Di zaman dahulu kala, pada saat Sri Rama, berjuang untuk menyelamatkan istrinya, Sita, dari penculikan Rahwana, ia memutuskan untuk membangun sebuah jembatan besar dari semenanjung India selatan menuju Lanka, tempat sang raksasa berada. Jembatan ini, yang dikenal sebagai Setu Bandhanam atau Jembatan Rama, bukan hanya sekadar jembatan fisik, tetapi juga jembatan rohani yang penuh dengan makna bhakti, pengabdian, dan kerjasama.
Berita tentang pembangunan jembatan ini menyebar cepat di seluruh dunia, dan banyak makhluk datang dari berbagai penjuru untuk berpartisipasi dalam karya besar ini. Para Wanara, makhluk-makhluk yang perkasa dan kuat, datang dengan semangat luar biasa. Mereka, yang memiliki tubuh besar dan tenaga yang tak terbatas, memecah gunung, mengangkat batu-batu besar, dan melemparkannya ke laut untuk membangun jembatan yang kokoh.
Sementara itu, makhluk lain yang juga ingin berkontribusi dalam pelayanan bhakti adalah para kepiting dan tupai. Kepiting-kepiting datang dengan rajin mengangkat pasir menggunakan capit mereka, meski tampaknya tugas mereka kecil dibandingkan dengan para Wanara. Namun, mereka melakukannya dengan penuh semangat, tanpa mengeluh atau meragukan kemampuan mereka. Sementara itu, tupai-tupai kecil, dengan tubuh mereka yang lincah dan cepat, membawa serpihan-serpihan batu kecil yang mereka kumpulkan, meskipun hanya cukup muat untuk mulut mereka. Bagi tupai-tupai ini, melibatkan diri dalam pelayanan bhakti kepada Sri Rama adalah suatu kehormatan besar.
Namun, di tengah semangat dan kebersamaan itu, para Wanara yang sangat kuat merasa bahwa usaha tupai-tupai tersebut terlalu kecil dan tidak berguna. “Mengapa kalian tidak pergi saja?” salah seorang dari mereka berkata dengan nada tinggi. “Apa yang bisa kalian lakukan dengan serpihan batu yang hanya muat di mulut kalian? Jembatan ini membutuhkan batu besar, bukan serpihan kecil seperti itu! Pergilah dari sini, kalian malah menghalangi jalan kami!”
Tupai-tupai kecil itu merasa sangat sedih mendengar perkataan tersebut. Mereka hanya ingin ikut serta dalam membangun jembatan rohani ini, tetapi mereka dipandang remeh karena ukuran tubuh mereka yang kecil dan kemampuan mereka yang terbatas. Mereka tidak mampu membawa batu besar seperti para Wanara, tetapi mereka melakukan apa yang mereka bisa dengan tulus dan sepenuh hati.
Kesedihan tupai-tupai itu segera sampai ke telinga Sri Rama. Beliau yang bijaksana mengetahui betul apa yang terjadi di antara para makhluk yang bekerja keras untuk membangun jembatan ini. Dengan lembut dan penuh kasih, Sri Rama memanggil para Wanara yang sombong itu.
"Wahai Wanara yang perkasa," Sri Rama bersabda, "Apakah kalian berpikir bahwa jembatan ini bisa dibangun hanya dengan kekuatan kalian saja? Sesungguhnya, aku bisa membangun jembatan ini hanya dengan memikirkannya. Namun, aku sengaja melibatkan kalian semua dalam tugas ini agar kalian bisa berbhakti kepadaku. Dengan demikian, kalian akan disucikan, dan keberhasilan jembatan ini bukan hanya karena kekuatan fisik kalian, tetapi juga karena keberadaan kalian di sini untuk tujuan suci."
Sri Rama menatap para Wanara yang terdiam mendengar sabda-Nya. "Janganlah kalian merasa sombong," lanjut Sri Rama, "Semua kehebatan yang kalian miliki adalah karena karunia-Ku. Tanpa restu-Ku, tidak ada kekuatan yang dapat kalian miliki. Semua yang kalian lakukan di sini adalah bentuk pengabdian kepada-Ku. Oleh karena itu, hargailah setiap usaha, sekecil apapun itu, dan hargailah setiap makhluk yang berusaha dengan tulus."
Para Wanara yang perkasa itu terdiam. Mereka merasakan kebijaksanaan dan kasih sayang yang terkandung dalam setiap kata Sri Rama. Mereka menyadari kesalahan mereka dalam meremehkan tupai-tupai kecil itu dan merasa sangat menyesal atas sikap sombong mereka.
Sebagai bentuk penghargaannya kepada usaha dan pengabdian para tupai, Sri Rama memutuskan untuk memberikan berkah khusus kepada mereka. Dengan lembut, beliau menyentuh punggung setiap tupai yang hadir di sana. Sejak saat itu, punggung tupai-tupai itu tampak berbeda, memiliki motif bulu yang khas dan unik. Bulu tersebut adalah bekas sentuhan Sri Rama, yang tetap ada sebagai tanda penghormatan dan berkat-Nya. Motif bulu itu menjadi tanda bahwa tupai adalah makhluk yang diberkahi sejak zaman Tretayuga.
Tupai-tupai yang dahulu dianggap remeh oleh para Wanara kini menjadi makhluk yang sangat dihormati, karena mereka telah menunjukkan ketulusan dan keberanian dalam melaksanakan bhakti mereka meskipun dengan usaha yang tampaknya kecil. Sri Rama, dengan kasih-Nya, telah mengangkat martabat mereka, dan sejak saat itu, tupai menjadi simbol pengabdian yang tulus dan tanpa pamrih.
Di Bali, kisah ini masih hidup dalam kepercayaan masyarakat. Mereka percaya bahwa tupai adalah binatang yang diberkahi, yang dikenal dengan sebutan "Due" atau "Ancangan." Masyarakat Bali menghormati tupai sebagai makhluk yang suci, dan karena itu, mereka tidak boleh diburu atau ditangkap. Tupai menjadi simbol dari pengabdian tanpa pamrih dan pengingat akan pentingnya melakukan pelayanan bhakti dengan hati yang tulus, tidak peduli seberapa besar atau kecil kemampuan kita.
Dengan demikian, jembatan yang dibangun oleh Sri Rama dan semua makhluk yang ikut berpartisipasi dalam pelayanan bhakti itu tidak hanya menjadi jembatan fisik yang menghubungkan dua dunia, tetapi juga menjadi jembatan rohani yang mengajarkan kepada kita semua tentang kerendahan hati, kerjasama, dan pentingnya setiap kontribusi, sekecil apapun itu. Sebuah jembatan yang dibangun dengan kasih, kesabaran, dan pengabdian yang tulus, yang melibatkan semua makhluk, dari yang terbesar hingga yang terkecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar