Selasa, 26 November 2024

Kisah Tragis dan Keajaiban: Lahirnya Dewa Ganesha

Dalam salah satu cerita legendaris dari kitab Siwa Purana, terungkap kisah yang penuh dengan emosi, konflik, dan akhirnya sebuah keajaiban yang mengubah takdir seorang anak. Kisah ini bermula dengan Dewi Parwati, istri dari Dewa Siwa, yang suatu ketika ingin mandi di kediamannya. Namun, ia merasa tidak ingin diganggu oleh siapapun, termasuk oleh suaminya. Maka, dengan kemampuannya yang luar biasa, Dewi Parwati menciptakan seorang anak laki-laki dari kotoran tubuhnya yang digunakan untuk membersihkan diri. Anak ini diciptakan dengan tujuan untuk menjaga kedamaian rumahnya, dan Parwati memberi perintah yang tegas: "Jangan biarkan siapapun masuk, hanya aku yang boleh memberikan perintah."

Sang anak yang diberi tugas itu, meskipun masih kecil, menunaikan perintah ibunya dengan penuh kesungguhan. Ia menjaga rumah dengan ketat, siapapun yang hendak masuk akan dihalanginya. Tidak ada yang bisa melawan ketegasannya, bahkan untuk orang yang datang dengan niat baik. Sang anak begitu patuh pada perintah ibunya, bahkan tanpa tahu betul siapa saja yang datang.

Suatu hari, Dewa Siwa, suami Dewi Parwati, datang untuk menemui istrinya di rumah mereka. Namun, ia mendapati dirinya dihalangi oleh seorang anak kecil yang menjaga pintu rumahnya. Dewa Siwa, yang merupakan sang penguasa alam semesta, tentu saja tidak ingin ada hambatan untuk masuk ke rumahnya sendiri. Ia mencoba menjelaskan kepada anak tersebut bahwa dirinya adalah suami dari Dewi Parwati dan bahwa rumah itu juga miliknya. Namun, sang anak yang penuh kesetiaan pada perintah ibunya menolak untuk membiarkan Dewa Siwa masuk.

"Saya hanya bisa mengikuti perintah ibu saya. Anda tidak boleh masuk, karena saya hanya boleh melaksanakan perintah ibu saya," jawab sang anak dengan tegas. Dewa Siwa merasa heran dan semakin marah. Bagaimana mungkin seorang anak kecil bisa menantang perintahnya yang datang dari sang suami Dewi Parwati? Siwa semakin kesal dan mencoba meyakinkan sang anak, namun upayanya sia-sia. Sang anak tetap pada pendiriannya untuk tidak mendengarkan siapapun selain ibunya.

Konflik yang semakin memanas ini akhirnya memunculkan pertarungan sengit antara Dewa Siwa dan anaknya. Dewa Siwa, yang dikenal sebagai dewa dengan kekuatan luar biasa, berusaha membujuk anaknya untuk mengalah, namun sang anak tetap tidak bergeming. Terlalu kuatnya tekad anak kecil tersebut untuk menjalankan perintah ibunya membuat Dewa Siwa kehabisan kesabaran. Dalam kemarahannya, Dewa Siwa akhirnya menggunakan trisula sakti miliknya untuk mengakhiri pertarungan itu, dengan memenggal kepala sang anak.

Setelah pertarungan yang mengerikan itu, Dewi Parwati keluar dari kamar mandi dan terkejut mendapati anak yang baru saja ia ciptakan sudah terbaring tak bernyawa. Ketika ia mengetahui bahwa suaminya, Dewa Siwa, yang telah membunuh anak mereka, hatinya hancur. Dengan penuh kemarahan, Dewi Parwati menuntut agar anaknya dihidupkan kembali. Ia marah bukan hanya karena anaknya dibunuh, tetapi juga karena keegoisan suaminya yang tidak mengerti dan menghargai perintah yang sudah ia berikan.

Dewa Siwa yang menyadari perbuatannya dan merasa sangat bersalah akhirnya bersumpah untuk menghidupkan kembali anaknya. Namun, ia tahu bahwa untuk mewujudkan permohonan istrinya, ia harus mematuhi nasihat para dewa. Maka, Dewa Siwa memutuskan untuk berkonsultasi dengan Brahma, sang pencipta, yang memberi saran agar ia mengutus para gananya—makhluk-makhluk yang setia kepada Dewa Siwa—untuk mencari kepala makhluk hidup yang dapat menggantikan kepala anaknya.

Atas perintah tersebut, para gananya segera turun ke dunia dan mulai mencari kepala makhluk hidup yang pertama kali menghadap ke arah utara. Setelah berkeliling, mereka akhirnya menemukan seekor gajah yang sedang menghadap ke utara. Tanpa ragu, para gananya memenggal kepala gajah tersebut dan membawa kepala itu kembali kepada Dewa Siwa. Dengan kepala gajah yang baru itu, Dewa Siwa menghidupkan kembali anaknya. Anak itu kini bangkit kembali dengan kepala gajah yang khas, dan sejak itu ia dikenal sebagai Ganesha, sang dewa dengan kepala gajah.

Setelah kejadian tersebut, Dewa Ganesha mendapatkan gelar baru sebagai Dewa Keselamatan, karena ia dipercaya dapat menghalangi segala rintangan dan memberikan kedamaian serta keberuntungan bagi umat manusia. Dewa Ganesha kemudian menjadi salah satu dewa yang sangat dihormati dalam agama Hindu, dan ia dipercaya dapat membantu umatnya dalam menghadapi kesulitan hidup.

Kisah tragis dan ajaib ini mengajarkan banyak hal, antara lain pentingnya kesetiaan pada perintah yang diberikan oleh orang tua dan pengampunan yang dapat mengubah takdir. Selain itu, kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya memahami bahwa di balik setiap peristiwa, ada kebijaksanaan yang dapat membawa perubahan besar, bahkan jika itu berarti menghadapi rintangan yang sangat berat.

Senin, 25 November 2024

"Durga: Dewi Kekuatan dan Perlindungan dalam Tradisi Bali"

Durga, dalam bahasa Sanskerta, memiliki makna yang dalam, yaitu "terpencil" atau "tidak bisa dimasuki," yang menggambarkan sifatnya yang tak tergoyahkan dan kuat. Dalam bahasa Dewanagari, Durga berarti "dewi kemenangan," sebuah simbol dari kekuatan dan kemenangan atas kejahatan. Dewi Durga sering digambarkan memegang berbagai senjata, seperti Cakram, petir, teratai, ular, pedang, gada, terompet kerang, dan trisula, yang masing-masing melambangkan kekuatan untuk menghancurkan segala bentuk kejahatan dan keburukan. Kendaraannya adalah singa atau macan, simbol keberanian dan kekuatan. Dalam berbagai representasi, Dewi Durga digambarkan dengan banyak tangan, yang seringkali berada dalam posisi Mudra, simbol dari penguasaan dan kendali atas segala aspek alam semesta. Selain itu, Dewi Durga dikenal dengan banyak nama, seperti Dewi Uma, Dewi Parwati, Dewi Kali, dan Dewi Candika, yang mencerminkan berbagai aspek dari kekuatan dan kebijaksanaan yang dimilikinya.

Sebagai istri dari Dewa Siwa, Dewi Durga memiliki peran yang sangat penting dalam mitologi Hindu. Ia juga memiliki seorang putra, Bhatara Kala, yang menambah kedalaman simbolis dalam kisah-kisah yang mengelilingi dirinya. Banyak yang beranggapan bahwa Dewi Durga adalah sosok yang menakutkan, bahkan di Bali, ia sering dilambangkan dalam wujud Rangda, yang terkadang dipersepsikan sebagai sosok yang menyeramkan. Namun, persepsi ini adalah kesalahpahaman yang besar. Durga bukanlah dewi yang menebar ketakutan, melainkan seorang pelindung yang berjuang melawan kejahatan dan membantu mereka yang teraniaya. Dewi Durga hadir untuk melindungi orang-orang yang terancam bahaya, memusnahkan kejahatan, dan membebaskan mereka yang dalam kesulitan.

Kebanyakan orang salah kaprah dengan menganggap Dewi Durga hanya dipuja oleh mereka yang terlibat dalam ilmu hitam atau hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan. Padahal, Dewi Durga adalah sosok yang dipuja oleh mereka yang merasa terancam jiwa dan keselamatannya. Orang-orang yang berada dalam kondisi terdesak, yang menghadapi bahaya atau ancaman dari kekuatan gelap, sering memohon kepada Dewi Durga untuk perlindungan dan bantuan. Bahkan mereka yang menekuni dunia supranatural, seperti Jero Dasaran dan Balian, memuja Dewi Durga untuk mendapatkan bantuan dalam menyembuhkan penyakit atau mengatasi masalah yang berhubungan dengan ilmu hitam, seperti Desti, Teluh, atau Terangjana. Dewi Durga bukan hanya seorang pemusnah, tetapi juga penyembuh yang siap memberikan kesembuhan kepada mereka yang terancam nyawanya. Di Bali, terdapat istilah seperti "Nunas di Dalem" atau "Nebusin" yang merujuk pada upacara untuk meminta pertolongan Dewi Durga dalam menyembuhkan penyakit berat atau menyelamatkan jiwa seseorang.

Konsep "Nebusin" ini, yang dilakukan di pura Dalem, bertujuan untuk menebus roh seseorang yang digunakan sebagai agunan dalam ilmu hitam. Jika seseorang menderita penyakit yang sukar disembuhkan, mereka dapat mengadakan upacara Nebusin untuk menukar roh yang menjadi korban dengan sesajen yang dipersembahkan kepada Dewi Durga. Dalam tradisi ini, Dewi Durga dipandang sebagai pelindung yang menjaga agar kekuatan-kekuatan gelap tidak merajalela dan menguasai kehidupan umat manusia. Di Indonesia, terutama di Bali, ada pemahaman yang keliru tentang Dewi Durga, yang dianggap sebagai "ratunya para setan" atau "dedemit". Padahal, justru Durga adalah penguasa para iblis tersebut, dan tanpa keberadaannya, kekuatan iblis akan merusak tatanan dunia ini.

Dewi Durga adalah salah satu dewi yang paling dipuja dalam tradisi Hindu, terutama pada saat perayaan Galungan. Di Bali, saat Hari Galungan, masyarakat biasanya memasang Sampian Candigaan, sebuah persembahan yang mengandung unsur nama Candika, yang merupakan salah satu nama Dewi Durga. Di India, perayaan khusus untuk memuja Dewi Durga dikenal dengan nama Durga Puja, Kalipuja, dan Wijaya Dasami. Meski di Bali tidak ada perayaan khusus yang secara eksplisit memuja Dewi Durga, upacara Piodalan di pura Dalem selalu menjadi momen penting bagi umat Hindu untuk memuja beliau. Di Bali, Dewi Durga sangat dihormati, terutama oleh penganut Tantrayana, yang mempersembahkan sesajen berupa daging babi dalam upacara pemujaan. Pada hari Penampahan Galungan, masyarakat Bali membuat Upakara di halaman rumah dengan tujuan mempersembahkan penghormatan kepada Dewi Durga, dalam wujud beliau sebagai Dewi Uma.

Masyarakat Bali juga mempersembahkan Penjor, yang dipasang sebagai bentuk penghormatan dan doa untuk mendapatkan perlindungan dan kemenangan atas segala rintangan. Selama upacara ini, sesajen dan persembahan kepada Dewi Durga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual mereka. Upacara ini diyakini memiliki kekuatan untuk menjauhkan segala mara bahaya dan melindungi keluarga serta masyarakat dari gangguan kekuatan jahat. Bahkan, meskipun banyak umat Hindu di Bali tidak sepenuhnya memahami Mantra Mrtyunjaya yang diberikan oleh Dewi Durga kepada Raja Sri Aji Jaya Kasunu, mereka tetap melaksanakan tradisi ini dengan penuh keyakinan, karena mereka percaya bahwa dengan melaksanakan perayaan Galungan dan memasang Penjor, mereka telah mendapatkan keberkahan

Minggu, 24 November 2024

Kisah Jaratkaru: Jalan Menuju Keselamatan Leluhur

Kisah Jaratkaru bermula ketika ia memutuskan untuk mengunjungi Ayatana Sthana, sebuah tempat yang terletak di antara Surga dan Neraka. Tempat ini merupakan dunia yang hanya dapat dijangkau oleh mereka yang memiliki kesaktian luar biasa. Jaratkaru, dengan ketekunannya dalam menjalani kehidupan sebagai seorang Brahmacari, memang dianugerahi kemampuan luar biasa untuk menjelajah ketiga dunia: Bhur, Bwah, dan Swah. Tidak banyak orang yang mampu melakukan perjalanan ke Ayatana Sthana, dan karena itulah perjalanannya kali ini menjadi sangat istimewa.

Begitu tiba di Ayatana Sthana, Jaratkaru melihat sebuah pemandangan yang mengerikan. Di sana, ia melihat seorang leluhur yang tergantung dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Leluhur itu bergantung pada sebuah Buluh Petung, dengan wajah tertelungkup dan kaki terikat erat. Di bawahnya terbentang sebuah jurang dalam yang mengarah ke Neraka. Buluh tempat leluhur itu bergantung tampak rapuh dan sepertinya siap patah kapan saja. Keadaan itu membuat hati Jaratkaru tergerak. Namun, ia juga melihat seekor tikus yang tinggal di dalam buluh tersebut, menggerogoti dengan perlahan batang bambu yang sudah hampir hancur.

Jaratkaru merasa kasihan dan kemudian mendekati leluhurnya. Leluhur itu tampaknya adalah seorang petapa, berpakaian kulit kayu, berambut panjang, dan tidak makan atau minum selama bertahun-tahun. Saat melihat kehadiran Jaratkaru, leluhur itu pun dengan suara yang lemah dan ketakutan akan jatuh, mulai berbicara.

“Wahai Jaratkaru, cucuku, mengapa kamu berada di sini? Bukankah seharusnya kamu sudah berada di Surga?” kata leluhur itu, dengan napas terengah-engah.

Jaratkaru pun merasa khawatir dan menatap leluhurnya dengan penuh iba. Leluhur itu melanjutkan kisahnya dengan suara yang penuh kesedihan, "Keadaanku seperti ini karena keturunan kami terputus. Oleh karena itu, aku terpisah dari dunia leluhur dan terpaksa tergantung di tempat yang penuh penderitaan ini. Tempat ini bagaikan Neraka bagiku."

Leluhur itu kemudian mengungkapkan bahwa penyebab dari penderitaannya adalah keturunan Jaratkaru yang tidak memiliki anak. "Ada seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, yang telah menjadi seorang Brahmacari sejak kecil dan tidak menikah. Itulah sebabnya aku terperangkap dalam penderitaan ini,” ungkap leluhur tersebut. “Jika kamu mengasihaniku, cucuku, katakan pada Jaratkaru agar ia menikah dan memiliki keturunan. Hanya dengan cara itu aku bisa kembali bersama leluhur kami di Surga.”

Jaratkaru mendengar permintaan leluhurnya dengan hati yang berat. Setelah berpikir panjang, ia akhirnya berkata, “Saya, Jaratkaru, mohon ampun kepada leluhur saya. Saya akan mengakhiri masa Brahmacari saya dan menikah, agar leluhur saya tidak lagi menderita di sini.”

Dengan tekad yang bulat, Jaratkaru pun memulai perjalanan untuk mencari seorang istri yang memiliki nama yang sama dengannya. Ia berkeliling ke berbagai tempat, namun tidak juga menemukan seorang wanita yang memiliki nama yang sama. Tanpa tahu lagi harus ke mana, Jaratkaru akhirnya kembali kepada ayahnya untuk memohon petunjuk. Masuk ke hutan yang sunyi, Jaratkaru meratap dan menangis, sambil berdoa kepada para dewa dan makhluk hidup, “Wahai segala makhluk, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, saya adalah Jaratkaru, seorang Brahmana yang ingin beristri. Berikanlah saya seorang istri yang senama dengan saya, supaya saya dapat memiliki anak dan menyelamatkan leluhur saya dari kesengsaraan.”

Tangisan dan doa Jaratkaru itu akhirnya terdengar oleh para Naga. Sang Naga Basuki, yang merasa iba, mendekatinya dan memberikan adiknya, Sang Naga Nagini, yang juga bernama Jaratkaru. Sang Naga Basuki berharap bahwa pernikahan ini akan menghasilkan seorang anak yang dapat menyelamatkan leluhur Jaratkaru dari penderitaan abadi. Jaratkaru pun menikahi Naga Jaratkaru, dan dengan harapan besar ia yakin keturunan yang akan mereka lahirkan akan membawa perubahan.

Setelah beberapa waktu hidup bersama, Jaratkaru dan istrinya akhirnya dikaruniai kehamilan. Sang Jaratkaru merasa sangat bahagia, bahkan ia meminta istrinya untuk memangku kepalanya agar ia bisa tidur dengan tenang. Namun, suatu hari ketika ia tertidur terlalu lama, sang istri yang cemas dengan waktu sembahyang yang semakin dekat, membangunkan Jaratkaru. “Tuanku, waktu telah senja, saatnya untuk sembahyang. Semua perlengkapan telah tersedia,” ujar istri Jaratkaru dengan penuh hormat.

Jaratkaru yang terbangun dengan wajah yang memerah, penuh kemarahan, menatap istrinya dengan tajam. “Engkau, Naga perempuan yang sangat jahat! Sebagai istri, bagaimana bisa engkau mengganggu tidurku dengan cara seperti ini?” serunya marah. “Jika engkau tidak bisa menghormati aku, maka aku akan meninggalkanmu sekarang juga!”

Sang istri yang terkejut dan sangat menyesal, segera memohon maaf. “Tuanku, aku tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya membangunkanmu karena waktu untuk sembahyang telah tiba. Maafkan aku, tuanku. Aku tidak ingin membuatmu marah,” ujarnya dengan penuh rasa bersalah.

Mendengar permohonan maaf itu, Jaratkaru akhirnya merenung. Ia sadar bahwa istrinya tidak berniat menghina, dan ia pun memaafkannya. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin bahagia dan dalam waktu yang tidak lama, istri Jaratkaru melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Astika.

Dengan lahirnya Astika, leluhur Jaratkaru yang tergantung di Buluh Petung akhirnya bebas dari penderitaannya. Arwah leluhur itu melesat pulang ke Pitraloka, tempat yang seharusnya mereka tuju. Astika yang lahir dari rahim Naga Jaratkaru menjadi seorang Brahmana yang mulia dan melanjutkan garis keturunan Jaratkaru dengan membawa kehormatan. Dengan kelahiran Astika, bukan hanya leluhur Jaratkaru yang diselamatkan, tetapi juga sebuah garis keturunan yang akan membawa kebaikan dan keselamatan bagi dunia.

Kisah Jaratkaru mengajarkan kita tentang pentingnya memenuhi kewajiban, menjaga kehormatan, dan bagaimana keturunan dapat menyelamatkan keluarga serta leluhur mereka. Sebuah perjalanan yang penuh penderitaan akhirnya berbuah kebahagiaan dan keselamatan bagi semua yang terlibat.

Selasa, 19 November 2024

Asal Mula Pura Besakih dan Perjalanan Rsi Markandeya

Pada zaman dahulu kala, sebelum Bali dikenal seperti sekarang, "Pura Besakih" dulunya  hanyalah sebuah hutan belantara yang dipenuhi pohon-pohon kayu besar yang rimbun. Tak ada bangunan, tak ada kehidupan manusia, hanya alam yang liar dan tak tersentuh. Di dalam hutan itu, hanya terdengar suara-suara alam, angin yang berdesir, dan gemerisik daun-daun yang bergoyang. Sebelum ada Selat Bali yang memisahkan Pulau Bali dengan Pulau Jawa, pulau ini dikenal dengan nama Pulau Panjang. Pulau yang kaya akan keindahan alam, namun masih dalam keadaan primitif, jauh dari peradaban.

Di seberang Pulau Panjang, di ujung timur Pulau Jawa, terdapat sebuah gunung yang sangat tinggi, Gunung Rawung. Di puncak gunung inilah kisah kita dimulai, di mana seorang yogi agung bernama Rsi Markandeya menjalani kehidupan spiritualnya yang sangat dalam. Rsi Markandeya, yang berasal dari tanah India, dikenal oleh banyak orang sebagai Bhatara Giri Rawang. Nama ini bukanlah sekadar julukan, melainkan penghormatan terhadap ilmu batin yang sangat tinggi dan kesucian rohani yang dimiliki oleh sang yogi.

Rsi Markandeya tidak hanya dikenal karena kepandaiannya dalam ilmu spiritual, tetapi juga karena kebijaksanaan dan kewibawaannya yang luar biasa. Beliau sudah mencapai tingkat tertinggi dalam pencapaian spiritualnya, di mana tubuh dan jiwanya menjadi satu dengan alam semesta. Dalam perjalanan hidupnya, Sang Yogi tidak hanya mengejar pengetahuan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebaikan umat manusia. Masyarakat sekitar Gunung Rawung menganggap beliau sebagai seorang dewa yang turun ke bumi untuk mengajarkan kebenaran dan kebijaksanaan.

Pada suatu hari, Rsi Markandeya merasakan sebuah panggilan yang sangat kuat dari dalam hatinya. Panggilan itu datang dari dunia yang lebih tinggi, dari alam para dewa yang berada di kahyangan. Di dalam meditasi mendalamnya, beliau menerima petunjuk bahwa suatu tempat di Pulau Panjang, yang masih berupa hutan belantara, akan menjadi tempat yang sangat penting di masa depan. Sebuah tempat yang akan menjadi pusat spiritual dan kekuatan alam semesta—suatu tempat yang kelak akan dikenal sebagai pura Besakih, tempat suci yang menjadi simbol keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Rsi Markandeya, yang dikenal dengan kesucian dan kebijaksanaannya, kemudian memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Pulau Panjang untuk menunaikan tugas yang diberikan oleh para dewa. Dengan membawa keyakinan dan tujuan yang jelas, beliau meninggalkan Gunung Rawung yang sejuk dan damai, melintasi lautan luas yang membentang antara Pulau Jawa dan Pulau Panjang. Perjalanan ini bukanlah perjalanan fisik semata, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam. Setiap langkah yang beliau ambil penuh dengan niat untuk membawa kedamaian dan keharmonisan bagi dunia yang masih penuh kekacauan.

Sesampainya di Pulau Panjang, Sang Yogi menemukan tempat yang disarankan oleh para dewa. Tempat itu masih berupa hutan belantara, dengan pohon-pohon kayu besar yang menjulang tinggi dan tanah yang subur. Rsi Markandeya memutuskan untuk menetap di tempat itu, melakukan tapa brata dan meditasi untuk memohon petunjuk lebih lanjut dari para dewa mengenai apa yang harus dilakukannya. Hari demi hari, beliau terus melaksanakan ritual-ritual suci, berdoa, dan berusaha memahami lebih dalam tentang alam semesta dan kehendak para dewa.

Suatu malam, ketika bulan purnama menyinari Pulau Panjang dengan cahaya yang lembut, Rsi Markandeya mendapat wahyu yang sangat luar biasa. Dalam meditasi mendalamnya, beliau diberi petunjuk untuk membangun sebuah tempat suci yang akan menjadi pusat dari segala kekuatan spiritual di dunia ini. Tempat itu akan menjadi tempat yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia para dewa, tempat yang akan menjadi sumber kedamaian dan kebijaksanaan bagi seluruh umat manusia. Petunjuk itu jelas—di sinilah pura Besakih akan dibangun.

Sang Yogi menyadari bahwa tempat ini bukan hanya sekadar tempat suci, tetapi juga merupakan simbol dari hubungan yang erat antara manusia dengan alam semesta. Oleh karena itu, beliau memutuskan untuk mengundang para dewa dan makhluk halus untuk hadir di tempat itu, untuk memberi berkah dan perlindungan bagi setiap orang yang datang ke tempat ini dengan hati yang tulus. Dengan bantuan dari kekuatan alam dan para dewa, Sang Yogi mulai membangun pura Besakih, sebuah tempat yang akan menjadi simbol keseimbangan dan keharmonisan antara dunia manusia dan dunia spiritual.

Proses pembangunan pura Besakih berlangsung dengan penuh keajaiban. Setiap batu yang diletakkan di tempat itu tidak hanya berasal dari bumi, tetapi juga dari kekuatan gaib yang mengalir dari langit. Setiap sudut tempat ini dipenuhi dengan energi positif yang membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi setiap makhluk yang berada di sana. Pura Besakih bukan hanya tempat persembahyangan saja, tetapi juga tempat yang memancarkan kekuatan ilahi yang menghubungkan umat manusia dengan Tuhan.

Seiring berjalannya waktu, pura Besakih menjadi tempat yang dihormati dan dihargai oleh masyarakat Bali. Tempat ini menjadi pusat spiritual yang tidak hanya membawa berkah bagi orang Bali, tetapi juga bagi seluruh umat manusia yang datang dengan niat baik. Kahyangan Besakih menjadi lambang kebijaksanaan, kedamaian, dan keharmonisan, seperti yang telah diajarkan oleh Rsi Markandeya, yang kini dikenal oleh banyak orang sebagai Bhatara Giri Rawang. Nama beliau dikenang sepanjang masa, sebagai sosok yang membawa terang di tengah kegelapan, sebagai seorang yogi yang menyatukan manusia dengan alam dan Tuhan.

Begitulah kisah asal mula pura Besakih, sebuah tempat yang dibangun dengan penuh kebijaksanaan, kekuatan spiritual, dan kasih sayang dari Rsi Markandeya. Di balik keindahan dan keagungan tempat ini, terdapat cerita tentang perjuangan spiritual yang mendalam, tentang hubungan antara manusia dengan alam semesta, dan tentang bagaimana kekuatan ilahi dapat mengubah dunia.

Kala Darma dan Sumpahnya yang Terpatri

Pada zaman dahulu, di suatu kerajaan yang terletak di ujung dunia, hiduplah seorang raksasa yang sangat berbeda dari yang lain. Namanya adalah Bagaspati, namun lebih dikenal dengan julukan Kala Darma. Kata "Kala" berarti raksasa, sedangkan "Darma" berarti kebaikan, sehingga kala darma berarti "raksasa kebaikan". Kala Darma adalah sosok yang sangat besar dan kuat, dengan tubuh raksasa yang menakutkan. Namun, di balik penampilannya yang menakutkan, ia memiliki hati yang penuh dengan kebaikan dan kebijaksanaan. Ia selalu berusaha menolong siapa pun yang membutuhkan pertolongan, tanpa membedakan ras atau golongan. Banyak orang yang datang kepada Kala Darma untuk meminta bantuan, dan ia selalu dengan senang hati memberikan pertolongan.

Kala Darma hidup sendirian di sebuah hutan lebat, jauh dari keramaian, karena ia tahu bahwa banyak orang yang takut padanya hanya karena penampilannya. Namun, suatu hari, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita cantik yang mempesona, bernama Dewi Setyawati. Dewi Setyawati adalah putri dari raja yang sangat terkenal, seorang pemimpin bijaksana yang disegani banyak kerajaan. Meskipun memiliki latar belakang keluarga yang mulia, Dewi Setyawati adalah wanita yang rendah hati, lembut, dan penuh kasih sayang.

Kala Darma dan Dewi Setyawati jatuh cinta pada pandangan pertama. Setyawati melihat kebaikan dalam diri Kala Darma yang tidak tampak oleh banyak orang, sementara Kala Darma merasa bahwa Setyawati adalah wanita yang luar biasa, penuh kelembutan dan kebijaksanaan. Mereka berdua kemudian menikah dengan penuh kebahagiaan, dan dari pernikahan itu lahirlah seorang putri yang sangat cantik, yang mereka beri nama Dewi Satyawati juga. Nama yang sama dengan ibunya.

Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Saat Dewi Satyawati dewasa, sang putri dijodohkan dengan seorang pria tampan dan gagah bernama Narasoma. Narasoma adalah pemuda yang dikenal di seluruh kerajaan karena ketampanannya yang mempesona dan keberaniannya dalam bertempur. Namun, meskipun Narasoma tampan dan perkasa, ia memiliki sebuah kelemahan yang besar—ia merasa sangat malu memiliki mertua yang merupakan seorang raksasa.

Setelah menikahi Dewi Satyawati, Narasoma merasa tidak nyaman berada di sisi mertuanya yang besar dan menakutkan. Setiap kali ia berada di dekat Kala Darma, ia merasa terhina. Rasa malu semakin menguasai dirinya, apalagi ketika orang-orang di sekitarnya mulai bergunjing tentang hubungan keluarganya yang aneh—seorang manusia tampan menikahi putri seorang raksasa. Narasoma merasa bahwa ia tidak akan bisa hidup tenang selama masih ada Kala Darma yang menjadi mertuanya. Ia merasa tidak dihormati, bahkan oleh rakyatnya sendiri, karena keberadaan raksasa yang sangat besar itu.

Suatu malam, saat mereka berdua duduk di bawah sinar rembulan, Narasoma akhirnya mengungkapkan perasaannya kepada Dewi Setyawati. "Aku mencintaimu, Satyawati, tetapi aku tidak bisa hidup dengan rasa malu ini," katanya dengan suara penuh kekhawatiran. "Ayahmu, Kala Darma, adalah seorang raksasa. Aku tidak bisa terus-terusan hidup di bawah bayang-bayangnya. Aku ingin hidup dengan kebanggaan, bukan dengan rasa malu. Aku ingin membuangnya, Satyawati. Aku ingin kita hidup tanpa dia."

Dewi Setyawati terkejut mendengar permintaan suaminya. Bagaimana bisa? Ia  yang sudah begitu mencintai ayahnya, harus menyetujui permintaan yang begitu besar? Namun, ia juga mencintai Narasoma, dan rasa cinta itu membuatnya merasa ragu. Setelah berhari-hari berpikir, hatinya pun berat untuk menerima kenyataan pahit ini. Akhirnya, dengan air mata yang mengalir di pipinya, Dewi Setyawati berkata, "Baiklah, Narasoma. Jika itu yang kau inginkan, aku akan mengizinkanmu untuk membuang ayahku. Demi kebahagiaanmu, aku rela."

Kala Darma, meskipun tahu bahwa putrinya sedang dibebani dilema besar, tidak bisa menahan hatinya. Ia tahu bahwa putrinya sangat mencintai suaminya dan tidak ingin melihatnya menderita. Kala Darma, dengan kebijaksanaannya yang besar, menyadari bahwa ia harus merelakan semuanya demi kebahagiaan anaknya. "Jika itu yang membuatmu bahagia, Satyawati, aku rela," katanya dengan suara yang penuh kasih. "Namun, dengarlah sumpahku ini, dan simpanlah baik-baik di hatimu."

Dengan suara yang dalam dan penuh kekuatan, Kala Darma melanjutkan, "Aku bersumpah, jika hidupku harus berakhir dengan cara ini, aku akan dilahirkan kembali. Aku akan lahir sebagai Darma, seorang pahlawan besar yang dikenal dengan nama Yudistira. Dan aku akan menuntut balas atas pengkhianatan ini. Aku akan bertarung melawan Salya, yang tak lain adalah suamimu, Narasoma. Pada akhirnya, Salya akan terkalahkan di tanganku dalam medan perang Kurukshetra."

Setelah mengucapkan sumpah itu, Kala Darma yang besar dan penuh kebijaksanaan itu, dengan hati yang tabah, pergi meninggalkan rumah putrinya. Narasoma, meskipun merasa cemas, melaksanakan niatnya. Kala Darma yang besar itu pun dibuang dari keluarga, pergi jauh ke dalam hutan untuk menghabiskan sisa hidupnya. Sementara itu, Narasoma merasa lega, meskipun bayang-bayang rasa bersalah mulai menghantuinya.

Tahun demi tahun berlalu, dan Dewi Setyawati hidup dengan rasa kehilangan yang mendalam. Ia tidak pernah bisa melupakan ayahnya yang sangat baik hati. Namun, ia juga tahu bahwa cinta pada suaminya, Narasoma, adalah takdirnya, dan ia hanya bisa menerima kenyataan yang ada.

Tak lama kemudian, peperangan besar yang mengubah takdir seluruh dunia pun tiba. Perang Kurukshetra meletus antara dua keluarga besar—Pandawa dan Kaurawa. Dalam perang besar ini, salah satu pahlawan yang paling disegani adalah Yudistira, raja yang bijaksana dan adil, yang dikenal karena keputusan-keputusannya yang selalu didasarkan pada dharma (kebenaran) dan keadilan.

Namun, Yudistira bukanlah sosok biasa. Dalam hatinya, ada sebuah rahasia besar—ia adalah reinkarnasi dari Kala Darma, sang raksasa yang pernah dibuang oleh menantunya. Di medan perang, Yudistira bertemu dengan Salya, yang tak lain adalah Narasoma, mantan suami Dewi Setyawati. Keduanya bertarung dengan sengit di medan perang, saling beradu kekuatan dan kebijaksanaan.

Akhirnya, seperti yang telah disumpahkan oleh Kala Darma, Salya—yang telah menjadi musuh Yudistira—terkalahkan di tangan Yudistira. Dalam detik-detik terakhir pertempuran, Yudistira, yang mengetahui bahwa Salya adalah Narasoma, tidak bisa menahan perasaan campur aduk di dalam hatinya. Namun, ia juga tahu bahwa takdir harus dijalani, dan ia harus menuntaskan sumpah yang telah diucapkannya.

Dengan jatuhnya Salya, sejarah tercatat bahwa Yudistira—pahlawan yang dikenal dengan kebijaksanaan dan keadilan—telah mengalahkan musuhnya. Namun, dalam hatinya, ia merasakan beban yang sangat berat, karena ia tahu bahwa perang ini adalah hasil dari sebuah keputusan yang pahit di masa lalu, yang melibatkan cinta, pengkhianatan, dan takdir yang tak terelakkan.

Akhirnya, Kala Darma, sang raksasa kebaikan, memenuhi takdirnya dan mengakhiri siklus yang telah lama dimulai.

Senin, 18 November 2024

Kisah Burung Bangao dan Kepiting yang Cerdik

Di sebuah danau yang indah, dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan bunga-bunga yang berwarna-warni, hidup berbagai makhluk dengan damai. Danau yang jernih itu penuh dengan ikan-ikan beraneka jenis yang berenang bebas, menikmati kehidupan yang tenang. Setiap hari, hewan-hewan datang untuk menikmati udara segar dan keindahan alam, namun ada satu makhluk yang selalu hadir di sana dengan tujuan lain—burung Bangao.

Bangao adalah burung dengan bulu yang cemerlang, tubuhnya tegap dan gagah. Namun, di balik penampilannya yang megah, Bangao dikenal sebagai makhluk yang sangat licik dan serakah. Setiap kali ia datang ke danau itu, ia selalu mencari cara untuk memenuhi nafsunya yang tak pernah puas. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Burung Bangao tampaknya ingin mencoba sesuatu yang baru.

Suatu hari, seperti biasa, Bangao tiba di tepi danau dan bertengger di atas batu besar yang terletak di sisi kolam. Semua ikan yang sedang berenang berhenti sejenak, tertarik pada kehadiran burung itu. Tanpa berpikir panjang, Bangao mulai berbicara dengan suara merdu dan penuh wibawa, seolah-olah dia ingin memberikan pelajaran hidup yang berharga.

"Aku ingin berbicara kepada kalian semua," katanya dengan percaya diri, "aku sudah meninggalkan kelobaan dan keserakahan. Aku telah memutuskan untuk menjalani hidup yang lebih baik, hidup yang penuh dengan kebaikan. Tidak lagi aku memburu mangsa untuk memenuhi nafsu jahatku, karena aku sadar bahwa segala yang berlebihan itu akan membawa kehancuran."

Ikan-ikan yang mendengarnya merasa terkesima. Kata-kata Bangao sangat indah dan penuh kebijaksanaan, seolah-olah burung itu telah mengalami transformasi besar dalam hidupnya. Mereka terpesona oleh ajaran yang seolah datang dari hati yang tulus, dan tanpa sadar, mereka mulai mempercayai apa yang dikatakan oleh Bangao. Begitu banyak ikan yang terpaku mendengarkan, hingga mereka hampir tidak bergerak.

Bangao, melihat betapa mudahnya mempengaruhi mereka, melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. "Aku sangat peduli padamu semua, teman-temanku yang tinggal di kolam ini. Keadaan danau ini semakin memprihatinkan, sumber makanan semakin berkurang, dan aku khawatir kalian akan kelaparan jika terus tinggal di sini."

Ikan-ikan yang mendengarnya merasa cemas, dan ada yang mulai khawatir tentang masa depan mereka. Mereka tidak ingin hidup dalam kekurangan, dan kata-kata Bangao yang terdengar begitu menghibur membuat mereka merasa bahwa burung itu adalah sahabat sejati.

"Aku punya tempat yang jauh lebih baik untuk kalian," lanjut Bangao dengan suara lembut, "sebuah danau yang sangat luas, kaya dengan makanan dan sangat aman. Tempat itu belum pernah dijamah oleh siapapun, dan pasti kalian akan merasa sangat bahagia di sana. Aku akan membawa kalian ke tempat itu, dan kalian akan menikmati hidup yang lebih baik."

Ikan-ikan yang terbuai dengan janji-janji manis Bangao mulai berbicara satu sama lain, merasa yakin bahwa mereka tidak akan rugi jika mengikuti burung itu. "Tentu saja kami mau ikut," kata salah satu ikan, "tempat yang aman dan penuh dengan makanan? Ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan!"

Dengan penuh keyakinan, satu per satu ikan mulai mengikuti Bangao, yang membimbing mereka keluar dari kolam menuju puncak bukit. Di sana, ada sebuah batu datar yang besar, tempat yang sudah dipilih Bangao sebagai tempat untuk menipu mereka. Ikan-ikan itu dengan gembira mengikuti Bangao, tak menyadari bahaya yang mengintai.

Sesampainya di batu datar tersebut, Bangao dengan cepat mulai memangsa ikan-ikan yang mengikuti dirinya. Satu per satu, ikan-ikan itu dimangsa dengan rakus, tubuh mereka dimakan hingga hanya menyisakan tulang belulang. Bangao, dengan ketamakan yang tak terpuaskan, melahap semua ikan yang dibawa tanpa rasa belas kasihan sedikit pun. Dalam sekejap, seluruh ikan di kolam itu hilang, hanya menyisakan kenangan pahit di dalam hati.

Namun, tidak semua makhluk di kolam itu terpengaruh oleh tipu muslihat Bangao. Seekor kepiting yang cerdik, yang selama ini hanya mengamati dari kejauhan, tidak tergerak untuk mengikuti ajakan Bangao. Kepiting itu merasa ada yang janggal dengan ajakan Bangao dan merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia terus mengawasi dengan seksama, dan begitu melihat ikan-ikan mulai dibawa pergi, hatinya mulai curiga.

Tak lama setelah itu, Bangao kembali datang ke danau, merasa puas dengan hasil jerih payahnya. Namun, dia tidak tahu bahwa kepiting sedang menunggunya. Melihat burung itu kembali, kepiting dengan suara keras memanggilnya, "Bangao! Aku mendengar apa yang kamu katakan kepada ikan-ikan itu. Aku tahu kamu membawa mereka ke tempat yang lebih baik, dan aku ingin ikut denganmu."

Bangao yang mendengar permintaan itu, merasa senang. "Ah, Kepiting, tentu saja kamu boleh ikut. Ayo, naiklah. Aku harap semua isi kolam ini bisa aku pindahkan ke tempat yang lebih baik."

Dengan senyum licik, Bangao membuka sayapnya dan mengulurkan lehernya. "Gunakan capitmu yang kuat untuk menempel di leherku, dan aku akan terbangkan kamu ke tempat yang lebih baik."

Kepiting, yang sudah mulai mencurigai sesuatu, mendekat dengan hati-hati dan mengangkat capitnya yang besar. Dengan gerakan yang cepat, kepiting mencapit leher Bangao dengan kekuatan yang luar biasa. Bangao terkejut, dan seketika itu juga merasa kesulitan bernapas. Kepiting tidak melepaskan cengkeramannya, dan dalam sekejap, leher Bangao pun tergigit begitu kuat hingga burung itu jatuh ke tanah dan mati.

Kepiting, dengan hati yang tenang, melihat tubuh Bangao yang terkulai lemas. "Kamu terlalu serakah, Bangao," katanya dengan tegas. "Itulah akibat dari tipu daya dan keserakahan. Keinginan untuk terus menipu dan memangsa tanpa rasa belas kasihan hanya akan membawa kehancuran pada dirimu sendiri."

Dengan itu, Kepiting kembali ke kolam yang damai, mengingatkan para makhluk lain untuk selalu waspada terhadap tipu daya dan keserakahan. Dan sejak kejadian itu, tak ada lagi burung Bangao yang datang mengganggu mereka, karena para penghuni danau telah belajar dari kebodohan yang telah terjadi. Mereka menyadari bahwa hidup yang penuh dengan kebaikan, saling menjaga dan menghargai, adalah jalan yang terbaik bagi setiap makhluk hidup.

Cerita Galungan: Keajaiban dan Berkah dari Bhatari Durga

Pada tahun 882 Masehi, di sebuah pulau yang dipenuhi oleh alam yang subur dan budaya yang kaya, di Bali, sebuah perayaan penting pertama kali dilaksanakan. Hari Raya Galungan, sebuah hari yang dipersembahkan untuk menghormati para dewa dan leluhur, pertama kali diselenggarakan dengan penuh kemegahan. Masyarakat Bali merayakan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan) dalam kehidupan sehari-hari, dengan doa, persembahan, dan berbagai ritual. Namun, tak lama setelah perayaan pertama itu, Galungan menghilang dari kehidupan mereka. Tidak ada yang tahu mengapa, tetapi perayaan itu tak lagi dilaksanakan dan menjadi kenangan yang terlupakan.

Berpuluh-puluh tahun berlalu, dan dengan berjalannya waktu, Bali dilanda bencana alam yang tak terkendali. Gunung-gunung meletus, ombak besar menghantam pantai, dan gempa bumi mengoyak tanah. Tidak hanya itu, negeri ini juga dilanda pergolakan politik yang membuat kekuasaan raja-raja menjadi rapuh. Raja-raja yang memimpin pulau ini banyak yang mati muda, seperti terkutuk, tanpa dapat menggapai masa tua. Banyak yang mengatakan bahwa nasib buruk ini merupakan akibat dari sebuah kutukan atau pelanggaran terhadap tatanan yang telah lama berlaku.

Pada saat kerajaan Bali dipenuhi kekacauan, seorang raja bernama Sri Jaya Kasunu duduk di tahta. Ia adalah seorang pemimpin yang bijaksana, namun bahkan ia tak bisa melawan bencana alam yang datang silih berganti. Raja Jaya Kasunu memerintah dengan hati yang penuh kecemasan. Melihat banyaknya kerajaan yang jatuh dan rakyat yang menderita, ia merasa harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri penderitaan itu.

Suatu malam, setelah mendengar banyak cerita tentang pentingnya hari Raya Galungan yang dulu pernah dirayakan, raja merasa ada yang kurang dalam dirinya. Ia merasakan bahwa kemarahan alam dan pergolakan di tanah Bali mungkin berkaitan dengan hilangnya perayaan tersebut. Namun, apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan kedamaian? Bagaimana ia bisa memperoleh petunjuk?

Tanpa ragu, Raja Jaya Kasunu mengambil langkah berani. Ia memutuskan untuk melakukan tapa (semedi) di sebuah kuburan tua yang terletak di kaki gunung Agung, tempat yang diyakini sebagai pintu masuk menuju dunia para dewa. Di sana, ia bertapa tanpa makan atau minum, hanya berfokus pada doa dan memohon petunjuk dari Tuhan. Berhari-hari ia bersemadi, hingga pada suatu malam yang penuh dengan suara angin yang berbisik, ia mendapat pawisik (petunjuk) dari seorang dewi yang sangat kuat dan dihormati.

Dewi itu adalah Bhatari Durga, sang dewi yang dikenal sebagai penguasa alam semesta, yang juga memiliki kekuatan untuk menghancurkan kejahatan. Dengan suara lembut namun penuh wibawa, Bhatari Durga berkata  "Wahai Raja Jaya Kasunu, kembalikan perayaan Galungan ke tanah ini. Hanya dengan memperingati kemenangan kebenaran atas kejahatan, engkau dan rakyatmu akan memperoleh kedamaian. Jangan biarkan kekacauan menguasai hidupmu. Rayakan Galungan, dan dengan itu, kembalikan keseimbangan yang hilang."

Mendengar pawisik tersebut, Raja Jaya Kasunu merasa tergetar dalam hatinya. Ia menyadari bahwa selama ini mereka telah lupa untuk merayakan kebenaran dan menghormati leluhur. Perayaan Galungan bukan hanya tentang pesta atau tradisi semata, tetapi juga tentang menghormati hubungan antara manusia dengan dunia spiritual, yang memberi kedamaian dan keseimbangan.

Setelah mendapatkan petunjuk tersebut, Raja Jaya Kasunu segera memerintahkan seluruh rakyat untuk menyiapkan perayaan Galungan kembali. Semua persiapan dilakukan dengan penuh semangat, dari pembuatan penjor yang dihias dengan indah, hingga persiapan upacara di pura-pura besar. Mereka juga membuat persembahan yang melimpah, baik berupa makanan, bunga, maupun dupa, sebagai wujud syukur dan penghormatan kepada para dewa dan leluhur.

Pada hari yang telah ditentukan, seluruh Bali bersatu dalam perayaan Galungan yang megah. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, perayaan itu kembali dirayakan dengan penuh suka cita. Raja Jaya Kasunu memimpin upacara di pura terbesar, dan seluruh rakyatnya berdoa dengan tulus agar bencana dan pergolakan yang telah menimpa pulau ini segera berakhir.

Keajaiban pun terjadi. Sejak perayaan Galungan itu dilaksanakan, bencana alam yang dahsyat mulai mereda. Gunung-gunung yang dulu mengeluarkan letusan kini menjadi tenang, gempa bumi yang sering terjadi akhirnya berhenti, dan laut pun menjadi damai. Pergolakan politik yang telah melanda kerajaan mulai menghilang, dan persatuan antar kerajaan pun terjalin kembali. Para raja-raja yang memimpin pada saat itu juga mulai hidup lebih panjang, tidak ada lagi yang mati muda, karena mereka berada dalam kedamaian yang terjaga dengan baik.

Raja Jaya Kasunu dan seluruh rakyat Bali akhirnya menyadari bahwa dengan merayakan Galungan, mereka telah mengundang berkah dari dunia gaib, dan menjaga keseimbangan alam semesta. Perayaan Galungan bukan hanya sebuah ritual, tetapi juga sebuah pengingat akan pentingnya hidup dalam kebenaran dan kesatuan dengan alam, dewa, dan leluhur.

Sejak saat itu, Galungan dirayakan setiap enam bulan sekali, dan menjadi hari yang paling dihormati di Bali. Masyarakat Bali, yang dipimpin oleh raja-raja yang panjang umur dan bijaksana, hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan, dan perayaan Galungan menjadi lambang dari kemenangan kebenaran atas segala bentuk kejahatan dan kekacauan.

Dan demikianlah, berkat kebijaksanaan seorang raja dan pawisik dari Bhatari Durga, Bali kembali menjadi pulau yang damai, penuh berkah, dan tetap merayakan Galungan hingga hari ini, sebagai sebuah warisan spiritual yang abadi.

Jumat, 01 November 2024

Dewa Ayapa Sang Pembebas Penduduk Lelanggala.

Di kerajaan Lelanggala, di tengah hutan lebat dan tebing-tebing terjal, hidup seorang raksasa bernama Grahakala. Tubuhnya menjulang tinggi, suaranya menggelegar bagai guntur, dan kekuatannya bagaikan badai yang tak terbendung. Namun, alih-alih menjadi pelindung bagi kaumnya, Grahakala justru menjadi ancaman bagi seluruh kerajaan. Setiap kali ia marah, desa-desa terbakar, pohon-pohon tumbang, dan sungai-sungai pun keruh oleh ulahnya. Penduduk Lelanggala hidup dalam ketakutan, bahkan sampai enggan keluar rumah atau berladang. Kekacauan yang diciptakan oleh Grahakala membuat mereka kehilangan kedamaian.

Dalam keputusasaan, seorang bijak dari desa terpencil di kaki gunung berdoa memohon pada Dewa Indra, dewa penguasa langit dan pelindung kedamaian. Ia memohon agar Grahakala dihentikan dan penduduk kerajaan bisa hidup damai seperti dahulu. Mendengar doa yang penuh ketulusan itu, Dewa Indra menampakkan dirinya kepada sang bijak. “Wahai penduduk Lelanggala, hanya ada satu cara untuk mengalahkan Grahakala. Hanya seorang putra yang lahir dari perpaduan kekuatan Dewa Siwa dan Dewa Wisnu yang mampu melakukannya. Aku akan menyampaikan hal ini kepada mereka.”

Dewa Indra pun pergi menuju Kahyangan, kediaman para dewa, untuk menyampaikan pesan itu. Ia bertemu dengan Dewa Wisnu, yang kemudian menyetujui rencana ini dan memutuskan untuk membantu penduduk yang ketakutan itu. Dewa Wisnu merubah wujudnya menjadi Mohini, seorang wanita berparas sangat cantik dan mempesona, untuk memikat Dewa Siwa. Dewa Siwa, terpesona oleh kecantikan Mohini, jatuh cinta padanya, dan dari pertemuan mereka lahirlah seorang putra yang diberi nama Dewa Ayapa.

Dewa Ayapa tumbuh menjadi sosok yang gagah dan penuh kebijaksanaan, mewarisi kekuatan besar dari kedua orang tuanya, serta memiliki hati yang murni dan tekad untuk menegakkan kebenaran. Ketika telah dewasa, Ayapa turun ke bumi menuju Lelanggala, tempat Grahakala berkuasa dan menebar ketakutan.

Pertempuran antara Ayapa dan Grahakala berlangsung sangat dahsyat. Setiap pukulan yang dilancarkan oleh Ayapa membuat bumi bergetar, sementara Grahakala membalas dengan kekuatannya yang tak kalah besar. Penduduk Lelanggala berkumpul di puncak bukit, menyaksikan dari kejauhan dengan harap-harap cemas, berdoa agar pahlawan mereka bisa menang melawan tirani raksasa itu.

Di puncak pertempuran, Dewa Ayapa memusatkan kekuatan terakhirnya dan melontarkan serangan yang tak bisa ditahan oleh Grahakala. Dalam sekejap, tubuh besar Grahakala roboh dan bergemuruh ke tanah. Raksasa itu telah dikalahkan, dan akhirnya, penduduk kerajaan Lelanggala bisa menarik napas lega.

Dengan Grahakala yang telah dikalahkan, kehidupan di Lelanggala kembali tenang. Hutan-hutan kembali damai, dan sungai-sungai mengalir jernih. Penduduk yang semula ketakutan kini bisa keluar dari rumah dan menjalani hidup mereka tanpa bayang-bayang ketakutan. Mereka bersyukur kepada Dewa Ayapa, yang telah menjadi pahlawan mereka. Setiap tahun, mereka memperingati hari kemenangan itu sebagai tanda syukur kepada para dewa yang telah mendengar doa mereka dan mengirimkan Dewa Ayapa untuk membawa kedamaian di kerajaan Lelanggala.


Dewi Kunti Dan Raja Anga Karna.

Di sebuah kerajaan yang makmur, terdapat seorang wanita cantik bernama Dewi Kunti, putri dari Raja Shurasena. Kunti dikenal sebagai wanita yang bijak dan terampil. Suatu hari, dia menemui Rsi Druwasa, seorang resi sakti yang terkenal dengan kemampuannya. Kunti meminta petunjuk kepada resi tersebut, dan sebagai bentuk penghargaan, Rsi Druwasa memberikan sebuah mantra yang memungkinkan Kunti untuk memanggil dewa mana pun yang diinginkannya.

Kunti, terpesona oleh kekuatan mantra itu, memutuskan untuk memuja Dewa Surya, dewa matahari, yang terkenal dengan keperkasaan dan kebijaksanaannya. Dengan penuh keyakinan, Kunti melafalkan mantra tersebut dan seketika itu juga cahaya terang memancar dari langit, mengelilinginya. Dewa Surya muncul di hadapannya dan mengabulkan permohonannya. Tak lama kemudian, Kunti hamil.

Namun, kehamilan Kunti tidaklah biasa. Dalam suatu keajaiban yang aneh, dia melahirkan seorang bayi bukan melalui cara biasa, melainkan lewat telinga. Kunti terkejut dan bingung, namun segera setelah melihat anaknya yang tampan, dia memutuskan untuk memberi nama Karna, yang berarti "telinga" dalam bahasa Sanskerta. Bayi tersebut juga memiliki penampilan yang menonjol, mengenakan anting-anting, baju perlengkapan perang, dan kalung yang merupakan pemberian Dewa Surya.

Karna yang lahir dengan keunikan tersebut, sayangnya, tidak dapat ditahan oleh Kunti. Dalam keadaan terdesak dan penuh rasa takut akan stigma sosial yang akan dihadapinya, Kunti terpaksa membuang Karna ke sungai Aswa. Dengan air mata mengalir, dia melepaskan anaknya ke dalam aliran sungai yang deras.

Namun, takdir Karna tidak berhenti di situ. Di tepi sungai, seorang kusir bernama Adirata dan istrinya, Radha, sedang menjalani hari biasa mereka. Saat mereka melihat bayi yang terdampar di tepi sungai, hati mereka tergerak. Mereka memutuskan untuk mengangkat dan merawat Karna sebagai anak mereka. Karna pun diberi nama Radheya, yang berarti "putra Radha," sebagai penghormatan kepada ibunya yang baru.

Seiring berjalannya waktu, Karna tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan cerdas. Dia dikenal dengan semangatnya yang tak kenal lelah dan keinginannya untuk belajar seni perang. Meskipun dia lahir dari keadaan yang tidak biasa, Karna menunjukkan bakat yang luar biasa dan menarik perhatian banyak orang, termasuk para Korawa, sepupu-sepupunya.

Karna, yang sangat menghormati Duryodana, pemimpin Korawa, menjadi sahabat karibnya. Dalam pergaulannya dengan mereka, Duryodana terkesan dengan keberanian dan keterampilan Karna. Dia memberikan gelar baru kepada Karna, menyebutnya "Raja Anga," yang merupakan penghormatan atas kemampuan dan keberaniannya.

Karna, kini dikenal sebagai Raja Anga, mengarungi kehidupan dengan tantangan dan kesulitan. Meskipun dia tak pernah mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya, semangatnya untuk membuktikan diri dan menjaga kehormatan sahabat-sahabatnya membuatnya menjadi sosok yang dihormati dan ditakuti di medan perang. Dalam setiap langkah yang diambil, Karna membawa warisan dan kisah Dewi Kunti, ibunya, dalam perjalanan hidupnya yang penuh warna.

Sejarah dan takdir terus berputar, dan perjalanan Karna sebagai Raja Anga baru saja dimulai, di mana dia akan berhadapan dengan pilihan-pilihan yang akan menentukan nasibnya dan orang-orang di sekelilingnya.