakit yang mereka derita bisa sembuh. Namun, sesuatu yang luar biasa terjadi. Setelah mereka tinggal di hutan selama waktu yang ditentukan, tubuh mereka mulai mengalami perubahan yang tak terduga. Mereka bukan hanya sembuh dari penyakit lepra, tetapi mereka juga berubah menjadi pohon-pohon yang kuat dan kokoh. Proses transformasi ini berlangsung begitu cepat, dan dalam sekejap, Prabu Janantaka, Patih Matuha, serta seluruh rakyatnya berubah menjadi pohon-pohon kayu yang berdiri tegak di hutan tersebut.
Semenjak peristiwa itu, kayu-kayu yang tumbuh di hutan tersebut memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat. Kayu-kayu tersebut bukan hanya sekedar bahan bangunan, tetapi juga dianggap sebagai penjelmaan dari manusia yang telah mengalami proses perubahan dan metamorfosis yang luar biasa. Kayu-kayu yang berasal dari tubuh Prabu Janantaka, yang kini telah menjadi pohon-pohon besar dan kuat, dikenal dengan nama kayu Prabu. Kayu ini sangat dihargai dan digunakan untuk membangun tempat-tempat suci, seperti pura dan tempat ibadah lainnya. Ada tiga jenis kayu yang termasuk dalam kategori kayu Prabu, yaitu kayu Gempinis, kayu Bayur, dan kayu Bentawas. Jika ketiga jenis kayu tersebut tidak dapat ditemukan, maka kayu-kayu lain yang memiliki nilai sakral dan keberkahan seperti kayu Cempaka, kayu Majegau, kayu Cendana, kayu Kamper, dan kayu Boni Sari dapat digunakan sebagai pengganti.
Selain kayu Prabu, ada pula kayu yang dikenal sebagai kayu Patih, yang berasal dari tubuh Patih Matuha. Kayu ini digunakan khusus untuk membangun rumah-rumah dan bangunan-bangunan lain yang lebih sederhana. Beberapa jenis kayu yang termasuk dalam kategori kayu Patih antara lain kayu Nangka, kayu Jati, dan kayu Sentul. Namun, ada satu aturan penting yang harus dipatuhi, yaitu jika kayu Prabu tidak tersedia, maka kayu Patih boleh digunakan dengan syarat bahwa dalam pembangunan bangunan suci ataupun rumah, harus ada sedikit bagian dari kayu Prabu yang digunakan. Hal ini tertulis dalam lontar Janantaka, yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat yang menganggap bahwa kayu merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Menurut lontar Janantaka, kata "Janantaka" sendiri berasal dari dua kata, yaitu "Jana" yang berarti manusia, dan "Antaka" yang berarti kematian. Ini mencerminkan keyakinan bahwa kayu yang tumbuh di bumi ini adalah penjelmaan dari manusia, yang melalui proses hidup, mati, dan berubah menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupan lainnya. Kayu bukan hanya sekedar sumber daya alam, tetapi juga memiliki makna yang mendalam sebagai bagian dari siklus kehidupan. Oleh karena itu, sangat penting untuk melindungi dan memelihara kayu, karena ia merupakan simbol dari manusia itu sendiri. Dengan demikian, kayu tidak hanya dianggap sebagai bahan bangunan atau sumber daya alam, tetapi juga sebagai sebuah penghormatan terhadap kehidupan dan segala yang ada di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar