Jumat, 27 Juni 2025

Legenda Roro jongrang.

Legenda Roro Jonggrang adalah kisah cinta, tipu daya, dan kutukan yang terkait erat dengan kompleks Candi Prambanan di Jawa Tengah.  Kisah ini lebih merupakan legenda atau dongeng daripada catatan sejarah yang akurat, meskipun terhubung dengan situs arkeologi tersebut.
 
Kisah dimulai dengan peperangan antara Kerajaan Pengging dan Kerajaan Boko.  Prabu Damar Moyo memimpin Pengging, sementara Kerajaan Boko dipimpin oleh Prabu Boko yang kejam dan pemakan manusia.  Prabu Boko memiliki putri yang sangat cantik bernama Roro Jonggrang .
 
Untuk mengakhiri perang, Bandung Bondowoso, putra Prabu Damar Moyo dengan kekuatan supranatural, mengalahkan dan membunuh Prabu Boko.  Setelah kemenangannya, Bandung Bondowoso terpesona oleh kecantikan Roro Jonggrang dan melamarnya .
 
Roro Jonggrang menolak lamaran tersebut karena Bandung Bondowoso telah membunuh ayahnya. Namun, ia tidak bisa menolak secara langsung.  Ia mengajukan dua syarat yang mustahil: Bandung Bondowoso harus menggali sumur Jalatunda dan membangun seribu candi dalam satu malam .
 
Dengan kekuatan gaibnya, Bandung Bondowoso hampir menyelesaikan tugas tersebut.  Melihat kesuksesan Bandung Bondowoso yang hampir selesai, Roro Jonggrang menyuruh para dayang-dayang untuk membuat suara-suara yang meniru fajar, seperti menumbuk padi dan membakar jerami, untuk mengelabui para jin yang membantu Bandung Bondowoso.  Para jin pun pergi, meninggalkan satu candi yang belum selesai .
 
Marah karena ditipu, Bandung Bondowoso mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca untuk melengkapi candi yang kurang satu tersebut.  Arca tersebut diyakini sebagai arca Durga di Candi Prambanan .
 
Legenda Roro Jonggrang merupakan cerita rakyat yang menjelaskan asal-usul Candi Prambanan dan Candi Sewu secara metaforis.  Beberapa interpretasi menghubungkannya dengan perebutan kekuasaan antara dinasti di Jawa pada abad ke-9.  Namun, tetaplah penting untuk mengingat bahwa kisah ini adalah legenda, bukan catatan sejarah yang akurat.

Minggu, 08 Juni 2025

Pengasingan Pandawa

Di tengah hingar-bingar istana Hastinapura, aroma intrik dan ambisi memenuhi udara.  Permainan dadu, yang seharusnya menjadi hiburan, berubah menjadi medan pertempuran yang licik dan kejam.  Di satu sisi, terdapat Pandawa, lima kesatria gagah berani yang dipimpin oleh Yudistira, raja yang bijaksana namun naif.  Di sisi lain, bercokollah Kurawa, serombongan seratus raksasa yang haus kekuasaan, dipimpin oleh Duryudana, yang licik dan tamak.
 
Permainan dadu dimulai.  Mata dadu berputar, nasib bergantung pada keberuntungan semu.  Namun, di balik lemparan dadu itu tersembunyi tipu daya dan sihir yang dikerahkan oleh Sakuni, paman Duryudana yang licik dan ahli dalam permainan curang.  Satu demi satu, Pandawa kehilangan taruhannya.  Kekayaan melimpah, tanah subur seluas ribuan hektar, kerajaan yang makmur dengan rakyatnya yang setia, semua menjadi milik Kurawa.
 
Yudistira, dengan segala kebijaksanaannya, tak mampu melawan kecurangan yang sistematis.  Ia bertaruh harta benda, kemudian istana, lalu rakyatnya.  Satu per satu, kepemilikan Pandawa berpindah tangan.  Arjuna, sang pahlawan gagah berani, hanya bisa menyaksikan dengan hati yang remuk.  Bima, yang perkasa, terikat oleh janji dan aturan permainan yang telah disepakati.  Nakula dan Sadewa, si kembar yang tampan dan bijak, tak mampu berbuat apa-apa selain menyaksikan kehancuran kerajaan mereka.
 
Puncaknya, Yudistira mempertaruhkan dirinya sendiri, saudara-saudaranya, dan Draupadi, istri mereka yang cantik jelita.  Dengan mata berkaca-kaca, Yudistira menyerahkan semuanya kepada Kurawa.  Draupadi, ratu yang mulia, dicabut kainnya di hadapan para bangsawan, sebuah penghinaan yang tak terlupakan.  Air mata kesedihan dan amarah membasahi pipi para Pandawa.
 
Sesuai perjanjian yang licik itu, Pandawa diasingkan selama 13 tahun.  Mereka harus meninggalkan istana, meninggalkan tanah kelahiran, meninggalkan segala kemewahan dan kekuasaan.  Mereka hidup dalam pengasingan, di hutan belantara yang penuh tantangan dan bahaya.  Kehidupan mereka berubah drastis.  Mereka merasakan pahitnya kemiskinan, kekejaman alam, dan pengkhianatan manusia.  Namun, di tengah penderitaan itu, ikatan persaudaraan mereka semakin kuat.
 
Kelima Pandawa, bersama Draupadi dan para pengikut setianya, menjalani hidup sederhana, penuh perjuangan dan pengorbanan.  Mereka membangun perkampungan kecil, bercocok tanam, dan berburu.  Arjuna mengasah keahliannya dalam memanah, Bima melatih kekuatannya, dan Yudistira tetap memegang teguh prinsip keadilan dan kebenaran.  Nakula dan Sadewa, dengan kecerdasannya, membantu mengelola kehidupan sehari-hari.
 
Kehidupan di pengasingan mengajarkan mereka banyak hal.  Mereka belajar tentang kerendahan hati, kesabaran, dan arti kehidupan yang sesungguhnya.  Mereka juga menyadari betapa besarnya ketidakadilan yang telah mereka alami.  Pengasingan itu menjadi masa persiapan untuk membalas dendam dan merebut kembali hak mereka yang telah dirampas.  Api amarah dan tekad membara di hati mereka, menyala-nyala menanti saat yang tepat untuk membalas dendam dan merebut kembali keadilan.  Kisah pengasingan ini menjadi babak baru dalam saga Mahabarata, yang akan berujung pada perang besar Kurukshetra, sebuah pertempuran dahsyat yang akan menentukan nasib Hastinapura dan seluruh Bharatavarsha.