Di medan perang yang panas antara Sri Rama dan Rahwana, pertarungan sengit berlangsung dengan saling serang. Salah satu momen yang sangat dramatis adalah ketika Indrajit, putra Rahwana, menyerang Sri Rama dan Lakshmana dengan senjata pamungkasnya, Nagapasa. Kedua bersaudara tersebut terjerat oleh ular raksasa yang dihasilkan dari senjata tersebut, membuat mereka pingsan tak berdaya. Semua harapan tampak sirna, hingga akhirnya Garuda, si burung raksasa yang setia, terpanggil untuk menyelamatkan mereka.
Dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa, Garuda tiba di medan pertempuran, mengusir ular-ular tersebut, dan membebaskan Sri Rama dan Lakshmana. Mereka pun sadar kembali, berkat pertolongan sang Garuda. Setelah tugasnya selesai, Garuda terbang kembali menuju Waikuntha, rumah Tuhan Sri Vishnu, tempat ia berasal. Namun, selama penerbangan itu, berbagai pertanyaan melintas di benaknya, mengguncang keyakinannya yang sebelumnya teguh.
“Apakah benar Sri Rama adalah inkarnasi dari Sri Vishnu?” pikir Garuda dalam hati. "Kenapa Dia yang seharusnya mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri justru harus bergantung pada bantuanku? Bukankah aku yang harus menyelamatkan-Nya, bukan sebaliknya? Jika aku tidak datang untuk menyelamatkan mereka, apakah mereka akan mati? Bagaimana mungkin, sebagai seorang penyelamat, Dia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri?"
Keraguan semakin menguasai pikiran Garuda. Pikiran-pikiran tersebut terus menggiringnya pada kesimpulan bahwa mungkin saja dia lebih kuat dari Sri Rama. Tanpa dirinya, Sri Rama dan Lakshmana bisa saja tewas dalam perang ini. Dalam egonya, Garuda merasa cemas, bahkan merasa lebih unggul.
Di tengah pergulatan batin itu, Garuda bertemu dengan Narada Muni, seorang bijak yang dikenal dengan kebijaksanaannya yang luar biasa. Garuda, yang tak sabar dengan kebingungannya, mengajukan pertanyaan yang membebani pikirannya kepada Narada. "Apakah Sri Rama benar-benar Sri Vishnu? Kenapa Dia tidak bisa menyelamatkan diri-Nya sendiri?"
Narada Muni, yang mendengar pertanyaan itu dengan tenang, hanya tersenyum dan menjawab, "Saya tidak tahu jawaban untuk pertanyaan itu. Waktuku habis untuk melakukan Hari-japa dan menyibukkan diri dengan tugas-tugas spiritual lainnya. Jadi, saya tidak bisa memberikan jawaban yang pasti." Dengan itu, Narada pergi, meninggalkan Garuda yang semakin bingung.
Keraguan yang menggerogoti Garuda tak kunjung reda. Dengan tekad yang lebih besar, ia kemudian memutuskan untuk menemui Dewa Brahma. Di hadapan Brahma, Garuda bertanya dengan penuh keyakinan, "Mengapa Sri Rama yang seharusnya adalah penyelamat tidak bisa menyelamatkan diri sendiri? Bukankah itu membingungkan?"
Dewa Brahma, yang sibuk mempelajari Veda, mengangguk pelan dan berkata, "Maafkan aku, Garuda. Aku terlalu sibuk dengan pemahaman Veda dan tugasku sebagai pencipta alam semesta. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang memadai untuk pertanyaanmu." Brahma pun mengalihkan perhatian Garuda dengan bijaksana, namun Garuda tetap merasa tak puas dan memutuskan untuk mencari jawaban di tempat lain.
Akhirnya, Garuda memutuskan untuk mengunjungi Kailasa, tempat kediaman Dewa Shiva. Di tengah perjalanan menuju Kailasa, Garuda bertemu dengan Dewa Shiva. Dengan penuh semangat, Garuda mengajukan pertanyaan yang sama, "Kenapa Sri Rama, yang seharusnya adalah inkarnasi Tuhan, tidak bisa menyelamatkan diri sendiri?"
Dewa Shiva, yang tenang dan penuh kasih, menjawab dengan sabar, "Saya tidak tahu jawabannya. Namun, jika kamu bersikeras ingin mengetahui lebih lanjut, pergilah ke puncak bukit di Kailasa. Di sana tinggal burung gagak yang mungkin dapat memberikan jawaban. Tetapi, jika kamu tetap mendesak, aku harus mengatakan, dia mungkin akan memberimu pelajaran yang lebih dari sekadar jawaban."
Garuda merasa bingung, namun akhirnya memutuskan untuk mengikuti petunjuk Dewa Shiva dan mencari burung gagak yang dimaksud. Di puncak bukit Kailasa, Garuda bertemu dengan burung gagak tua yang bijaksana bernama Kakabusundi. Garuda, yang merasa penuh keraguan, bertanya langsung kepada Kakabusundi, "Apakah Sri Rama benar-benar Sri Vishnu? Apakah benar bahwa Dia adalah penyelamat sejati? Aku merasa ragu, dan aku ingin jawaban."
Kakabusundi, dengan penuh kehormatan, menyambut Garuda dan menjawab, "Seperti engkau, Garuda, saya juga pernah memiliki keraguan yang sama tentang Sri Rama. Suatu hari, saya memutuskan untuk pergi ke Ayodhya dan melihat sendiri. Di sana, saya melihat seorang bayi merangkak, tampak seperti bayi lainnya. Ketika ia menangis, ibunya datang dan menggendongnya, tidak ada yang istimewa. Saya pun merasa bahwa semua berita tentang Sri Rama adalah kebohongan, dan saya terbang pulang dengan pikiran itu."
Kakabusundi melanjutkan ceritanya, "Namun, ketika saya terbang, saya merasa ada yang mengikutiku. Saya menoleh, dan betapa terkejutnya saya, bayi yang sama itu—Sri Rama—terus mengikuti saya. Dimanapun saya terbang, bayi itu selalu ada di belakang saya. Saya pun akhirnya berbalik dan bertanya kepada bayi itu, 'Kenapa engkau mengikuti saya?' Sri Rama menjawab dengan tenang, 'Saya yang mengikuti kamu, bukan sebaliknya.' Saat itu, saya melihat bahwa bayi itu ada di mana-mana, dan akhirnya saya menyadari betapa bodohnya saya yang pernah meragukan Tuhan. Tuhan itu ada di mana-mana, dan Dia tidak terbatas oleh ruang atau waktu."
Kakabusundi menatap Garuda dengan penuh kasih, "Garuda, Tuhan telah mengangkatmu begitu tinggi, memberikanmu kesempatan untuk melayani-Nya. Bukankah itu sebuah berkah yang luar biasa? Cinta Tuhan kepada kita begitu besar sehingga Dia merendahkan Diri-Nya sendiri dan meninggikan kita. Tanpa Tuhan, kita tidak akan ada, dan tanpa kasih-Nya, kita tidak bisa melakukan apa-apa. Sri Rama adalah Sri Vishnu yang Agung, penyelamat seluruh ciptaan."
Mendengar kata-kata Kakabusundi, Garuda merasa seolah-olah sebuah cahaya terang menyinari hatinya. Segala keraguan dan ego yang sebelumnya menguasai dirinya lenyap begitu saja. Garuda menyadari kebodohannya, bahwa Tuhan yang Maha Agung tidak membutuhkan penyelamatan dari makhluk seperti dirinya. Sebaliknya, Dia memberikan kesempatan kepada setiap makhluk untuk melayani-Nya dengan kasih dan pengabdian.
Dalam kesunyian hatinya, Garuda menyadari bahwa ego adalah penyebab dari kesombongan dan kebingungannya. Sebagai makhluk yang diberkahi, ia harus mengasihi dan melayani Tuhan dengan hati yang tulus, tanpa rasa sombong atau keraguan. Dengan penuh rasa syukur, Garuda mengucapkan terima kasih kepada Kakabusundi dan kembali ke Waikuntha, di mana ia bertekad untuk melayani Tuhan dengan lebih tulus, memahami bahwa segala kebesaran dan kekuatan yang dimilikinya hanyalah berkah dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar