Minggu, 24 November 2024

Kisah Jaratkaru: Jalan Menuju Keselamatan Leluhur

Kisah Jaratkaru bermula ketika ia memutuskan untuk mengunjungi Ayatana Sthana, sebuah tempat yang terletak di antara Surga dan Neraka. Tempat ini merupakan dunia yang hanya dapat dijangkau oleh mereka yang memiliki kesaktian luar biasa. Jaratkaru, dengan ketekunannya dalam menjalani kehidupan sebagai seorang Brahmacari, memang dianugerahi kemampuan luar biasa untuk menjelajah ketiga dunia: Bhur, Bwah, dan Swah. Tidak banyak orang yang mampu melakukan perjalanan ke Ayatana Sthana, dan karena itulah perjalanannya kali ini menjadi sangat istimewa.

Begitu tiba di Ayatana Sthana, Jaratkaru melihat sebuah pemandangan yang mengerikan. Di sana, ia melihat seorang leluhur yang tergantung dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Leluhur itu bergantung pada sebuah Buluh Petung, dengan wajah tertelungkup dan kaki terikat erat. Di bawahnya terbentang sebuah jurang dalam yang mengarah ke Neraka. Buluh tempat leluhur itu bergantung tampak rapuh dan sepertinya siap patah kapan saja. Keadaan itu membuat hati Jaratkaru tergerak. Namun, ia juga melihat seekor tikus yang tinggal di dalam buluh tersebut, menggerogoti dengan perlahan batang bambu yang sudah hampir hancur.

Jaratkaru merasa kasihan dan kemudian mendekati leluhurnya. Leluhur itu tampaknya adalah seorang petapa, berpakaian kulit kayu, berambut panjang, dan tidak makan atau minum selama bertahun-tahun. Saat melihat kehadiran Jaratkaru, leluhur itu pun dengan suara yang lemah dan ketakutan akan jatuh, mulai berbicara.

“Wahai Jaratkaru, cucuku, mengapa kamu berada di sini? Bukankah seharusnya kamu sudah berada di Surga?” kata leluhur itu, dengan napas terengah-engah.

Jaratkaru pun merasa khawatir dan menatap leluhurnya dengan penuh iba. Leluhur itu melanjutkan kisahnya dengan suara yang penuh kesedihan, "Keadaanku seperti ini karena keturunan kami terputus. Oleh karena itu, aku terpisah dari dunia leluhur dan terpaksa tergantung di tempat yang penuh penderitaan ini. Tempat ini bagaikan Neraka bagiku."

Leluhur itu kemudian mengungkapkan bahwa penyebab dari penderitaannya adalah keturunan Jaratkaru yang tidak memiliki anak. "Ada seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, yang telah menjadi seorang Brahmacari sejak kecil dan tidak menikah. Itulah sebabnya aku terperangkap dalam penderitaan ini,” ungkap leluhur tersebut. “Jika kamu mengasihaniku, cucuku, katakan pada Jaratkaru agar ia menikah dan memiliki keturunan. Hanya dengan cara itu aku bisa kembali bersama leluhur kami di Surga.”

Jaratkaru mendengar permintaan leluhurnya dengan hati yang berat. Setelah berpikir panjang, ia akhirnya berkata, “Saya, Jaratkaru, mohon ampun kepada leluhur saya. Saya akan mengakhiri masa Brahmacari saya dan menikah, agar leluhur saya tidak lagi menderita di sini.”

Dengan tekad yang bulat, Jaratkaru pun memulai perjalanan untuk mencari seorang istri yang memiliki nama yang sama dengannya. Ia berkeliling ke berbagai tempat, namun tidak juga menemukan seorang wanita yang memiliki nama yang sama. Tanpa tahu lagi harus ke mana, Jaratkaru akhirnya kembali kepada ayahnya untuk memohon petunjuk. Masuk ke hutan yang sunyi, Jaratkaru meratap dan menangis, sambil berdoa kepada para dewa dan makhluk hidup, “Wahai segala makhluk, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, saya adalah Jaratkaru, seorang Brahmana yang ingin beristri. Berikanlah saya seorang istri yang senama dengan saya, supaya saya dapat memiliki anak dan menyelamatkan leluhur saya dari kesengsaraan.”

Tangisan dan doa Jaratkaru itu akhirnya terdengar oleh para Naga. Sang Naga Basuki, yang merasa iba, mendekatinya dan memberikan adiknya, Sang Naga Nagini, yang juga bernama Jaratkaru. Sang Naga Basuki berharap bahwa pernikahan ini akan menghasilkan seorang anak yang dapat menyelamatkan leluhur Jaratkaru dari penderitaan abadi. Jaratkaru pun menikahi Naga Jaratkaru, dan dengan harapan besar ia yakin keturunan yang akan mereka lahirkan akan membawa perubahan.

Setelah beberapa waktu hidup bersama, Jaratkaru dan istrinya akhirnya dikaruniai kehamilan. Sang Jaratkaru merasa sangat bahagia, bahkan ia meminta istrinya untuk memangku kepalanya agar ia bisa tidur dengan tenang. Namun, suatu hari ketika ia tertidur terlalu lama, sang istri yang cemas dengan waktu sembahyang yang semakin dekat, membangunkan Jaratkaru. “Tuanku, waktu telah senja, saatnya untuk sembahyang. Semua perlengkapan telah tersedia,” ujar istri Jaratkaru dengan penuh hormat.

Jaratkaru yang terbangun dengan wajah yang memerah, penuh kemarahan, menatap istrinya dengan tajam. “Engkau, Naga perempuan yang sangat jahat! Sebagai istri, bagaimana bisa engkau mengganggu tidurku dengan cara seperti ini?” serunya marah. “Jika engkau tidak bisa menghormati aku, maka aku akan meninggalkanmu sekarang juga!”

Sang istri yang terkejut dan sangat menyesal, segera memohon maaf. “Tuanku, aku tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya membangunkanmu karena waktu untuk sembahyang telah tiba. Maafkan aku, tuanku. Aku tidak ingin membuatmu marah,” ujarnya dengan penuh rasa bersalah.

Mendengar permohonan maaf itu, Jaratkaru akhirnya merenung. Ia sadar bahwa istrinya tidak berniat menghina, dan ia pun memaafkannya. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin bahagia dan dalam waktu yang tidak lama, istri Jaratkaru melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Astika.

Dengan lahirnya Astika, leluhur Jaratkaru yang tergantung di Buluh Petung akhirnya bebas dari penderitaannya. Arwah leluhur itu melesat pulang ke Pitraloka, tempat yang seharusnya mereka tuju. Astika yang lahir dari rahim Naga Jaratkaru menjadi seorang Brahmana yang mulia dan melanjutkan garis keturunan Jaratkaru dengan membawa kehormatan. Dengan kelahiran Astika, bukan hanya leluhur Jaratkaru yang diselamatkan, tetapi juga sebuah garis keturunan yang akan membawa kebaikan dan keselamatan bagi dunia.

Kisah Jaratkaru mengajarkan kita tentang pentingnya memenuhi kewajiban, menjaga kehormatan, dan bagaimana keturunan dapat menyelamatkan keluarga serta leluhur mereka. Sebuah perjalanan yang penuh penderitaan akhirnya berbuah kebahagiaan dan keselamatan bagi semua yang terlibat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar