Mentari pagi menyinari lembah Kurukshetra, embun masih menempel di rerumputan hijau yang terhampar luas. Udara pagi terasa dingin, menusuk tulang, namun di tengah-tengah medan perang yang kelak akan berlumuran darah itu, terasa sebuah keheningan yang mencekam. Bayangan perang besar yang akan segera dimulai masih belum tampak, hanya kesunyian yang menyelimuti para ksatria yang bersiap. Di kejauhan, terlihat tenda-tenda pasukan Pandawa dan Kurawa berdiri kokoh, seperti raksasa yang tertidur menunggu aba-aba.
Di tengah kesunyian itu, Sri Krishna duduk termenung. Bukan wujud manusia biasa dengan serulingnya yang merdu, melainkan Narayana, berlengan empat, bercahaya keemasan. Mata-Nya, yang maha melihat, mengamati setiap detil di medan perang yang akan datang. Ia melihat Arjuna, sahabatnya, dilanda keraguan, diliputi bayangan kematian dan dosa. Ia melihat para ksatria Kurawa, dipenuhi ambisi dan keserakahan, buta akan kebenaran. Ia melihat takdir yang telah terjalin, benang-benang karma yang tak terelakkan.
Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga liar. Krishna merasakan beban dunia di pundaknya. Ia, yang Maha Kuasa, yang telah menyaksikan berabad-abad pergantian zaman, kini harus menyaksikan pertempuran yang akan menentukan nasib banyak jiwa. Ia tahu, perang ini tak hanya tentang perebutan kekuasaan, tapi juga tentang dharma, tentang kebenaran yang harus dipertahankan.
Tangan-Nya yang kekar, yang telah menciptakan dan menghancurkan alam semesta, tergenggam erat. Ia merasakan getaran bumi, getaran hati para ksatria yang menunggu perintah. Ia melihat wajah-wajah penuh harapan dan ketakutan, wajah-wajah yang akan berubah menjadi mayat di medan perang.
Di suatu tempat di antara tenda-tenda, sesosok bayangan muncul. Wajahnya tak terhitung jumlahnya, ribuan mata menatap ke segala arah, melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan. Wujud Sri Krishna yang seratus wajah itu, mengamati setiap gerak-gerik, setiap pikiran, setiap niat para ksatria. Ia melihat kelicikan, kekejaman, dan juga keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan.
Suara-suara bisikan memenuhi udara, bisikan para dewa, para rsi, dan para leluhur. Mereka memohon, mereka berdoa, mereka berharap agar perang ini dapat dihindari. Namun, takdir telah ditetapkan. Perang Bharatayudha, perang yang akan mengguncang dunia, tak dapat dielakkan.
Krishna, dalam tiga wujudnya, menyaksikan semuanya. Ia melihat kekejaman Duryodhana, kesedihan Yudhistira, kemarahan Bima, keraguan Arjuna, dan kesetiaan sahabat-sahabatnya. Ia melihat kehancuran dan kebangkitan, kematian dan kelahiran kembali. Ia melihat siklus kehidupan yang tak pernah berakhir, dan peran-Nya di dalamnya.
Matahari mulai meninggi, menyinari medan perang yang semakin tegang. Suara-suara terompet dan genderang menggema, menandakan dimulainya pertempuran. Para ksatria berlari menuju medan pertempuran, membawa senjata-senjata mereka, membawa takdir mereka sendiri. Krishna, dalam tiga wujudnya, menyaksikan semuanya, diam-diam, dengan mata yang maha melihat. Ia tahu, perang ini akan meninggalkan bekas yang mendalam, bekas yang akan dikenang selama berabad-abad. Dan ia, dalam kemahakuasaannya, hanya dapat menyaksikan, mengamati, dan membiarkan takdir berjalan. Angin berhembus kencang, membawa debu dan aroma darah yang akan segera membasahi tanah Kurukshetra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar