Di tengah hiruk-pikuk permainan dadu, suasana menjadi tegang. Pandawa dan Kaurava berkumpul di istana, tidak menyangka bahwa nasib mereka akan berubah dalam sekejap. Drupadi, istri Pandawa, terjebak dalam permainan yang tidak adil.
Ketika Dursasana, saudara Duryodhana, berdiri untuk melucuti pakaian Drupadi, ketegangan di ruangan mencapai puncaknya. Drupadi, yang awalnya penuh percaya diri, kini terlihat putus asa. Ia berusaha melawan, namun kekuatan Dursasana jauh lebih besar.
Bhisma, sang grandsire, duduk di sudut ruangan, menyaksikan semua yang terjadi. Meskipun ia merupakan pejuang hebat dan pelindung Keluarga Kurawa, hati Bhisma teriris melihat ketidakadilan ini. Ia terdiam, rasa malu dan kebingungan bercampur aduk dalam pikirannya.
"Aku terikat oleh sumpah dan kode etik," pikirnya. "Namun, di mana keadilan bagi wanita ini?"
Dalam sekejap, pakaian Drupadi terlepas, namun anehnya, kain yang dilucuti seakan tiada habisnya, berkelanjutan, seolah Tuhan sendiri melindunginya. Teriakan Drupadi menggema di ruangan, memohon pertolongan, namun Bhisma hanya bisa terdiam, hatinya bergetar antara kewajiban dan moralitas.
Ketidakberdayaan itu menjadi beban yang berat. Bhisma tahu bahwa tindakan Dursasana adalah pelanggaran besar, namun ia terjebak dalam sumpah setia yang mengikatnya kepada Kaurava. Dalam keheningan itu, ia merasakan bahwa semua kode etik yang dipegangnya tidak ada artinya jika harus mengorbankan kedaulatan dan kehormatan seorang wanita.
Sementara itu, air mata Drupadi jatuh, membakar jiwa Bhisma lebih dalam. Saat permainan dadu berakhir, dan nasib Pandawa digenggam oleh Duryodhana, Bhisma tetap terdiam, menyaksikan keadilan yang terabaikan, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Hari itu menandai titik balik, sebuah pelajaran pahit bagi semua, bahwa keberanian tidak selalu terukur dari kekuatan fisik, tetapi juga dari kemampuan untuk berdiri melawan ketidakadilan. Bhisma berjanji di dalam hatinya, meskipun terikat oleh sumpah, akan ada saatnya untuk memperjuangkan kebenaran.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar