Durga, dalam bahasa Sanskerta, memiliki makna yang dalam, yaitu "terpencil" atau "tidak bisa dimasuki," yang menggambarkan sifatnya yang tak tergoyahkan dan kuat. Dalam bahasa Dewanagari, Durga berarti "dewi kemenangan," sebuah simbol dari kekuatan dan kemenangan atas kejahatan. Dewi Durga sering digambarkan memegang berbagai senjata, seperti Cakram, petir, teratai, ular, pedang, gada, terompet kerang, dan trisula, yang masing-masing melambangkan kekuatan untuk menghancurkan segala bentuk kejahatan dan keburukan. Kendaraannya adalah singa atau macan, simbol keberanian dan kekuatan. Dalam berbagai representasi, Dewi Durga digambarkan dengan banyak tangan, yang seringkali berada dalam posisi Mudra, simbol dari penguasaan dan kendali atas segala aspek alam semesta. Selain itu, Dewi Durga dikenal dengan banyak nama, seperti Dewi Uma, Dewi Parwati, Dewi Kali, dan Dewi Candika, yang mencerminkan berbagai aspek dari kekuatan dan kebijaksanaan yang dimilikinya.
Sebagai istri dari Dewa Siwa, Dewi Durga memiliki peran yang sangat penting dalam mitologi Hindu. Ia juga memiliki seorang putra, Bhatara Kala, yang menambah kedalaman simbolis dalam kisah-kisah yang mengelilingi dirinya. Banyak yang beranggapan bahwa Dewi Durga adalah sosok yang menakutkan, bahkan di Bali, ia sering dilambangkan dalam wujud Rangda, yang terkadang dipersepsikan sebagai sosok yang menyeramkan. Namun, persepsi ini adalah kesalahpahaman yang besar. Durga bukanlah dewi yang menebar ketakutan, melainkan seorang pelindung yang berjuang melawan kejahatan dan membantu mereka yang teraniaya. Dewi Durga hadir untuk melindungi orang-orang yang terancam bahaya, memusnahkan kejahatan, dan membebaskan mereka yang dalam kesulitan.
Kebanyakan orang salah kaprah dengan menganggap Dewi Durga hanya dipuja oleh mereka yang terlibat dalam ilmu hitam atau hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan. Padahal, Dewi Durga adalah sosok yang dipuja oleh mereka yang merasa terancam jiwa dan keselamatannya. Orang-orang yang berada dalam kondisi terdesak, yang menghadapi bahaya atau ancaman dari kekuatan gelap, sering memohon kepada Dewi Durga untuk perlindungan dan bantuan. Bahkan mereka yang menekuni dunia supranatural, seperti Jero Dasaran dan Balian, memuja Dewi Durga untuk mendapatkan bantuan dalam menyembuhkan penyakit atau mengatasi masalah yang berhubungan dengan ilmu hitam, seperti Desti, Teluh, atau Terangjana. Dewi Durga bukan hanya seorang pemusnah, tetapi juga penyembuh yang siap memberikan kesembuhan kepada mereka yang terancam nyawanya. Di Bali, terdapat istilah seperti "Nunas di Dalem" atau "Nebusin" yang merujuk pada upacara untuk meminta pertolongan Dewi Durga dalam menyembuhkan penyakit berat atau menyelamatkan jiwa seseorang.
Konsep "Nebusin" ini, yang dilakukan di pura Dalem, bertujuan untuk menebus roh seseorang yang digunakan sebagai agunan dalam ilmu hitam. Jika seseorang menderita penyakit yang sukar disembuhkan, mereka dapat mengadakan upacara Nebusin untuk menukar roh yang menjadi korban dengan sesajen yang dipersembahkan kepada Dewi Durga. Dalam tradisi ini, Dewi Durga dipandang sebagai pelindung yang menjaga agar kekuatan-kekuatan gelap tidak merajalela dan menguasai kehidupan umat manusia. Di Indonesia, terutama di Bali, ada pemahaman yang keliru tentang Dewi Durga, yang dianggap sebagai "ratunya para setan" atau "dedemit". Padahal, justru Durga adalah penguasa para iblis tersebut, dan tanpa keberadaannya, kekuatan iblis akan merusak tatanan dunia ini.
Dewi Durga adalah salah satu dewi yang paling dipuja dalam tradisi Hindu, terutama pada saat perayaan Galungan. Di Bali, saat Hari Galungan, masyarakat biasanya memasang Sampian Candigaan, sebuah persembahan yang mengandung unsur nama Candika, yang merupakan salah satu nama Dewi Durga. Di India, perayaan khusus untuk memuja Dewi Durga dikenal dengan nama Durga Puja, Kalipuja, dan Wijaya Dasami. Meski di Bali tidak ada perayaan khusus yang secara eksplisit memuja Dewi Durga, upacara Piodalan di pura Dalem selalu menjadi momen penting bagi umat Hindu untuk memuja beliau. Di Bali, Dewi Durga sangat dihormati, terutama oleh penganut Tantrayana, yang mempersembahkan sesajen berupa daging babi dalam upacara pemujaan. Pada hari Penampahan Galungan, masyarakat Bali membuat Upakara di halaman rumah dengan tujuan mempersembahkan penghormatan kepada Dewi Durga, dalam wujud beliau sebagai Dewi Uma.
Masyarakat Bali juga mempersembahkan Penjor, yang dipasang sebagai bentuk penghormatan dan doa untuk mendapatkan perlindungan dan kemenangan atas segala rintangan. Selama upacara ini, sesajen dan persembahan kepada Dewi Durga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual mereka. Upacara ini diyakini memiliki kekuatan untuk menjauhkan segala mara bahaya dan melindungi keluarga serta masyarakat dari gangguan kekuatan jahat. Bahkan, meskipun banyak umat Hindu di Bali tidak sepenuhnya memahami Mantra Mrtyunjaya yang diberikan oleh Dewi Durga kepada Raja Sri Aji Jaya Kasunu, mereka tetap melaksanakan tradisi ini dengan penuh keyakinan, karena mereka percaya bahwa dengan melaksanakan perayaan Galungan dan memasang Penjor, mereka telah mendapatkan keberkahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar