Minggu, 09 Maret 2025

Khrisna Mengungkapkan Keangkuhan Drupadi.

Mentari senja menorehkan warna jingga di langit Hastinapura, membias indah di atas Sungai Gangga yang mengalir tenang.  Di sebuah paviliun sederhana di pinggir sungai, Krishna duduk bersila, matanya menatap permukaan air yang tenang, namun pikirannya bergelombang.  Drupadi, ratu Pancala yang anggun, duduk di hadapannya, wajahnya dipenuhi kegelisahan yang terselubung di balik senyum tipis.
 
Krishna telah lama mengamati Drupadi. Keindahannya tak perlu diragukan, kecerdasannya tajam, dan keberaniannya luar biasa.  Namun, belakangan ini, Krishna melihat sebuah benih keangkuhan mulai tumbuh dalam dirinya.  Kecantikan yang dimilikinya, sedikit demi sedikit telah mengaburkan pandangannya.  Ia mulai merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain.
 
"Drupadi," 
suara Krishna memecah kesunyian, lembut namun berwibawa, "aku telah lama mengagumi keberanian dan kecerdasanmu.  Namun, aku juga melihat sesuatu yang menggangguku."
 
Drupadi mengangkat alisnya, sedikit terkejut.  Ia tak pernah menyangka Krishna akan mengatakan hal seperti itu.
 
"Keangkuhanmu, Drupadi" Krishna melanjutkan, suaranya tetap tenang.  "Sebuah benih kecil yang jika dibiarkan tumbuh, akan membinasakanmu sendiri."
 
Drupadi terdiam, wajahnya berubah tegang.  Ia tahu dalam hatinya bahwa Krishna benar.  
 
Krishna menceritakan kisah-kisah bijak, kisah-kisah tentang raja-raja yang hancur karena keangkuhan mereka, kisah-kisah tentang pahlawan-pahlawan yang jatuh karena merasa dirinya tak terkalahkan.  Ia menggunakan perumpamaan-perumpamaan sederhana, namun sarat makna, yang mudah dipahami oleh Drupadi.  Ia berbicara tentang pentingnya kerendahan hati, tentang betapa pentingnya menghargai orang lain, terlepas dari status dan kekayaan mereka.
 
"Kekuasaan adalah ujian yang berat.  Ia menguji hati dan jiwa.  Ia bisa membuat orang yang paling baik sekalipun menjadi sombong dan lupa diri," Krishna berkata, matanya menatap dalam ke mata Drupadi. "Keangkuhan adalah musuh terburuk dari kebijaksanaan.  Ia membutakan mata, menutup telinga, dan membelenggu hati."
 
Air mata mulai membasahi pipi Drupadi.  Ia tertunduk, malu dan menyesal.  Ia menyadari betapa jauhnya ia telah tersesat.  
Krishna menepuk bahu Drupadi dengan lembut.  "Janganlah bersedih, Drupadi.  Kesalahan adalah bagian dari kehidupan.  Yang penting adalah kita mampu belajar dari kesalahan kita dan memperbaiki diri."
 
Drupadi mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca.  Ia merasakan beban berat di dadanya sedikit mereda, digantikan oleh rasa syukur dan tekad untuk berubah.
 
"Terima kasih, Krishna," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik."
 
Krishna tersenyum, sebuah senyum yang penuh dengan kasih sayang dan kebijaksanaan.  Ia tahu bahwa perjalanan Drupadi menuju kerendahan hati masih panjang, namun ia yakin bahwa Drupadi akan mampu melewatinya.  Mentari telah benar-benar tenggelam, namun cahaya harapan telah menyinari hati Drupadi, sebuah harapan untuk menjadi ratu yang lebih bijaksana dan lebih rendah hati.  Dan Krishna, saksi bisu dari perubahan itu, akan selalu ada di sisinya, membimbingnya dalam perjalanan panjang menuju kesempurnaan.

Kamis, 06 Maret 2025

Rahwana Tidak Pernah Menyentuh Sinta Selama Diculik.

Angin malam berdesir melalui pepohonan di taman Ashoka. Yang menebarkan aroma bunga-bunga harum yang tak mampu menutupi kegelisahan yang membayangi Raja Rahwana.  Di dalam istana megahnya, terkurung di balik dinding emas dan penjagaan ketat, bukan harta rampasan perang yang membuatnya resah, melainkan sosok Dewi Shinta yang anggun namun tegar.  Wanita yang kecantikannya telah mengguncang dunia, wanita yang kini menjadi tawanannya.  Namun, sentuhan pun tak pernah berani dia berikan.
 
Rahwana, raja ALengka yang perkasa justru takut.  Bukan takut pada manusia, melainkan takut pada kutukan Brahma, dewa Pencipta dunia.  Kutukan yang terpatri dalam jiwanya, sebuah ancaman yang lebih mengerikan daripada kematian.  Kutukan itu berbisik setiap malam, mengingatkannya akan konsekuensi yang mengerikan jika ia berani menodai kesucian Shinta.
 
Cerita bermula bukan dari ambisi untuk merebut Shinta, melainkan dari rasa kagum yang teramat dalam.  Rahwana, yang telah menjelajahi dunia dan menaklukkan kerajaan-kerajaan,  terpesona oleh kecantikan Shinta yang melebihi keindahan bunga-bunga surgawi.  Ia telah mendengar kisah kesucian dan kesetiaan Shinta kepada suaminya, Rama.  Keindahan dan kesucian itu, yang berpadu dalam satu sosok, membangkitkan rasa hormat yang tak terduga dalam hatinya yang keras.
 
Dia menculik Shinta, bukan karena nafsu birahi, melainkan sebuah obsesi yang aneh.  Ia ingin memiliki Shinta, bukan sebagai seorang istri, melainkan sebagai sebuah karya seni yang sempurna, sebuah mahakarya yang hanya bisa dia kagumi dari kejauhan.  Istana mewah yang disediakannya untuk Shinta lebih menyerupai museum daripada tempat tinggal seorang tawanan.  Ia memenuhi ruangan itu dengan permadani sutra terhalus, bunga-bunga yang selalu segar, dan makanan lezat yang tak pernah disentuh Shinta.
 
Shinta sendiri, dengan keteguhan hati yang luar biasa, menolak segala bujukan dan ancaman Rahwana.  Ia tetap setia pada Rama, meskipun berada di tengah-tengah kemewahan dan ancaman kematian.  Ia berpuasa, berdoa, dan menghabiskan waktunya dengan bermeditasi, menunggu kedatangan suaminya.  Melihat keteguhan Shinta, Rahwana merasa semakin terpesona, sekaligus semakin takut.
 
Setiap malam, bayangan Brahma dan kutukannya menghantuinya.  Ia melihat wajah Brahma yang penuh amarah, mendengar suara guntur yang menggemakan ancamannya.  Rahwana, yang telah mengalahkan banyak dewa, merasa tak berdaya di hadapan kekuatan ilahi itu.  Ia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan raksasa miliknya, mempelajari kitab-kitab suci, mencari celah, mencari jalan keluar dari kutukan yang membelenggu.
 
Ia menawarkan Shinta segala kekayaan dan kemewahan kerajaan Lanka, menawarkan kebebasan dan kedudukan sebagai ratu.  Namun, Shinta tetap menolak.  Keteguhan Shinta, yang tak tergoyahkan, menjadi penghalang yang tak mampu ditembus oleh kekuasaannya.  Rahwana, yang terbiasa menaklukkan siapapun, merasa dikalahkan oleh wanita yang tak pernah disentuhnya.
 
Rahwana, raja yang ditakuti, terkurung dalam penjara batinnya sendiri.  Ia terkurung oleh kutukan Brahma, oleh rasa hormat yang tak terduga, dan oleh keteguhan hati seorang wanita yang dicintainya dari kejauhan.  Kisah penculikan Shinta menjadi sebuah paradoks:  sebuah tindakan kejahatan yang didorong oleh kekaguman dan rasa takut, sebuah kisah cinta yang tak pernah terwujud karena kutukan dan kesucian.  Dan di tengah-tengah semua itu, Shinta tetap teguh, menunggu kedatangan Rama, yang akan membebaskannya, bukan dari belenggu fisik, tetapi dari belenggu sebuah obsesi yang aneh dan tragis.