Angin malam berdesir melalui pepohonan di taman Ashoka. Yang menebarkan aroma bunga-bunga harum yang tak mampu menutupi kegelisahan yang membayangi Raja Rahwana. Di dalam istana megahnya, terkurung di balik dinding emas dan penjagaan ketat, bukan harta rampasan perang yang membuatnya resah, melainkan sosok Dewi Shinta yang anggun namun tegar. Wanita yang kecantikannya telah mengguncang dunia, wanita yang kini menjadi tawanannya. Namun, sentuhan pun tak pernah berani dia berikan.
Rahwana, raja ALengka yang perkasa justru takut. Bukan takut pada manusia, melainkan takut pada kutukan Brahma, dewa Pencipta dunia. Kutukan yang terpatri dalam jiwanya, sebuah ancaman yang lebih mengerikan daripada kematian. Kutukan itu berbisik setiap malam, mengingatkannya akan konsekuensi yang mengerikan jika ia berani menodai kesucian Shinta.
Cerita bermula bukan dari ambisi untuk merebut Shinta, melainkan dari rasa kagum yang teramat dalam. Rahwana, yang telah menjelajahi dunia dan menaklukkan kerajaan-kerajaan, terpesona oleh kecantikan Shinta yang melebihi keindahan bunga-bunga surgawi. Ia telah mendengar kisah kesucian dan kesetiaan Shinta kepada suaminya, Rama. Keindahan dan kesucian itu, yang berpadu dalam satu sosok, membangkitkan rasa hormat yang tak terduga dalam hatinya yang keras.
Dia menculik Shinta, bukan karena nafsu birahi, melainkan sebuah obsesi yang aneh. Ia ingin memiliki Shinta, bukan sebagai seorang istri, melainkan sebagai sebuah karya seni yang sempurna, sebuah mahakarya yang hanya bisa dia kagumi dari kejauhan. Istana mewah yang disediakannya untuk Shinta lebih menyerupai museum daripada tempat tinggal seorang tawanan. Ia memenuhi ruangan itu dengan permadani sutra terhalus, bunga-bunga yang selalu segar, dan makanan lezat yang tak pernah disentuh Shinta.
Shinta sendiri, dengan keteguhan hati yang luar biasa, menolak segala bujukan dan ancaman Rahwana. Ia tetap setia pada Rama, meskipun berada di tengah-tengah kemewahan dan ancaman kematian. Ia berpuasa, berdoa, dan menghabiskan waktunya dengan bermeditasi, menunggu kedatangan suaminya. Melihat keteguhan Shinta, Rahwana merasa semakin terpesona, sekaligus semakin takut.
Setiap malam, bayangan Brahma dan kutukannya menghantuinya. Ia melihat wajah Brahma yang penuh amarah, mendengar suara guntur yang menggemakan ancamannya. Rahwana, yang telah mengalahkan banyak dewa, merasa tak berdaya di hadapan kekuatan ilahi itu. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan raksasa miliknya, mempelajari kitab-kitab suci, mencari celah, mencari jalan keluar dari kutukan yang membelenggu.
Ia menawarkan Shinta segala kekayaan dan kemewahan kerajaan Lanka, menawarkan kebebasan dan kedudukan sebagai ratu. Namun, Shinta tetap menolak. Keteguhan Shinta, yang tak tergoyahkan, menjadi penghalang yang tak mampu ditembus oleh kekuasaannya. Rahwana, yang terbiasa menaklukkan siapapun, merasa dikalahkan oleh wanita yang tak pernah disentuhnya.
Rahwana, raja yang ditakuti, terkurung dalam penjara batinnya sendiri. Ia terkurung oleh kutukan Brahma, oleh rasa hormat yang tak terduga, dan oleh keteguhan hati seorang wanita yang dicintainya dari kejauhan. Kisah penculikan Shinta menjadi sebuah paradoks: sebuah tindakan kejahatan yang didorong oleh kekaguman dan rasa takut, sebuah kisah cinta yang tak pernah terwujud karena kutukan dan kesucian. Dan di tengah-tengah semua itu, Shinta tetap teguh, menunggu kedatangan Rama, yang akan membebaskannya, bukan dari belenggu fisik, tetapi dari belenggu sebuah obsesi yang aneh dan tragis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar