Rabu, 26 Juni 2024

Rameswara.

Jikalaupun benar arti kata Rameshvara adalah Rama atau Wishnu memuja Ishvara atau Shiva, atau justru berarti Rama adalah Isvara itu sendiri, lalu apa faedahnya bagi kesadaran diri jika kita terus mempertentangkan mereka yang sesungguhnya satu?
Disini sudah jelas Rama sebagai Awatara memuja Shiwa sebagai Maheswara untuk mendapatkan anugrah dari Shiwa. Adhyatam Ramayana mengatakan, Selama pembangunan jembatan, Rama melantik Mahadewa dan memujanya dengan memanggil nama Rameshwar Mahadev. Dia menggambarkan kemuliaannya, “Jika seseorang mengunjungi jembatan (setubandh), dan bersujud kepada Rameshwar mahadev, dia terbebas dari dosa terberat yaitu membunuh Brahmana.” Rama menyatakan, “Seseorang harus mandi di sini di laut, dan setelah mendapatkan Darshan dari Rameshwar Mahadev, dia harus pergi ke Kashi, untuk mengambil air Gangga. Menawarkan air Gangga Kashi kepada Rameshwar Mahadev, dia harus membuang potnya ke laut. Oleh karena itu, dia pasti akan mendapatkan keselamatan.”

Sementara Lingga Rameswara  artinya pemuja Rama yang memohon anugrah dari Shiwa atau Mahadewa ( Dewa Tertinggi) “Lihatlah pulau ini, terletak di tengah lautan, tempat pasukan saya ditempatkan. Di tempat ini, Dewa Siwa (dewa tertinggi) sebelumnya menganugerahkan rahmatnya kepadaku.”
(Valmiki Ramayana, Yuddha Kanda, Sarga 123, Sloka 19.
Rama pemuja Shiwa)

“Ini adalah tempat yang paling menyenangkan dan luar biasa; kemuliaannya tidak terukur dan tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Aku akan memasang (Linngga)Tuhan Sambhu di sini: itulah ambisi puncak hati-Ku. Mendengar hal ini, raja kera mengirimkan sejumlah utusan, yang mengundang dan menjemput semua orang bijak. Setelah memasang lambang Dewa Siva dan memujanya dengan penuh kekhidmatan, Beliau berkata, “ Tidak ada orang lain yang lebih Aku sayangi selain Siva.” Musuh Siva meskipun dia menyebut dirinya penyembahKu, tidak dapat mencapaiKu bahkan dalam mimpi. Barangsiapa yang menentang Sankara namun menginginkan pengabdian kepada-Ku, ia akan menemui kebinasaan, betapapun bodoh dan bodohnya ia.” (sumber : Sri Rama, Lanka Kanda)

Jika disini ada pengikut Wisnu dan pengikut Siwa yang sering cecok, mulia dari sekarang berhentilah saling menjelekkan. Karena pada hakekatnya Wisnu dan Siwa adalah satu.

Rabu, 19 Juni 2024

Mayadanawa.

Cerita rakyat tentang Mayadanawa merupakan gabungan antara cerita sejarah dan mitologis. Cerita ini merupakan latar belakang pelaksanaan Hari Raya Galungan bagi umat Hindu. Pada zaman dahulu, bertahta seorang raja yang bernama Mayadanawa, di daerah Balingkang tepatnya di sebelah Utara Danau Batur. Beliau adalah  anak dari Dewi Danu Batur  yang sangat sakti dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup pada masa Mpu Kul Putih. Oleh karena kesaktiannya maka beliau  menjadi sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang Raja yang sangat sakti.

Tanaman penduduk menjadi rusak dan wabah penyakit menyerang di mana-mana. Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan.  Kemudian diceritakan pertolongan datang dari sorga yang dipimpin oleh Bhatara Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. Dalam penyerangan melawan Mayadanawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sang Jayantaka. Sedangkan pasukan  induk dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa, dengan mengirim Bhagawan Naradha.

Menyadari kerajaannya telah terancam, Mayadanawa mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhatara Indra serta menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhatara Indra menyerang, pasukan Mayadanawa memberikan perlawanan yang hebat. Pasukan Bhatara Indra unggul dan membuat pasukan Mayadanawa melarikan diri bersama patihnya yang bernawa Kala Wong. Karena matahari telah terbenam, peperangan dihentikan. Pada malam harinya,  Mayadanawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda pasukan Bhatara Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan memiringkan telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama Tampak Siring.  Keesokan harinya banyak pasukan Bhatara Indra yang jatuh sakit karena minum air yang beracun. Melihat hal itu, Bhatara Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian dinamakan Tirta Empul , dan semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhatara Indra dan pasukannya melanjutkan mengejar Mayadanawa. Untuk menyembunyikan dirinya, Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut dinamakan Desa Manukaya. Bhatara Indra tak bisa ditipu dan terus mengejar. Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan Desa Timbul , kemudian menjadi Busung (janur) sehingga daerah itu dinamakan Desa Blusung , menjadi Susuh sehingga daerah itu dinamakan Desa Panyusuhan, kemudian menjadi Bidadari sehingga daerah itu dinamakan Desa Kadewatan dan menjadi Batu Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala Wong.

Batu padas tersebut dipanah oleh Bhatara Indra sehingga Mayadanawa dan patihnya menemui ajalnya. Darahnya terus mengalir membentuk sungai yang disebut Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk oleh Bhatara Indra, jika air sungai itu digunakan untuk mengairi sawah akan menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Kutukan itu berumur 1000 tahun.